Pekerjaanku [End]

Mulai Bekerja



Mulai Bekerja

0Banyak hal yang harus aku pelajari. Sangat banyak. Banyak banget.     
0

Ini hari keduaku bekerja, tapi aku sudah mengeluh. Yah, siapapun mungkin juga akan mengeluh kalau tahu apa saja yang harus aku kerjakan.     

Belajar beberapa bahasa asing. Contohnya, bahasa Korea Selatan, bahasa Jerman, bahasa Perancis. Kenapa aku harus belajar ketiga bahasa itu? Karena ketiga anak Nyonya Clara tinggal di Jerman dan Perancis, jadi jelas bahasa itu akan sangat dibutuhkan. Lalu bagaimana dengan bahasa Korea Selatan? Jawabannya adalah karena Angga Narendra, bosku, lebih banyak menggunakan bahasa itu selain menggunakan bahasa Inggris ataupun bahasa lainnya.     

Ya ampun, berapa tahun waktu yang aku butuhkan agar aku bisa menguasai kesemua bahasa itu?     

Seketika aku mengeluh.     

Itu baru tugas pertama. Tugas selanjutnya adalah aku harus bisa menguasai pekerjaan atasanku. Termasuk membuat, menyiapkan dan menguasai banyak hal yang dilakukan oleh Angga Narendra. Well, apa yang akan dilakukan oleh anak berusia 16 tahun? Kegiatannya pasti hanya seputaran sekolah dan main kan?     

"Do you have a passport?" Rossie menanyakan hal itu, ketika dia sudah selesai menjelaskan beberapa tugasku.     

"No, I don't."     

"We'll make it tomorrow. And learn what you see." Rossie langsung mengemasi barangnya dan meninggalkanku sendirian di ruang belajar ini. Yah, bisa dibilang ini adalah perputakaan sih.     

Kemarin, hari pertamaku bekerja, aku hanya berkeliling rumah dan menghapalkan denah rumah. Aku juga diberitahu kalau aku hanya harus stand by di rumah kalau tidak ada agenda keluar.     

Oh, aku juga mendapatkan mobil dinas yang keren banget. Setelah aku mencari informasi, harga mobil ini lebih dari 500 juta rupiah. Wow, mobil yang dipakai oleh karyawan saja harganya segitu fantastis. Jelas dong pemiliknya mengendarai mobil yang lebih wow lagi harganya.     

Dan memang benar. Harga mobil milik Mr. Narendra aja 2x lipat mobil yang diberikan padaku untuk mobilisasi. Itu baru 1 mobil yang aku lihat hari itu, karena ketika aku datang pertama kali kesini, ada 3 mobil yang terparkir manis di depan garasi.     

Di rumah utama keluarga Narendra tidak begitu ramai. Hanya ada Mr. dan Mrs. Narendra dan juga Angga. Yang bekerja disini juga tidak banyak. Sangat berbeda dengan kebanyakan orang kaya yang mempekerjakan banyak orang.     

Disini hanya ada 2 asisten rumah tangga, 1 tukang kebun, 1 supir pribadi, 2 asisten pribadi dan juga 4 satpam. Tidak semuanya tinggal di rumah ini, karena ada beberapa yang ternyata adalah warga sekitar sini. Untuk mereka yang tinggal disini, ada rumah yang memang disediakan untuk mereka tinggal. Tentu saja terpisah dari rumah utama. Kecuali Rossie yang tinggal di rumah utama ini. Alasannya, karena dia adalah satu-satunya pegawai perempuan yang tinggal disini.     

Agenda hari ini membuat paspor. Semua berkas yang dibutuhkan sudah aku bawa, karena semalam aku mencari tahu syarat apa saja yang dibutuhkan untuk membuat paspor. Kami menuju ke sebuah tempat yang terlihat biasa saja. bangunan 2 lantai terlihat seperti ruko.     

Masuk, bertemu dengan resepsionis. Dia hanya diam saja ketika melihat Rossie yang masuk. Benar-benar hanya menganggukkan kepalanya. Rossie pun hanya menganggukkan kepalanya sembari melangkah menuju lantai 2.     

Meski bangunan ini terlihat seperti ruko biasa, tapi bagian dalamnya terlihat berbeda. Apalagi peredaan itu terlihat jelas di lantai 1 dan lantai 2. Lantai 1 terlihat biasa saja, layaknya ruko biasanya. Tapi ketika sudah melangkah ke lantai 2, terlihat perbedaan yang sangat besar.     

Lantai 2 terlihat sangat mewah. Meja resepsionis terlihat sangat bagus. Apa ya sebutan yang tepat? Ya pokoknya begitulah. Dindinnya dilapisi kertas dinding yang mewah, membuat ruangan itu berbeda. Ada 3 ruangan di lantai itu, terlihat pantry juga.     

