Pekerjaanku [End]

Opsi Lain



Opsi Lain

0Lama tinggal di Perancis itu bikin kagok ketika balik ke Indonesia. Ya ampun, belagu banget ya aku. Tapi beneran, kadang aku masih berbicara dalam bahasa Perancis kalau lagi ngomong. Entah ke siapa aja yang ngajakin aku bicara.     
0

Aku bangga pada diri sendiri karena berhasil bertahan di Perancis dengan baik selama 6 bulan terakhir ini. Apalagi kalau mengingat bahasa Perancis ku yang masih amburadul. Dan hebatnya lagi, aku bisa berkomunikasi dengan baik selama disana. Prestasi yang harus disombongkan lah pokoknya.     

Sebulan setelah kembali dari Perancis, Bos Kecil memberikan kabar yang sangat mengejutkan. Dia menyuruhku mencari seseorang yang bernama Alif Dauqi. Rasanya nggak asing sama nama itu, tapi nggak tahu pernah nemu dimana.     

Nggak cuma itu. Wajah Bos lebam dan ujung bibirnya terluka. Jelas abis ditonjok sama orang. Anehnya, Bos nggak minta aku buat ngurus masalah itu. Dan lagi, Bos nggak membahas perihal luka yang didapatinya itu kepadaku. Seolah nggak pengen aku tahu dari mana dia mendapatkan luka itu. Tapi nggak bisa gitu, Ferguso!     

Aku tetap bisa tahu darimana Bos mendapatkan luka lebam itu. Dan ternyata keluarga Kara yang memberikan luka itu. Entah ayah Kara ataupun adiknya. Entah apa masalahnya, tapi untuk saat ini aku belum tahu. Kadang repotnya kalau Bos ngurus masalah pribadinya sendiri tuh ya gini.     

Aku memberi informasi kepada Bos dimana keberadaan Alif Dauqi itu. Ternyata sedang ada di Ternate, pulang ke kampung halamannya. Apa yang aneh? Nggak ada. Wajar kan kalau anak perantauan pulang ke kampung halamannya? Lagian ini masih dalam rangka liburan akhir semester kan?     

"Kara is pregnant, with that f*ck*ng Alif Dauqi." meski wajahnya terlihat datar, tapi aku tahu Bos sedang merasa jengkel.     

Agak syok juga sih mendengar berita bahwa Kara yang selama 2 tahun terakhir ini dekat dengan Bos ternyata malah hamil sama pacar sahabatnya sendiri. Iya, pada akhirnya aku tahu siapa Alif Dauqi. Dia adalah pacar sahabat Kara, Celine.     

Nggak tahu deh kenapa itu perempuan bisa keblinger gitu. Memangnya kurang apa sih bosku itu? Nggak ada yang bisa menandingi Bosku dalam segala hal.     

Tanpa sepengetahuan Kara, Bos mendatangi itu laki-laki yang nggak bertanggung jawab. Bukan untuk meminta pertanggungjawaban, melainkan memperingatkan agar dia nggak pernah mendekati Kara lagi.     

Sialnya, gosip segera menyebar di kampus, kalau seorang Angga Narendra ternyata menghamili mahasiswi yang beda jurusan sama dia. Dan fakta bahwa mereka nggak akan menikah juga diketahui sama banyak orang. Kenapa sih orang pada ribet ngurusin hidupnya orang?     

"Itu bisa mencoreng nama Anda." kataku, berusaha merayu Bos agar mau mengklarifikasi berita yang sudah terlanjur menyebar.     

Bos diam aja. Tanda bahwa dia nggak menyetujui ideku. Aku nggak tahu sih kenapa Bos nggak mau ngomong dan membersihkan namanya. Jelas-jelas itu bukan anak Bos kan yang ada di perut Kara.     

Yang lebih ribetnya lagi, aku harus menyiapkan barang-barang Bos karena dia sudah memutuskan untuk menetap di Singapura. Double kill banget deh ribetnya.     

Itu baru dari sisi pekerjaan ya, belum dari sisi keluargaku.     

Bosku yang baik hati dan sedikit songong itu memberikan pilihan padaku, apakah aku akan itu pindah ke Singapura atau dia akan tetap stay disini. Waktu yang aku miliki adalah 1 minggu. Aku sih udah denger kasak-kusuk tentang pindahannya si Bos sejak masih di Perancis, tapi nggak tahu kapan keputusan pindah dilaksanakan.     

Waktu itu aku memutuskan untuk ikut Bos ke Singapura. Aku harus ada di sisi Bos dimana pun dia berada. Sama seperti Kairo yang rela meninggalkan Jerman dan ikut Mr. Narendra. Aku juga gitu, pengen profesional.     

Tapi nggak segampang itu juga kan? Kalau cuma pindah ke Jakarta atau kota lain yang ada di Indonesia aku pikir masih bisa dimaklumi, tapi kalau ke luar negeri?     

"Memang nggak ada kerjaan lagi disini? Sampai kamu harus ikut bosmu keluar negeri?" itu pertanyaan dari Bapak.     

Diam salah, nggak diam juga salah. "Itu tugasku, Pak. Aku kan asisten pribadinya Bos."     

"Asisten pribadi apa kacung? Kamu kok malah jadi kayak kerbau dicucuk hidungnya sih?" tanya Ibu berapi-api. Jelas nggak suka sama ideku untuk pindah ke Singapura.     

