Pekerjaanku [End]

Tanggung Jawab



Tanggung Jawab

0Meski terlihat urakan, tapi Kara adalah gadis yang baik dan juga santun. Setiap kali bertemu denganku, dia akan tersenyum sopan dan menjaga sikapnya. Seolah ingin menampilkan sosok gadis yang sempurna. Sayangnya aku tahu kalau itu cuma akting belaka. Nggak papa, selama Bos senang.     
0

Dan semakin lama Bos memang semakin membaik. Masih suka pasang wajah datar, masih ngeselin dengan ucapan singkatnya, masih gila kerja juga. Tapi paling nggak, sekarang Bos udah punya agenda lain. Nggak melulu janjian sama klien ataupun menyelesaikan gambar. Sekarang Bos udah ada agenda semacam kencan, makan malam di luar. Bahkan Bos rela banget antri buat beli tiket bioskop. Padahal kalo mau gampangnya, dia tinggal telepon pihak bioskop aja udah bisa milih mau duduk dimana. Bisa juga tinggal suruh aku buat nyariin tiket nonton nya, dia duduk santuy tiket datang. Atau nonton eksklusif cuma berdua sama Kara aja juga bisa.     

Dalam hati aku ketawa ngakak melihat Bos dengan wajah bete karena harus antri lama. Belum lagi tatapan orang yang tertuju kepadanya karena penampilan fisik yang berbeda. Ya siapa juga yang nggak otomatis melirik kearahnya karena tinggi yang menjulang itu?     

Aku bahkan dengan isengnya mengirim foto Bos yang mengantri kepada para kakak. Respon mereka hampir sama. Itu Angga Narendra? Kesambet setan apa dia mau ngantri? Dan beberapa kalimat yang menyatakan bahwa itu adalah sebuah keajaiban bahwa Angga mau melakukan hal itu.     

Well, Bos Kecil tuh bukan orang yang ribet sebenernya. Dia lebih seneng melakukan keperluan pribadinya sendiri. Berbeda dengan para kakak yang mau kencan aja minta asisten pribadi buat booking meja di restoran. Atau beli buket bunga untuk kekasih aja kudu dipesenin sama asisten pribadi. No, Bos Kecil nggak kayak gitu.     

Nah, alasan Bos nggak suka keramaian itu karena enggan menjadi pusat perhatian. Ya salah siapa coba punya penampilan yang mencolok? Tinggi, putih, dan terlalu fashionable.     

Sekarang, Bos mau mengantri juga karena Kara memintanya untuk melakukan hal normal yang dilakukan sepasang kekasih. Memangnya mereka udah jadian ya? Udah resmi pacaran? Kok aku nggak dapet traktiran semacam pajak jadian sih?     

Nggak cuma melakukan hal yang diluar kebiasaannya aja. Bos sekarang juga banyak tersenyum. Jadi memang benar kalau keduanya memiliki hubungan yang spesial.     

***     

Memang ya, kalau orang kaya tuh kalo pacaran juga beda. Sebagai perbandingan aja, dulu aku pacaran cuma boncengan motor kemana-mana dan makan di warung pinggir jalan. Itu pun nggak bisa setiap hari karena uang kami nggak sebanyak itu. Harus nunggu abis gajian dulu baru bisa foya-foya.     

Nah ini, anak piyik orang kaya malah ngasih mobil mini merah yang jarang dipake buat pacarnya. Gila nggak sih? Mobil harga mahal itu cuma dikasih cuma-cuma ke pacar. Udah nggak habis pikir aja sih.     

Aku menyampaikan hal itu ke para kakak karena mereka memang ingin tahu apa saja yang dilakukan Bos sama pacarnya itu.     

Bukannya mau nyari ribut ya, aku cuma pengen para kakak menasehati adiknya biar nggak terlalu loyal ke pacar. Apalagi kan pacar belum tentu jadi pasangan hidup alias menikah kan. Dan lagi, Bos kan kaya raya, takut aja kalau nanti cuma dimanfaatin sama pihak perempuan. Agak suudzon kalo ini mah.     

"Itu namanya tanggung jawab, Dean." kata Mr. Arrael ke aku.     

Sumpah, aku nggak mau mengadu domba keluarga itu.     

"Dia memang harus melakukan hal itu. Kalau nggak, nanti aku yang bakal turun tangan. Memalukan nama Narendra kalau dia tidak bertanggung jawab." Mr. Bima menambahkan.     

