aku, kamu, and sex

Kawan lama



Kawan lama

0Betapa terkejutnya Rey ketika mendengar bahwa Ramond adalah anak dari kakak kandungnya sendiri, namun tiba-tiba bahunya ditepok oleh Jelita yang sudah ada di dekatnya.     
0

"Anak angkat." Jelita paham bahwa Rey sedang bingung, jika kakaknya gay bagaimana dia bisa menghamili perempuan. Rahasia ini tetap akan tersimpan rapat dihati mereka.     

"Hah! anak angkat?" Rey menatap Jelita dan berganti menatap Arlita dan Mamanya.     

"Nanti aku ceritakan, anterin ke kantin sebentar sepertinya aku butuh yang seger-seger, sekalian beli makan buat mama sama ramond." Ajak Jelita yang sudah mengapit lengan kokoh Rey.     

"Ayo!!" Jelita menarik lengan Rey, dan apa daya Rey hanya mampu mengikuti apa yang diinginkan adik angkatnya ini.     

"Rey pergi dulu, Ma." Ucap Rey sambil mingikuti langkah Jelita.     

Mereka berjalan melewati lorong rumah sakit, dengan Jelita yang masih bergelayut manja pada lengan Rey, sedang Rey berjalan dengan santai, kedua tangannya ia masukkan ke saku celana panjang kain yang ia kenakan.     

Rey memang penyuka style santai, bahkan setiap ke kantor Rey hanya mengenakam kemeja yang dibalut dengan jas, tanpa mengenakan dasi. Namun demikian kharismanya tak kalah dengan Ronald ataupun Danil, bahkan Rey diam-diam telah menjadi idola di antara karyawan di dua kantor nya. Pembawaannya yang ramah dan suka bercanda serta mampu membaur pada karyawan di bagian manapun menjadi penyebab utama dia menjadi idola di dua kantornya.     

"Gue haus Rey, pesenin es buah ya, Gue tunggu disini." Rengek Jelita pada Rey yang memutar bola matanya malas, melihat tingkah manja adiknya.     

"Mau apa lagi? gue ga mau bolak-balik cuma pesan makanan elo ya."     

"Ih, gitu amat sih."     

"Bodo."     

"Udah ih, pesenin es buah, sekalian pesen makan buat Ramond sama mama."     

"Lo ga makan? tadi katanya laper?"     

"Pengin es dulu, belum pengin makan."     

"Ya salam." Rey melangkah malas ke gerai makanan di kantin, namun saat ingin membayar makanan dia melihat seseorang yang ia kenal.     

"Fahrul?!" Laki-laki yang disebut Fahrul lekas menoleh ke sumber suara.     

"Reynald?!" Setelah menyebut nama Rey, Fahrul menghampiri sahabat lamanya itu, mereka berpelukan sebentar, kemudian saling menatap satu sama lain.     

"Kamu bener-bener berubah Rey, kalau kamu ga nyapa aku duluan, aku ga bakal ngenalin kamu."     

"Halah, kata siapa? berlebihan kamu." tandas Rey.     

"Kamu ngapain disini?"     

"Aku jemput mama sama tuh Jelita." Tunjuk Rey pada Jelita yang sedang duduk sambil memainkan smartphonennya.     

"Ga usah Baper, dia udah nikah." Ucap Rey membuat Fahrul mengulum senyum malu karena ketahuan masih memendam rasa pada Jelita.     

"Aku tahu, dia menikah sama putra Ibu-Ibu yang sering datang ke pesantren kita dulu kan?"     

"Iya, Ngomong-ngomong kamu ngapain disini?" Rey penasaran pada sahabatnya ini karena ia tahu Fahrul tidak menetap di kota ini, Fahrul adalah saudara dari Farida, perempuan yang berhasil membuat Rey sulit move on karena ditinggal nikah.     

"Aku nganterin Om, dia sedang berobat kesini, karena Farida tidak mungkin jika Farida yang mengantarkan." Ucap Fahrul sengaja menyebut nama Farida, Dia ingin tahu apakah cinta itu masih ada untuk Farida atau tidak.     

