JURAGAN ARJUNA

BAB 41



BAB 41

0Ini adalah hari ke empat Ningrum ada di rumah, dia sama sekali enggan keluar dari kamar. Meski kata Rianti kondisinya jauh lebih baik dari hari sebelumnya, namun tetap saja melihat pemandangan sosok itu tengah melamun di balik jendela kamar benar-benar membuatku risau. Di usianya ini, bukanlah hal yang wajar jika dia harus berduka, di usianya ini bukanlah waktunya untuk dia memikul beban mengerikan ini. Seharusnya yang ia tahu hanyalah bersekolah, kemudian bermain, dan menghabiskan sisa setiap harinya dengan bahagia bersama dengan keluarganya tercinta.     
0

Kuhelakan napas beratku sebelum kuketuk pintu kamar itu dengan pelan. Rianti sudah pergi ke rumah Manis bersama dengan Biung, dan beberapa abdi dalem lainnya. Membuat suasana rumah menjadi sepi. Yang berada di balai ini mungkin hanya aku dan Ningrum, sementara abdi dalem yang tersisa, sibuk membersihkan atau melakukan kegiatan mereka di balai lainnya.     

Ningrum tampak menoleh, rambut sepunggungnya tergerai indah saat tersapu angin yang masuk melalui jendela yang terbuka, sesekali ia menyibak anak-anak rambut yang menutup matanya untuk diselipkan di belakang telinga. Matanya yang indah itu kini masih sembab, aku yakin jika tiap malam ia masih menangis. Tatapannya sendu, dan senyum yang biasa merekah itu tampak sirna.     

"Juragan... Juragan...," lirihnya. Seolah aku ini adalah orang yang telah lama dia tunggu.     

Aku duduk menghampirinya, kemudian dia ikut duduk di ranjang, sambil memeluk kedua kakinya yang ia tekuk.     

"Bagaimana kabarmu, Ndhuk? Apakah perasaanmu sudah lebih baik sekarang?" kutanya. Dia tampak diam. Sesaat aku juga ikut diam, bingung dengan apa yang hendak kukatakan. Ningrum bukanlah orang dewasa yang mungkin akan paham jika aku nesehati, atau sekadar kukatakan hal-hal sampah yang masuk akalnya. Nalarnya masih sangat lugu, dan polos, yang ndhak akan mengerti ucapan dari seorang pemuda dewasa sepertiku ini. "Aku sama sekali ndhak menyuruh pun berharap jika saat ini kamu akan menjawab jika kamu sudah baik-baik saja. Tentu, bukan itu. Sejatinya, apa yang kamu alami bukanlah suatu hal yang bisa dihapus dalam waktu empat hari. Benar toh?" kutebak, sambil terus memerhatikan mimik wajahnya, barangkali jika ucapanku melukai perasaannya. Jujur, perasaan Ningrum adalah hal utama uang ingin selalu kujaga sampai kapan pun itu.     

Ningrum tampak menatapku, matanya kembali nanar sampai tangis itu kembali mengalir di kedua sudut pipinya.     

"Ndhak ada yang akan baik dari kehilangan. Sebab, bagian nyawa yang mengisi hati kita sudah ndhak ada. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hanyalah, mengikhlaskannya. Kita tetap bisa mengenang dengan senyuman, dan mereka yang ndhak ada akan bahagia di sana."     

"Apa benar seperti itu, Juragan?" tanyanya seolah penasaran. Aku mengangguk. "Lantas... lantas setelah ini, bagaimana dengan nasibku, Juragan? Aku ndhak punya siapa-siapa? Simbah dari Bapak bahkan ndhak datang kemari untuk membawaku pulang bersama mereka. Yang kupunya hanyalah orangtuaku dengan kakangku. Tapi, mereka malah pergi seperti itu. Ini semua salah Bapak! Kenapa Bapak tega membunuh Kakang, dan emakku, Juragan, kenapa!"     

Lagi, luapan emosi itu kembali meledak dalam diri Ningrum. Semua rasa yang agaknya ia pendam sedari kemarin kini kembali menyembur keluar. Seperti magma di gunung berapi, yang bisa meluluh lantahkan apa saja yang menyentuhnya. Ningrum meski denganku, tapi bisa kulihat dengan jelas jika dia seolah sendiri. Dia bagaikan sosok yang sulit kugapai saat ini, dia bagaikan sosok yang sulit kusentuh. Dan ya, aku tahu... ini semua karena rasa kehilangan, dan luka yang ia rasakan.     