Aku nggak paham kenapa mereka berkata seperti itu.     

"Gini, Dean, kami sebagai laki-laki merasa bertanggung jawab dan harus merawat pacar kami karena itu salah satu bentuk sayang kami. Kalau cuma dianggap pacar sama ditidurin doang sih namanya nggak tanggung jawab. Memang ada harga yang harus dibayarkan. Semacam take and give gitu." aku makin nggak paham dengan ucapan Mr. Ilham.     

Terlihat para kakak jengkel melihatku yang belum memahami maksud perkataan mereka.     

"Intinya, kalau kamu sudah berani mengambil anak orang menjadi pacar, ya kamu harus berani juga mengambil tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya." jelas Mr. Bima santuy.     

Emang harus gitu? Aturan mana yang mengharuskan hal seperti itu? Kayaknya nggak juga deh.     

Meski belum paham sepenuhnya, tapi sekarang aku sudah tahu maksud Bos Kecil memintaku membawa mobil mini merah itu. Biar Kara bisa kemana-mana dengan mobil itu tanpa kepanasan. Dan lagi, Bos nggak mau Kara mengendarai motor kemana-mana. Malah, kadang aku harus mengantar jemput Kara kemanapun gadis itu akan pergi.     

Juga alasan kenapa Bos memberikan sebagian kecil gajinya untuk Kara. Sebagian kecil ya, karena ada bagianku juga dalam gaji Bos yang angka nol-nya banyak banget itu.     

Nggak berasa aja, udah 2 tahun aja Bos kecil menghabiskan waktu bersama Kara. Ada banyak perubahan positif yang aku lihat. Kalau kayak gini, rasanya aku ingin mengucapkan banyak terima kasih ke Kara. Dan semakin lama, Kara mulai bisa mengikuti alur kehidupan Bos Kecil.     

Itu hal yang patut diapresiasi, mengingat Kara hanya anak biasa yang nggak tahu menahu tentang kehidupan Bos Kecil kan. Dan mereka makin solid sebagai sepasang kekasih. I'm happy for them.     

***     

Tahun ini adalah tahun yang membuatku dilema sebenarnya.     

Bos udah lulus kuliah, tinggal nunggu wisuda aja beberapa bulan lagi. Bos memang sengaja memundurkan jadwal wisuda karena ingin menikmati momen kelulusan itu bersama para sahabatnya. Biar ada temen buat foto juga katanya.     

Sekarang, Bos udah punya temen akrab lagi selain Jona. Dia adalah Galih. Iya, Galih yang itu. Galih yang dulu sering berantem sama Bos Kecil, bahkan Galih yang pernah bikin Bos meregang nyawa.     

Hidup memang penuh misteri, nggak tahu kita akan berteman dengan siapa dan dengan cara apa.     

Nah, selama menunggu waktu menuju wisuda itu, Bos memanfaatkan waktu untuk magang di perusahaan terkenal. Buang-buang waktu nggak sih? Padahal Bos udah kerja di perusahaan properti, tapi masih merepotkan diri dengan magang di perusahaan lain. Apapun itu asal Bos Kecil senang.     

Rencananya, Bos akan magang selama 6 bulan. Nggak tanggung-tanggung, magangnya aja di Perancis. Itu yang ngasih koneksi buat masuk magang ya Mr. Ilham Narendra.     

Kenapa aku galau? Karena aku belum pernah bepergian selama itu ke suatu tempat. Dulu, awal aku kerja di keluarga Narendra, aku memang sering bepergian ke luar negeri. Meski totalnya bisa berbulan-bulan, tapi aku akan kembali ke Indonesia terlebih dahulu sebelum berangkat ke negara tujuan lainnya.     

"Pak, Bu, aku mau minta ijin. Aku mau ke Prancis selama 6 bulan." kataku, ketika aku memutuskan untuk meminta ijin kepada orangtua dan para adik.     

"Sering balik?" tanya Edo polos.     

Aku menggeleng, "Nggak, aku menetap selama 6 bulan. Boleh kan?" aku melihat kearah Bapak dan Ibu.     

"Kok lama?" akhirnya Ibu buka suara.     

"Mr. Angga magang selama 6 bulan disana. Jadi aku harus ikut. Lagian, kalo keseringan pulang, tiketnya mahal, Bu."     

