Pekerjaanku [End]

Masalah



Masalah

0Sepulang kuliah, Bos mukanya udah butek banget, macam baju yang direndem seminggu tapi nggak buruan dicuci. Nggak biasa banget kan? Apalagi pas naruh kunci mobil, dia main lempar aja. Alhasil kuncinya jatuh dibawah meja. Kan jadinya aku yang kudu ambil kuncinya.     
0

"Whats wrong?" tanyaku. Ya berusaha akrab gitu. Kaya Mr. Ilham sama Eric, atau Mr. Bima sama Josh.     

"I want a new car."     

Lah, bukannya mobil dia baru ya? Maksudnya, baru setahun kan ada di garasinya? Lagian juga ada mobil lain yang bisa dia pake.     

"What kind of car?"     

"Ordinary car, same as the others." aku jadi mikir mendengar jawaban ini.     

Mobil yang biasa dan sama seperti yang lainnya? Emang mobil yang biasa itu yang gimana? Sama seperti yang lainnya itu maksudnya gimana? Kok tetiba aku jadi nggak konek gini ya?     

"What do you mean?"     

Bukannya jawab pertanyaanku, Bos Kecil malah memandangku dengan garang dan langsung meninggalkanku di dapur sendirian. Sumpah, tatapannya tuh serem banget. Itu tatapan paling ekspresif yang pernah aku lihat dari seorang Angga Narendra.     

Setelah itu, paginya aku disuruh ke rumah utama dan mendapat sidang. Kairo dan Rossie menanyaiku seputar mobil biasa yang dimaksud oleh Bos Kecil.     

"Mungkin beliau tidak percaya diri mengendarai mobil itu. Terlihat sangat mencolok." kataku, menjelaskan. Ya iya sih, siapa juga yang mau jadi berbeda? Dimana yang lainnya pake mobil biasa aja, dia pake mobil mewah.     

Sidang kelar pas banget Bos Kecil telepon. Minta aku jemput. Jemput? Bukannya dia bawa mobil ya?     

Ternyata, dia mau tukeran mobil. Untuk waktu yang tidak ditentukan karena dia mau jadi anak yang biasa aja. Terserah deh, yang penting aku laporan aja sama Mr. dan Mrs. Narendra tentang tingkah anak bungsunya itu.     

Aku tuh nggak tahu ya bedanya mobil keluaran Asia dan mobil keluaran Eropa. Yang aku tahu cuma interior sama harganya aja yang bedain. Ternyata beda sama Bos Kecil. Dia marah-marah karena nggak bisa mengemudikan mobil dinasku yang notabene adalah mobil keluaran Asia dengan baik dan benar. Lah, salahku juga?     

Hampir seminggu Bos Kecil mengendarai mobilku buat ke kampus atau kemanapun. Sampai akhirnya beliau insyaf dan sadar bahwa takdirnya bukan mengendarai mobil murah.     

Sore itu aku lagi nyiapin dokumen yang diminta sama Bos Kecil, jadi aku stay di rumah. Jam 4 lebih kayaknya, dia telepon. Anehnya, suaranya tuh kedengaran sedih gitu.     

"Pick me up." gitu doang, tapi pikiranku udah melayang nun jauh dimato.     

Langsung aja cabut, tanpa beresin dokumen atau apapun. Yang penting rumahnya dikunci.     

Lututku langsung lemes rasanya pas sampai di pintu masuk kampus. Di depanku ada pemandangan paling memilukan yang pernah aku lihat.     

Mobil dinasku yang mahal teronggok begitu saja dengan bagian depannya yang seolah ingin membelah menjadi 2.     

"Are you okay?" tanyaku ke Bos Kecil ketika bisa menguasai diri. Bos Kecil cuma menganggukkan kepala dan memasang tampang menyesal.     

"I'm so sorry, Deano."     

Ya biasa aja kali, orang itu juga mobil emak bapak lo. Rasanya pengen banget ngomong gitu, tapi nggak tega. Secara, aksi mengendarai mobil dinasku ini termasuk ilegal. Mr. Ilham udah kasih peringatan untuk nggak mengendarai mobil orang lain, tapi nyatanya si Bos malah mengendarai mobilku. Dan nabrak pula.     

"Pak, udah telepon mobil derek? Ini nggak bisa jalan ke bengkel sendiri." pak Satpam seolah mengingatkanku akan kenyataan pahit ini.     

Sedih banget rasanya. Tapi ya gimana, udah kejadian ini.     

Jalan keluar kampus jadi macet karena mobil derek datengnya 30 menit kemudian. Bukan cuma karena mobilnya menghalangi jalan aja sih, tapi karena banyak orang kepo sama mobil bagus yang nabrak tiang listrik.     