"Ndhak ada yang tahu isi hati seseorang, Ndhuk. Dan, bertanya seperti itu pun ndhak akan menemukan jawaban apa pun selain rasa lara yang semakin membara, toh. Jadi lebih baik, anggap ini bagian dari takdir Gusti Pangeran. Percaya saja, akan ada hikmah di balik kejadian ini. Perkara nanti kamu tinggal di mana, dan dengan siapa. Bukankah kamu sudah berada di rumahmu sekarang? Bukankah kamu sudah bersama dengan keluargamu sekarang?" kubilang, Ningrum masih tampak membisu, dia ndhak mengatakan apa-apa selain menundukkan wajahnya, dengan isakan yang masih begitu kentara. "Baik Bapak, dan Emakmu, ndhak ada satu pun yang tahu, dan ndhak ada satu pun yang berhak disalahkan atas semuanya. Jika kamu terus mencari siapa yang salah, dan di mana letak masalahnya, itu sama saja kamu ndhak ikhlas, kamu ndhak rela, dan kamu ndhak mempasrahkan ini semua karena kehendak dari takdir Gusti Pangeran. Jadi, ikhlas, meski aku tahu itu sangat sulit bagi anak seusiamu untuk itu, tapi belajarlah. Kamu ndhak sendiri, Ndhuk. Ada aku, ada Ndoro Larasati, Juragan Nathan, dan Ndoro Rianti, toh?"     

"Maksud, Juragan?" tanyanya kini tampak bingung. Aku yakin, dia ndhak paham dengan ucapanku. Namun begitu aku juga ndhak tahu, bagaimana cara memberitahunya dengan cara yang baik, dan benar sehingga dapat dimengerti oleh gadis kecil sepertinya. Aku kembali tersenyum, kemudian sedikit membungkuk agar wajahku bisa sejajar dengannya.     

"Mulai sekarang, ini adalah rumahmu. Keluarga ini adalah keluargamu. Jadi, kamu ndhak usah lagi mencari-cari, dan resah tentang keluargamu," kataku pada akhirnya.     

"Tapi, aku ndhak memiliki hubungan apa pun dengan keluargamu, Juragan. Bagaimana mungkin, aku menjadi anggota dari keluarga ini. Kata Emak, seorang akan menjadi keluarga jika memiliki sebuah ikatan."     

"Lantas apa kamu benar menginginkan sebuah ikatan agar kamu mau dikatakan sebagai anggota dari keluarga ini, Ndhuk?" tanyaku. Kecerdasan Ningrum kadang-kadang memang sering membuatku sedikit kesal.     

Ningrum tampak diam, dia sepertinya bingung dengan pertanyaan yang kulontarkan. Kuelus punggung kecilnya dengan lembut, membuatnya memandangku dengan mata bundarnya. Sabar, Arjuna... Ningrum masih kecil, dia ndhak mungkin paham dengan apa yang kamu katakan sebanyak itu.     

"Apa kamu mau menjadi istriku? Dengan begitu kita akan memiliki ikatan, bukan?" tanyaku, sambil menarik sebelah alisku sembari memandangnya. Ningrum tampak melongo, wajahnya memerah, dan aku ndhak tahu kenapa dia berekspresi seperti itu. Rasanya benar-benar ndhak tega menggoda anak gadis seperti itu.     

PLAK!!     

Aku langsung mengaduh kesakitan tatkala kepalaku dipukul oleh seseorang. Saat kulihat, ternyata Rianti sudah berdiri di sampingku dengan wajah menyeramkannya itu. Berkacak pinggang dengan mata melotot seperti bawang bombay. Lihatlah, bagaimana bisa mata bulatnya itu bisa menjadi lebih besar, dan menyeramkan dari biasanya. Ya, kurasa di keluargaku, hanya Rianti, dan Biung yang memiliki mata bulat seperti itu, sementara aku dan Romo endhak.     

"Kangmas ini apa-apaan, toh, ya! Bicara apa ngelindur, toh! Masak anak kecil digoda seperti itu! Ingat umur, toh, Kangmas! Bahkan, rambut bawahmu sebentar lagi beruban masih saja menggoda anak kecil!" marahnya. Ya, seperti ini. Perempuan satu ini kalau marah seperti genderuwo. Oh, bukan, wewe gombel!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.