JURAGAN ARJUNA

BAB 97



BAB 97

0"Dik, bisa ndhak kamu membuka pintu sebentar?" kataku.     
0

Ini adalah kali ke lima, aku mengetuk pintu kamar Rianti, dan ini ke lima kali juga Rianti ndhak menjawabi ucapanku. Apa dia benar-benar marah? Apa aku telah menyinggung hatinya?     

Aku berjalan mondar-mandir di depan kamarnya, sembari mengelus daguku, kemudian kulihat Manis mendekat. Setelah ia menyiapkan sarapan di atas meja.     

"Ada apa, Kangmas? Sepertinya kamu tampak risau? Bukankah saat ini kamu ada beberapa jadwal penting di Ngargoyoso? Ndhak pulang, toh?" tanyanya, yang agaknya dia sedikit bingung, dengan apa yang telah kulakukan sekarang.     

Kemudian aku tersenyum simpul ke arah Manis, mengajaknya untuk duduk di meja makan berdua. Kulihat lagi pintu kamar Rianti yang masih tertutup rapat-rapat, sepertinya dia benar-benar ndhak sudi melihatku saat ini.     

"Aku hanya penasaran dengan Rianti, kenapa dia ndhak mau membuka pintu kamarnya untukku. Sepertinya, dia tersinggung dengan ucapanku kemarin,"     

"Ucapan apa, toh, Kangmas?" tanyanya kemudian.     

Lagi, aku menghela napas berat, sembari meminum kopi yang baru disediakan Manis pun aku meletakkannya lagi di atas meja.     

"Kemarin tatkala dia datang ke sini, dia memarahiku karena ada banyak pakaian menyebar kemana-mana," kubilang.     

"Terus, Rianti pikir kita melakukan hal yang endhak-endhak di rumah ini? Itu sebabnya dia marah?" selidik Manis, wajahnya sudah pucat, dan tegang. Aku yakin, sekarang dia ikut khawatir juga. "Kangmas, toh. Ini semua karena Kangmas! Sudah kubilang, ayo rapikan dulu pakaian yang dimakan tikus-tikus itu. Tapi, Kangmas ngotot, malah ngajak ke kamar. Yang ada hanya, Rianti benar-benar salah paham, toh?"     

"Bukan, duh!" kataku pada akhirnya. Manis pun langsung diam, sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kemudian dia tersenyum simpul, sembari mengelus lembut punggung tanganku. "Kemarin aku mengata-ngatainya sebagai perawan tua, yang pikirannya hanya hal-hal mesum belaka. Lalu, entah kenapa dia menangis, masuk ke dalam kamar, dan sampai detik ini aku ndhak ada kesempatan bertemu, dan meminta maaf kepadanya," jelasku kemudian.     

"Masak Rianti nesu (marah), toh? Bukannya kalian sudah sering bertengkar dan saling hina?"     

"Lha, maka dari itu aku juga bingung, Sayang. Kenapa dia sampai tiba-tiba sensitif seperti itu. Apakah hari ini waktunya untuk datang bulan?" kataku lagi. Rupanya benar, toh, yang merasa jika Rianti aneh itu bukan hanya aku. Tapi, Manis juga.     

"Yasudah...," kata Manis kemudian, mengelus-elus punggungku seolah hendak menenangkan. "Kangmas sarapan dulu sebelum kembali ke Ngargoyoso, nanti perkara Rianti, biar aku yang tanya dari hati ke hati. Biasanya, perempuan akan lebih nyaman jika bercakap dengan sesama perempuan. Iya, toh?" katanya lagi. Aku tersenyum mendengar akan hal itu. Iya, aku juga percaya dengan Manis. Bahwa jika Manis yang bicara dari hati ke hati dengan Rianti, maka ketemu permasalahan Rianti adalah pasti akan berhasil.     

"Tapi, aku ndhak jadi bali (pulang) sekarang," kataku kemudian, melahap menu sarapan buatan Manis. Sambel tomat, ayam goreng, tempe goreng, dan lalapan mentimun. Enak, sambal buatan Manis. Spesial benar.     

"Lha, kenapa ndhak jadi bali, Kangmas? Apakah ada perkara yang hendak Kangmas selesaikan di sini?" tanya Manis lagi.     

"Perkara dengan Rianti. Aku ndhak terbiasa membuat masalah dengan Rianti berlarut-larut, Sayang. Biasanya, aku akan menuntaskan masalahku dengannya di hari yang sama. Begitu pula dengan masalah apa pun, pula dengan masalahku denganmu."     

"Baik, baik... jadi nanti siang, kamu jemput aku ke Universitas. Pagi ini aku akan bicara berdua dengannya. Sebab kurasa, tadi pagi-pagi sekali Rianti sudah keluar dari rumah hendak pergi kuliah,"     

"Siap!"     

Setelah sarapan, dan mengantar Manis ke Universitas, aku kembali ke rumah. Dan rupanya, di sana sudah ada orangtuaku. Romo, dan Biung sudah duduk berdua di dipan depan rumah, sambil tertawa kecil bersama dengan Paklik Junet. Paklik Junet? Lantas yang mengantarkan ke sini siapa? Paklik Junet kan ndhak bisa mengendarai mobil?     

Aku bergegas turun dari mobil, kemudian mendekat ke arah mereka. Kugulung kaus panjangku sampai sesiku, kemudian duduk di antara mereka.     