Selesai ngurus mobil, sekarang ngurus Mr. dan Mrs. Narendra yang kayaknya udah marah banget tahu anak emasnya kecelakaan. Nasib deh.     

***     

Lupain urusan mobil dinas. Sekarang ada hal penting lainnya yang harus dibahas.     

Tiba-tiba aja Mr. Angga ngasih aku surat. Bukan surat cinta, melainkan surat panggilan. Rasanya persis banget ketika aku dikasih tahu sama Edo kalau aku harus ke sekolahannya karena Edo bikin masalah.     

Dan kali ini juga gitu masalahnya. Bos berkelahi sama salah satu kakak tingkatnya. Entah apa yang diributin sampai ada adegan jotos. Yakin banget kalo di lawan babak belur, karena biar dikata bodinya biasa aja, Bos itu rajin latihan fisik.     

Pukul 10 pagi, aku udah sampai di kampus dengan pakaian formal. Aku nggak tahu yang ada dihadapanku itu siapa. Maksudnya apa jabatannya. Aku rasa sih bukan dekan ya, karena masalah sepele kayak gini nggak perlu turun tangan dekannya.     

Bener dong, si lawan Bos mukanya udah babak belur gitu. Sedangkan Bos cuma lebam di 2 tempat, ujung bibir dan pelipis dekat mata. Kebetulan banget kemarin pas kejadian, aku lagi sibuk, jadi nggak tahu menahu perihal ini.     

Disingkat aja ya.     

Intinya, Bos Kecil mukulin itu si Galih secara membabi buta. Sialnya, banyak saksi yang melihat kalau Bos Kecil itu mukulin si Galih. Apa penyebabnya? Mereka nggak tahu. Aku juga cuma dikasih lihat rekaman CCTV-nya.     

Dari pertemuan itu, Bos Kecil dapet skors karena mukulin mahasiswa lainnya selama 3 minggu. Sedangkan si Galih itu dapet skors 1 minggu karena dia adalah korban. Padahal kalau Bos mau speak up apa yang menjadi masalah dan pemicunya, aku yakin hukumannya nggak akan selama itu.     

Lagi, Bos Kecil bilang buat nggak ngasih tahu ke orangtua ataupun para kakak. Selama masih bisa ditangani sendiri, kenapa nggak? Tapi yakin mereka nggak akan tahu dengan sendirinya?     

Aku sih yakin ya, kalo ini semua bukan salah Mr. Angga sepenuhnya. Apalagi kalo udah kenal Angga Narendra dengan baik, pasti akan sepemikiran sama aku. Bukan buat membela karena dia bosku, tapi memang tipe orangnya gitu si Bos. Dia bukan tipe yang gampang tersulut emosinya kalau bukan karena hal yang fatal.     

Kejadian ini terjadi tepat setelah ujian semester ganjil selesai.     

Yang lebih herannya lagi, Bos lagi-lagi dapet surat panggilan. Hanya berselang 3 bulan sejak surat panggilan yang pertama. Dan kali ini aku dengan tegas bilang untuk nggak menyimpan masalah ini sendirian, alias aku akan bilang ke Mr. Narendra dan Nyonya Clara.     

"I'll tell him by my self." cuma itu jawabannya ketika aku selesai ngomong secara berapi-api.     

Dan ketika hari panggilan datang, aku tetep datang sih ke kampus. Mobil mewah Mr. Narendra udah terparkir dengan rapih di parkiran kampus Bos Kecil. Dimana Pak Sopir lagi asik dengerin lagu campur sari sambil leyeh-leyeh, padalah ini masih pagi.     

"Bapak kemana, Pak?" tanyaku ketika sudah mencapai mobil.     

"Bapak lagi di dalem sama Mas Kairo. Ada Bos Kecil juga."     

Aku tahu kemana aku harus menuju. Begitu sampai, ada temen Bos Kecil yang duduk di kursi luar ruangan bersama beberapa mahasiswa lainnya. Aku mengenalinya salah satunya sebagai Jonathan Sena, tapi aku nggak kenal yang lainnya.     

"Sir." panggilku ke Jonathan Sena.     

"Oh, Deano. Apa kabar?" Jonathan Sena meringis kesakitan karena sudut bibirnya luka.     

"May I know what happened yesterday?"     

Jona, panggilan akrab untuk Jonathan Sena, segera mengedarkan pandangannya. Lalu dia menarikku ke sisi lain ruangan agar tidak terdengar suaranya.     

"Itu si Galih sama temen-temennya bikin masalah lagi. Kalo kasus pertama kemarin bilang Angga tuh simpenannya tante-tante, yang ngajarin Mamanya. Yang sekarang, Mamanya dikatain simpenan orang kaya." jelas Jona dengan suara rendah.     

Kan bener apa yang sudah aku duga. Bos tuh bukan tipe yang bakal bergerak kalau nggak dipicu. Dan sekarang tinggal tunggu aja gimana hasil pertemuan ini. Karena pasti ada yang bakal bungkam setelah keluar dari ruang pertemuan itu.     