"Oh, kalau boleh tahu, sakit apa om kamu?"     

"Dia sakit jantung, dan akan menjalani transplantasi jantung beberapa hari lagi, tapi harus pindah ke rumah sakit yang lebih besar, aku sedang mengurusnya."     

"Beritahu apa ada yang perlu aku lakukan untuk membantumu?" Tawar Rey pada Fahrul.     

"Apa kamu tidak sakit hati, Om ku pernah jahat sama kamu?"     

"Om kamu hanya melakukan yang terbaik untuk anaknya, apa hal itu pantas membuat aku sakit hati?"     

"Subhanallah, hati kamu Rey, kamu memang tak pernah berubah, tetap seperti dulu, Farida tak salah menempatkan hatinya."     

"Salah jika rasa itu masih ada untuk saat ini."     

"Tidak, karena Farida telah berpisah dengan suaminya, dia sedang menjalani persidangan terakhir, maka itulah dia tidak bisa mengantarkan ayahnya berobat."     

"Apa maksud kamu?"     

"Farida telah ditalak suaminya, apa kurang jelas?" Tanya Fahrul dia melihat ketidakpercayaan dari mata Rey.     

"Kenapa?"     

"Karena Farida mencintaimu."     

"Maksud kamu?"     

"Farida seperti mayat hidup setelah acara pernikahan, bahkan menurut suaminya hingga mereka berpisah mereka tidak pernah saling menyentuh, Farida menjalankan tugasnya sebagai seorang istri tapi satu hal yang tak mampu ia lakukan, bersentuhan dengan suaminya."     

Tubuh Rey seakan kaku mendengar apa yang terlontar dari mulut sahabatnya, sebegitu besarkah cinta farida kepadanya? Dia mengira Farida sudah melupakannya, dan menjalani hari-hari yang bahagia dengan suaminya, namun apa yang dia dengar baru saja? Bercerai? Rey duduk dikursi yang tak jauh darinya, terkejut? Sedih? dan berbagai rasa berkecamuk di hatinya.     

"Kamu tidak apa-apa Rey?" Tanya Fahrul yang ikut duduk di hadapannya.     

""Rey?!" Fahrul dan Rey menoleh pada sang pemilik suara, Jelita menatap Rey dengan perasaan bingung.     

"Jelita . ." Jelita menoleh.     

"Fahrul . . . apa kabar?"     

"Alhamdulilah baik."     

"Rey lo baik-baik aja kan?"     

Rey sedikit mendongak untuk menatap Jelita sesaat, kemudian melingkarkan kedua tangannya pada pingang sang adik angkat, menyandarkan kepalanya pada perut rata adiknya.     

"Apa yang terjadi Fahrul? apa yang kalian bicarakan barusan?" Tanya Jelita menyelidik, kemudian Fahrul menceritakan apa yang dia bicarakan pada Rey, dan kini Jelita tahu, Rey merasa bersalah.     

"Rey, semua yang sudah terjadi bukan kesalahan kamu, ini semua sudah takdir." Ucap Jelita sambil membelai rambut tebal Rey.\     

"Jika sekarang Farida bercerai dengan suaminya, itu bukan kesalahan kamu juga, lagi-lagi ini sudah takdir, semoga Farida diberikan yang terbaik." Lanjut Jelita.     

"Apa yang dikatakan Jelita itu benar, kamu tak perlu merasa bersalah, dulu kamu sudah berjuang untuk Farida untuk kalian, tapi Om yang menolakmu, Allah mempunyai rencana yang lebih indah untuk kalian, aku yakin itu."     

"Aku melepasnya untuk kebahagiaannya, tapi mengapa semuanya jadi seperti ini?" Ratap Rey.     

"Lagi-lagi Karena aku dia menjadi menderita, memang harusnya sejak awal aku tak mendekatinya, aku tak menaruh hati padanya, harusnya aku tak perlu mengatakan padanya bahwa aku mencintainya."     