"Romo, Biung, Paklik...," sapaku, sembari menyium tangan mereka satu-satu. "Kenapa kalian ke sini? Bukankah di Ngargoyoso sedang repot-repotnya?" tanyaku kemudian.     

Padahal katanya, saat ini adalah kerja pertama para pegawai kuli bangunan untuk babat alas membuatan wisata di Kemuning, kemudian beberapa hal perkara tembakau yang gagal panen serta ada pertemuan dengan pemilik pabrik. Tapi mereka kok malah ke sini semua, toh?     

"Kenapa? Ndhak suka melihat Romo, dan Biung ke sini? Takut menganggu hari bulan madumu dengan istrimu yang tercinta itu?" sindir Romo Nathan, aku langsung mencibir. Duh Gusti, padahal aku kan bertanya baik-baik, gemar benar Romo iini berpikiran buruk terharapku. Padahal aku sangat bahagia, jika mereka mau bertandang ke sini. Itu pertanda, jika mereka sayang denganku. "Kemarin pasti Manis sudah dikerjai habis-habisan sama dia. Dasar pemuda jelek yang nafsuan," sindirnya kemudian.     

"Kangmas!" marah Biung.     

"Habis-habisan apanya? Di rumah banyak sekali tikus, bahkan beberapa pakaianku, pakaian Manis, dan Rianti yang kami tinggal, nyaris habis karena digondol tikus di seluruh penjuru rumah, dengan kondisi sudah nyaris habis karena mereka makan. Duh, Gusti, harus pakai apa aku membuat cara agar tikus-tikus ndhak tahu diri itu pergi, dan ndhak datang ke sini lagi,"     

"Bahkan tikus pun tahu, kalau mereka ndhak setuju, ada manusia berpikiran kotor sepertimu mau menyalurkan hasrat di sini. Itu makanya mereka ngamuk!"     

"Romo, kalau Romo ke sini niatnya hanya untuk mengata-ngataiku, kenapa Romo ndhak kembali saja ke Kemuning?" kataku kemudian.     

Suasana langsung hening setelah aku mengatakan hal itu. Sepertinya ucapanku sudah sangat kelewatan. Gusti, kenapa toh dengan aku ini? Kenapa aku sekarang jadi mudah sekali terpancing emosi? Apa benar ini ada kaitannya dengan trahku sebagai penerus dari darah Hendarmoko yang jahanam itu? Ndhak... aku ndhak mau!     

"Kangmas...," kata Biung, sembari mengelus lengan Romo Nathan dengan lembut. Aku yakin, jika Biung hendak menenangkan hati Romo yang barangkali telah tersinggung dengan ucapanku tadi. "Kamu ini lho, sudah tua kok ya bicara berlebihan terus. Kamu ini Juragan Besar, ndhak elok, dan ndhak pantas perkara ranjang dan nafsu sebagai bahan olok-olokkan,"     

Bahkan Biung yang ndhak asli darah biru saja paham tentang perkara itu. Tapi Romo, yang bahkan sedari kecil diajari, dan dididik dengan sangat ketat perkara unggah-ungguh, sopan-santun, dan lain sebagainya untuk menjadi seorang Juragan terhormat masak ndhak tahu? Atau malah, melanggar aturan itu merupakan hal wajib yang harus dia lakukan?     

"Maaf, Romo... ndhak seharusnya aku berkata kasar," kataku pada akhirnya.     

"Ndhak apa-apa," jawab Biung. "Ohnya, Biung dan Romo ke sini mau memberimu beberapa keperluan rumah, serta memberimu beberapa wejangan."     

"Wejangan apa, Biung?"     

"Setelah sebulan kamu menikah dengan Manis, pasti akan banyak sekali hal-hal yang baru kamu tahu dari dia. Begitupun sebaliknya. Tentang kebiasaan-kebiasaan buruk di dalam kamar, keseharian, dan lain sebagainya. Dan Biung beri saran, agar kamu dan Manis harus tetap menjadi pasangan yang kompak," kata Biung pada akhirnya.     

"Benar kata Biungmu. Sebab bagaimanapun, tahun pertama pernikahan adalah tahap pertama kamu saling mengenal. Tahap pertama kamu, dan Manis sama-sama jatuh cinta. Dan tahun setelahnya, akan ada beberapa masalah rumah tangga, dari yang kecil, hingga yang besar. Lima tahun, jika kamu bisa melaluinya selama itu, maka rumah tanggamu akan terbilang cukup kuat."     

"Terus?" tanyaku pada akhirnya?     

Oke, mereka hendak memberiku wejangan jika aku, dan Manis harus selalu kompak, dan berusaha sebaik mungkin menerima kekurangan pasangan masing-masing. Baik itu tentang kebiasaan buruk, dan lain sebagainya. Itulah yang dikatakan oleh Romo, dan Biung, kan?     

"Jadi, kalau kamu masih paham ya sudah. Kami bali (pulang)," kata Romo kemudian.     

"Nesu (marah), romo nesu?" godaku. Romo hanya cemberut.     

"Tadi ini, Romo ke sini nyetir mobil sendiri, lho," kini Biung kembali bersuara.     

"Iya, bener. Karena Sobirin, dan Suwoto ndhak bisa mengantar," imbuh Paklik Junet.     

"Lantas, untuk apa Paklik Junet ikut ke sini juga?" tanyaku. Dia memangnya ada perlu apa, toh?     

"Ya rindu kamu, toh. Masak iya aku ke sini mau sekolah juga."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.