Hampir 2 jam pertemuan itu berjalan. Rasanya deg-degan nungguin hasilnya kek gimana. Tapi juga tenang karena ada Mr. Narendra dan juga Kairo.     

Dua orang pertama yang keluar dari ruangan itu langsung berjalan tanpa basa-basi. Itu si Galih dan bapaknya mungkin. Dan wajahnya si Galih babak belur lagi kayak kejadian yang pertama. Tak berselang lama, rombongan Bos keluar. Wajahnya biasa aja, lebih serem kalo datar gini.     

"Aku nggak tahu kalau dia anakmu. Aku pikir anakmu yang paling kecil itu Ilham." aku nggak tahu itu siapa, karena baru pertama kali ketemu.     

"No, masih ada Angga. " Mr. Narendra menjawab dengan ramah. Tangan Mr. Narendra langsung merangkul pundak anaknya.     

Bos Kecil diam saja. Dia jalan pelan seolah enggan bergabung dengan gerombolan ini.     

Selesai basa-basi, Mr. Narendra langsung masuk ke mobil. Tak berselang lama, Kairo membisikkan sesuatu ke Bos Kecil dan akhirnya mereka masuk ke dalam mobil.     

Kairo sempat berpesan kepadaku untuk membawa pulang mobil Bos Kecil, karena Bos Kecil akan pergi bersama dengan Mr. Narendra. Oke aja sih, walaupun aku juga bawa mobil kesininya. Lagian ada Jona yang bisa dimintain tolong buat bawain mobil Bos Kecil pulang kan?     

Yup, Jona adalah the one and only teman di kampusnya Bos Kecil. Nggak heran sih si Bos Kecil nggak punya temen, soalnya dia emang susah banget berbaur sama lingkungan. Jangankan lingkungan seramai kampus, orang di rumah aja dia lebih seneng jadi pelengkap penderita. Plek ketiplek sama Mr. Arrael. Bisa ya gitu jadi orang?     

Bisa dilihat kalau Jona itu tipe yang pantang menyerah dan cerewet banget. Jadi kemungkinan besar Jona yang ngotot buat temenan sama Angga Narendra. Dan karena Bos udah bosen nanggapi, jadi ya udah dibiarin aja Jona deketin. Itu skema bagaimana mereka bisa berteman. Nggak heran lah pokoknya.     

"Ini rumahnya Angga?" pertanyaan itu sudah bisa ditebak sih.     

"Iya, sekotak 4 rumah ini milik Narendra." jawabku, sembari menunjuk rumah yang jadi 1 dengan rumah ini.     

"Wow, sekaya apa mereka?"     

Aku juga pernah menanyakan hal itu kepada Rossie. Tapi dengan tegas Rossie menolak memberikan jawabannya. Bukan nggak mau jawab mungkin, tapi karena Rossie juga nggak tahu seberapa kaya keluarga ini. Misal tahu juga kayaknya Rossie nggak mau jawabin sih, kan itu bagian dari privasi.     

"Siapa aja temen kampus yang pernah kesini?" Jona segera mengalihkan pertanyaan.     

"The one and only, Jonathan Sena." Jona langsung melongo begitu mendengar jawabanku.     

Itu bener. Memang Jona seorang yang pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Beberapa teman lainnya memang pernah ada yang ingin berkunjung ke rumah ini, tapi diabaikan begitu saja sama Bos Kecil. Orangnya emang gitu, susah banget diajakin bersosialisasi.     

"Nanti Angga marah nggak kalo aku kesini?"     

"I don't know."     

Aku pernah bilang belum sih soal peraturan dasar di keluarga Narendra ini? Kayaknya sih udah, tapi biar aku ulangi lagi. Peraturan utama untuk para pegawai di keluarga Narendra adalah sopan dan privasi.     

Sopan jelas artinya ya. Kami harus sopan sama siapa aja yang menjadi kolega atau teman atau tamu keluarga Narendra. Untungnya sejauh ini nggak ada orang yang bertingkah sama kami. Jadi aman.     

Privasi juga jelas artinya. Bahwa kami nggak bisa dan nggak boleh membeberkan informasi apapun tentang keluarga Narendra kepada siapapun. Kecuali udah seijin sang empunya. Bahkan kami kalau mau pamer di sosmed juga tahu diri. Karena aku pernah disemprot sama Kairo waktu itu. Gegara aku foto di depan mobil terus aku upload ke sosmedku. Ternyata ada plat nomor dan juga lokasinya.     

Seprivasi itulah keluarga ini. Atau mungkin bisa juga setertutup itu keluarga ini. Kayanya juga mereka nggak punya sosial media yang lagi ngehits deh.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.