"Iya sih. Tiketnya aja seharga motor. Kalo Mas pulang pergi, kita kudu jual semua motor yang ada disini." Fara memberi tambahan informasi. Ah adik perempuanku ini memang hebat.     

"Terus, kapan kamu mau nikah? Sekarang kamu udah 30 tahun lho."     

Jujur saja, aku paling males kalau ditanya perihal nikah. Nggak terkecuali meski Ibu yang tanya. Jadi aku menghela napas dan memasang wajah judes. "Nanti kalau waktunya nikah, aku juga akan nikah."     

"Edo aja udah kenalin pacarnya ke Bapak sama Ibu. Masa nanti kami mau nikahin Edo dulu, bukannya kamu."     

"Ya udah, biar Edo dulu yang nikah. Aku mau ke kamar dulu." tanpa berbalik melihat bagaimana reaksi keluargaku, aku masuk ke kamar.     

Apa sih masalah mereka? Kenapa selalu mempermasalahkan aku yang belum menikah diusia yang ke 30? Apa itu tindak kriminal?     

"Bu, kok ngomong gitu? Emangnya aku mau nikah cepet apa? Aku kan baru kerja, belum ada tabungan buat nikah." suara Edo terdengar seperti protes.     

Aku nggak masalah kalau Edo memang mau nikah dulu. Toh nggak ada aturan yang melarang adik untuk nikah duluan kan? Selama mereka sudah siap lahir dan batin, aku pikir nggak masalah mereka menikah. Toh itu lebih baik ketimbang bikin dosa jadi bahan ghibah tetangga.     

Jangan sampai kayak aku, yang bawa anak orang kesana kemari selama 8 tahun tapi belum bisa memberi kejelasan tentang pernikahan. Aku sadar itu kesalahan terbesarku, tapi aku nggak menyesali ataupun trauma dengan kejadian itu.     

Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunanku. Fara menyembulkan kepalanya dari balik pintu. "Boleh masuk?"     

Aku menganggukkan kepala dan Fara segera masuk. Aku yakin, Fara akan menjadi negosiator untukku dan juga keluarga.     

"Mas marah?" tanya Fara ragu.     

"Nggak, cuma jengkel aja."     

"Karena Mas Edo udah kenalin pacarnya ke Bapak sama Ibu?"     

Aku berpikir sejenak. Apa yang membuatku merasa jengkel? Karena Ibu memintaku menikah atau karena Edo sudah mengenalkan pacarnya tanpa sepengetahuanku?     

"Tentang Ibu yang memintaku menikah." akhirnya itu yang menjadi jawabanku. Tapi, itu nggak berarti aku marah dengan Edo karena sudah mengenalkan pacarnya.     

"Mas pernah bilang bakal nikah setelah aku lulus kuliah. Sekarang aku udah mau wisuda, jadi mungkin Ibu mikir Mas mau memikirkan kata-kata yang pernah Mas ucapkan."     

Kok rasanya kayak ditampar ya? Aku mengakui pernah bilang itu ke Bapak dan Ibu, ketika ditanya kenapa aku nggak buruan nikah. Dan ternyata sekarang Fara udah mau wisuda yang berarti dia udah lulus kuliah. Lalu, apalagi yang aku tunggu?     

Kalau boleh jujur, aku mungkin hanya mencari pelarian karena trauma ditinggal nikah Nara. Mungkin, karena aku nggak tahu juga. Mungkin juga aku terlalu asyik dengan pekerjaan, sehingga aku lupa bagaimana caranya mencari pacar. Apapun alasannya, aku tahu kalau kesalahan ada di diriku.     

Paginya aku menjelaskan kepada Bapak dan Ibu mengenai alasanku belum mau menikah. Aku masih harus belajar lagi untuk bisa menjadi seorang asisten pribadi yang baik. Aku juga ingin belajar lagi, yang artinya aku memutuskan untuk kuliah.     

Susah lho ngomong ke orangtua dengan nada sehalus mungkin agar mereka bisa memahami dan mendukung langkah yang kuambil. Apalagi aku harus menjelaskan juga bahwa menikah saat ini bukan prioritas utamaku.     

"Bapak sama Ibu doain aja biar aku segera ketemu jodoh yang tepat. Jadi aku bisa segera menikah." kataku menutup perbincangan itu. Lalu aku pamit untuk berangkat kerja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.