Kalau kayak gini, aku kudu jawab apa? Serba salah kan aku jadinya.     

Pada akhirnya aku nggak melanjutkan pembicaraan itu lagi. Aku tahu nggak akan mendapat solusi kalau kami memutuskan melanjutkan pembicaraan.     

Berhari-hari berikutnya aku nggak membahas perihal kepindahanku ke Bapak sama Ibu. Aku belum memutuskan apakah aku akan ikut dengan Bos atau menetap disini. Sampai hari kepindahan Bos, aku masih belum memberikan jawaban yang pasti.     

"Kita coba jarak jauh." kata Bos, ketika beliau akan berangkat. Aku menganggukka kepala.     

Nyatanya, kerja jarak jauh gini tuh nggak bagus. Ada aja hal yang nggak tepat ketika bekerja. Entah itu karena salah tangkap atau kurang jelasnya informasi yang diberikan. Dan aku akhirnya memutuskan untuk pindah ke Singapura. Aku sih nggak bilang kalau mau pindah, aku cuma bilang ada pekerjaan keluar kota selama sebulan.     

Rasanya memang nggak enak harus bohong sama Bapak dan Ibu, tapi aku belum bisa menemukan kalimat yang tepat untuk memberitahu mereka kalau aku sekarang berada di Singapura.     

***     

"Pak, Bu, ijinin aku kerja di Singapura. Perjalanan kesana kan cuma 2 jam. Jadi cepet." kataku akhirnya.     

Bapak memasang wajah datar, sedangkan Ibu terlihat menahan amarah.     

"Kasih tahu aku alasan, kenapa kalian nggak pengen aku kerja ikut Bos di Singapura." tambahku.     

Sekali lagi, Bapak masih memasang wajah datar, tapi sekarang menghela napas berat. Ibu udah nggak melotot ke arahku, tapi berulang kali berusaha menahan air mata biar nggak turun.     

"Kenapa harus jauh? Deket sini kan juga ada kerjaan to?" akhirnya Ibu bersuara. "Biar nggak ada yang nanyain kapan kamu nikah? Biar kamu nggak perlu denger orang-orang nyebut kamu bujang nggak laku? Atau kamu lebih milih gaji kamu yang gede itu dari pada keluargamu?"     

Kami sedang berkumpul di ruang tengah sembari menonton televisi. Edo dan Fara langsung menolehkan kepala mereka ke Ibu ketika Ibu udah selesai ngomong.     

"Ibu kok tega ngomong kayak gitu ke Mas Ano? Bu, omongan orangtua tuh doa, kalau ada malaikat yang aminin gimana?" Fara membelaku seperti biasa.     

"Bu, lagian Mas Ano kan kerja disana." tumbenan Edo membelaku juga.     

Kami semua terdiam. Rasanya nggak bisa melanjutkan pembicaraan ini lagi. Tapi aku harus bisa mendapat ijin dari mereka malam ini, karena pesawatku akan berangkat nanti tengah malam.     

Bapak mendehem lalu membetulkan posisi duduknya. "No, Bapak sama Ibu udah tua. Nanti kalau kami meninggal, kami ingin anak-anak berkumpul dan mendoakan kami."     

Agak kaget sih denger ucapan Bapak itu. Padahal aku selalu doain Bapak sama Ibu panjang umur biar bisa lihat aku menikah. Aku juga pengen bawa keluargaku piknik bersama melihat salju yang selalu mereka impikan. Aku lagi berusaha mewujudkan keinginan keluargaku satu per satu, tapi bisa-bisanya bapak ngomong kayak gitu?     

Kalau aku menjawab, aku takut apapun kata yang keluar akan menyakiti Bapak dan Ibu. Jadi aku cuma bisa diam. Dengan langkah lemas, aku masuk ke dalam kamar, memikirkan apa yang dikatakan oleh Bapak dan Ibu.     

Mungkin mereka takut kalau aku berjauhan dengan keluarga. Selama ini, aku memang nggak pernah keluar dari rumah dan hidup sendiri. Berbeda ketika aku bepergian mengikuti Bos, karena pada akhirnya aku akan kembali ke rumah, meski itu dalam waktu yang lama.     

Sekarang ini kasusnya berbeda. Jelas kalau aku akan keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain, meski pada akhirnya aku akan pulang juga. Entah kenapa aku merasa bersalah juga ke Bapak dan Ibu.     

[I'll pick you up at 11 pm.]     

Pesan dari Bos Kecil membuatku tergugah dari lamunan.     

Aku tahu kalau Bapak dan Ibu akan marah besar, tapi aku tetap akan keluar dari rumah ini. Bukan karena aku marah atau ingin sok mandiri, tapi aku terlalu nyaman bekerja bersama Bos Kecil. Ada banyak hal yang harus aku pelajari, dan aku nggak rela kalau harus berhenti saat ini.     

Sudah diputuskan. Dengan atau tanpa ijin dari Bapak dan Ibu, aku akan tetap pergi meninggalkan tanah kelahiranku. Toh aku akan pulang setiap 2 atau 3 minggu sekali, jadi menurutku nggak masalah. Anggap aja aku pindah kerja di Solo atau Semarang, yang jarak tempuhnya sama dengan Singapura.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.