Sama seperti di lantai 1 tadi, si resepsionis hanya menganggukkan kepalanya begitu melihat Rossie datang. Bedanya, sang reseosionis langsung membimbing kami menuju ke pintu kaca gelap.     

Ruangan ini sebelumnya hanya ada di imajinasiku. Atau paling real ada di drama korea yang aku tonton bersama Fara sejak kemarin.     

Meja besar yang terlihat kokoh dan berkuasa, yang jelas hanya dimiliki oleh para pemimpin. Di hadapannya, ada sofa yang empuk dan nyaman. Rak buku yang menempel di dinding membuat suasana ruangan semakin serius.     

"Miss Rossie, apa kabar?" pria paruh baya menyambut kedatangan kami.     

"Good." Jawab Rossie, sembari membalas jabat tangan sang pria. "He is Deano Ramzi, Mr. Angga Narendra's personal assistant."     

Pria itu beralih kearahku. Menjabat tangan dan mengenalkan diri sebagai Priyo Hastono.     

Setelah basa-basi singkat, Rossie langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Bahwa dia ingin membuat paspor untukku. Mr. Hastono hanya tersenyum genit ke arah Rossie. Aku yang melihatnya saja merasa sangat terganggu. Tapi, Rossie hanya memasang wajah datarnya dan tidak menggubris Mr. Hastono.     

"Silahkan datang 2 hari lagi. Semua akan siap." Ucap Mr. Hastono ketika Rossie sudah siap untuk bangkit.     

Lega rasanya bisa keluar dari ruangan itu. Meski mewah tapi terasa sesak karena tatapan sang pemilik ruangan yang minta dicongkel bola matanya. Rossie tidak merespon ataupun melakukan sesuatu atas perbuatan orang itu.     

"Ignore him, we need his services." Hanya itu yang diucapkan oleh Rossie, ketika kami sudah masuk ke dalam mobil.     

Kali ini aku yang mendapat kehormatan untuk mengemudikan mobil. Tadi Rossie yang mengendarai mobil karena aku tidak tahu kemana kami akan pergi. Agak grogi mengendarai mobil ini, karena mobil ini bagus banget dan mewah. Takut aja kalau mobilnya lecet dan harus ganti rugi. Padahal kan ini baru aja aku masuk kerja.     

Beruntungnya aku tidak melakukan kesalahan. Kami sampai ke rumah dengan selamat, tanpa ada goresan di mobil. Anyway, sepanjang perjalanan, aku dan Rossie tidak berbincang. Dia sibuk mengutak-atik tablet-nya, seolah tidak ada aku disampingnya. Eh, ternyata aku dan Rossie itu seumuran.     

***     

Setiap hari aku akan belajar bahasa Korea. Ada tutor yang sengaja didatangkan untuk mengajariku. Dan targetnya, aku harus bisa lancar berbahasa Korea maksimal 6 bulan. Ya ampun, bisa potek otak ini lama-lama.     

Jadilah setiap pulang kerja, aku selalu membaca buku yang diberikan untuk aku pelajari. Aku juga jadi sering melihat drama Korea yang sedang hits belakangan itu. Ah, nggak lupa, aku minta Fara mengajariku beberapa kata yang biasanya dipakai untuk percakapan sehari-hari.     

"Kenapa Mas minta ajarin bahasa Korea?" itu pertanyaan yang wajar diajukan.     

"Bos Mas ternyata sering pakai bahasa Korea. Kan nggak lucu kalo Mas nggak paham dia ngomong apa." jawabku, sembari menyeruput kuah mie instan.     

Memang ya, mie instan kuah ditambahin cabe rawit sama telur ceplok rebut itu duet dahsyat buat bikin mood baik. Apalagi setelah diruwetkan dengan bahasa yang nggak dipahami dan juga tulisan yang ajaib.     

"Bos Mas orang Korea?" Fara langsung antusias. Tapi langsung layu ketika aku menggelengkan kepala. "Trus kenapa dia pake bahasa Korea? Kenapa nggak pake bahasa Indonesia aja?"     

Iya juga ya. Kenapa si Bos pake bahasa Korea? Sedangkan dia bukan warga negara Korea Selatan. Kan masih mending kalau Bos berbicara bahasa Inggris atau Jerman atau Perancis kan? Secara keluarganya tinggal disana, jadi bahasa itu sangat terpakai. Nah ini, bahasa Korea?     

"Nggak tau. Intinya dia kalo ngomong pake bahasa itu. Emak bapaknya juga ngikut pake bahasa itu."     

"Daebak! Itu sekeluarga pecinta k-pop apa yak?" kadang pemikiran Fara ada benarnya juga.     

Intinya, aku punya 2 tutor sekarang. Tutor ahli yang disediakan oleh keluarga Narendra dan juga tutor abal-abal si Fara. Tapi mendingan lho, Fara lumayan juga ngajarinnya. Kalau di rumah terkadang kami ngomong pake bahasa Korea, meski masih absurd gitu.     

Selain belajar bahasa Korea yang harus segera aku kuasai, aku juga harus belajar tata cara menjadi asisten pribadi yang baik. Jadi, aku harus mengikuti kemanapun Rossie pergi, karena dia sekarang adalah tutorku juga. Yah, kecuali kalau dia ke toilet dan juga ke kamarnya, aku nggak ikut. No, nanti bisa digebukin sama orang rumah. Masih mending sih digebukin, daripada di dor sama si Bos kan.     

Terus juga aku mulai mempelajari apa saja kegiatan si Bos. Mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Aku sih nggak ngikutin dia dari melek sampai merem ya, tapi aku harus menyiapkan semua kebutuhannya. Itu adalah tugasku. Karena belum begitu banyak hal yang aku kerjakan untuk si Bos, jadi skip dulu kintilin dia. Beda sama Kairo dan Rossie yang selalu kintilin kedua Bos Besar.     

Sumpah ya, kerjaannya si Bos tuh cuma belajar dan juga main tablet doang. Pagi, ketika aku sampai di rumah keluarga Narendra, dia udah stand by di ruang tengah buat belajar sama gurunya. Orang kaya mah homeschooling yak. Itu juga dia belajarnya cuma sampai jam 12 siang, yang artinya dia sekolah cuma 4 jam doang. Beda banget kan sama sekolah formal pada umumnya yang bisa sampe sore.     

Abis belajar, dia trus masuk ke kamarnya. Betah banget di dalam kamar. Keluar kalo cuma dipanggil sama Nyonya Clara. Kalo nggak ya udah ngerem gitu di kamar. Semisal keluar kamar juga selalu nenteng tablet kesayangannya, kalau nggak ya laptop. Aku curiga, kalo si Bos Kecil itu maniak game.     

Apalagi kegiatan si Bos Kecil selain belajar dan main tablet? Biasanya sih ngikutin emaknya kemana aja. Semisal ketika Nyonya Clara kudu ketemu klien, dia bakal kintil. Kek anak bebek yang nggak mau pisah sama emaknya lah itu si Bos.     

Bukan mau menjelekkan si Bos Kecil yak, tapi aku masih belum nemu faedah keberadaanku disini. Beneran. Buat apa coba punya asisten pribadi kalo kegiatannya kek gitu? Apa karena mereka kebanyakan uang trus bingung gimana mo ngabisinnya?     

Sama seperti siang ini, aku kejatah mengendarai mobil membawa Nyonya dan Bos Kecil ke kota. Tentu aja ada Rossie juga.     

Eh, kenapa aku bilang ke kota? Itu karena rumah keluarga Narendra ada di pelosok. Harus menempuh perjalanan sekita 1 jam untuk sampai di pusat kota. Bayangin aja tuh, Mr. Narendra yang harus menempuh perjalanan 2 jam untuk pulang dan pergi bekerja, karena kerjaan beliau ada di tengah kota.     

Sebenernya ada bagusnya juga tinggal di kampung gini. Udaranya masih seger dan nggak berisik sama kendaraan. Terus juga orang kampung biasanya lebih ramah dan suka gotong royong. Beda sama kehidupan di kota. Jadi punya mimpi, suatu saat bawa Bapak sama Ibu buat pindah ke kampung, biar masa tuanya tuh tenang.     

Lanjut ke acara siang ini. Nyonya ada acara ketemu sama relasi kerja. Mereka terlihat sangat serius membahas pekerjaan, ditemani Rossie yang menyimak dan mencatat apapun yang bisa dicatat. Lalu, dimana aku?     

Aku duduk berdua sama Bos di meja lain, tapi tetap berdekatan. Jadi aku tetap bisa denger apa yang sedang mereka diskusikan. Pikiranku terbagi 2, antara meja Nyonya Clara dan juga si Bos. Meski si Bos diam saja dan asik dengan tabletnya, tapi matanya terlihat awas. Ya mengawasi Nyonya Clara lah, emang mau ngawasin siapa lagi?     

Terlihat banget kalau si Bos ini orangnya posesif banget. Kek mau menguasai emaknya sendiri gitu. Baru ngalah kalau Mr. Narendra yang mendekat. Itu sih baru pengamatanku, karena aku belum melihat semua anggota keluarga itu berkumpul.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.