"Rey, walau kau tak menyatakan perasaanmu padanya, Farida sudah menyukaimu sejak pertama kali kalian kenal, hingga ketika kita lulus Aliyah, kau menyatakan perasaan mu padanya lewat surat yang kau titipkan padaku, apa kau tahu Rey, dia sampai menangis membaca suratmu, puisi sederhana tapi sarat akan makna cinta."     

"Namun takdir tak berpihak pada kalian, Farida dijodohkan dengan orang lain, dan orang lain itu adalah sahabat kita sendiri, Sofyan sang putra kyai."     

"Sudah lah Rey, kau tak perlu merasa bersalah, ini takdir kalian berdua."     

"Datanglah padanya ketika masa idahnya sudah selesai, karena harapan selalu ada Rey. Aku pamit dulu, dan tolong jangan terlalu kamu pikirkan, ini sudah surtan yang harus saudaraku lalui."     

Rey menatap Fahrul, menganggukkan kepala, menyungingkan senyum yang seakan dipaksakan.     

"Salam untuk om kamu, kabari aku dimana rumah sakit untuk transplantasinya, inshaallah aku kesana."     

"Oke, Assalamualaikum." Fahrul menatap Jelita, rasa rindu dan cintanya masih ada untuknya, namun kini harus ia kubur dalam-dalam karena tak ingin menyakiti Jelita, gadis pertama yang mampu membuat jantungnya berdebar.     

"Waalaikumsalam." Jawab Rey dan Jelita bersama-sama.     

"Mas ini pesanannya." Terdengar suara dari penjual gerai makanan mengagetkan Rey dan Jelita.     

"Trimakasih, Bu."     

"Ya, mba. Permisi."     

SRUUUUPPPP     

Jelita meminum es buah di tangannya, dengan sengaja menimbulkan suara, ia berharap Rey akan bereaksi terhadap apa yang ia lakukan.     

"Ah, segarnya." Ucap Jelita, namun baru saja dia kan kembali meminum es nya, tangan Rey telah mengapai terlebih dahulu, semangkuk es buah dari tangan jelita. Ini lah Rey, moodnya akan segera membaik jika diiming-imingi makanan dan minuman yang segar. Jelita terkekeh melihat Rey yang dengan lahap menikmati es buah miliknya.     

Jelita akhirnya ikut duduk di samping Rey, membuka kotak makanan yang Rey pesan, mengambil sendok dan hendak mulai makan,     

"Itu punya mama." Ucap Rey masih dengan asyik menikmati es buahnya.     

"Itu es buah milikku."     

"Ya udah, makanlah." Jelita tersenyum, kemudian menyodorkan sendok yang telah berisi makanan ke mulut Rey.     

"Makanlah." Ucap Jelita, Rey menuruti apa yang diperintahkan adiknya, membuka mulutnya dan mulai mengunyah makanan yang disuapkan oleh Jelita.     

"Lo masih ada rasa sama Farida?"     

"Entah . . ." Jawab Rey yang masih setia pada makanan dan es buahnya.     

"Kalau boleh jujur, mendengar dia tak bahagia rasanya dadaku sesak, hati ini sakit." Jawab Rey kemudian membuka mulutnya menerima suapan dari Jelita.     

"Lo masih ada rasa sama dia."     

"Benarkah, lalu kenapa aku sering terbayang Humaira?"     

"Humaira? Yang dokter itu?"     

"Iya, jujur saja aku merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya, yang membuat aku selalu bertanya sebenarnya dia itu bagaimana, seperti apa? Banyak hal yang membuat aku penasaran tentang dirinya, dan kamu tahu ga? Ternyata dia adiknya Arka temannya Arlita di kepolisian."     

"Arka? Yang menghandel kasus Danil kan?"     

Rey mengangguk menatap Jelita sekilas, kemudian menyendokkan es buah ke mulutnya.     

"Kok kebetulan begini ya. . ."     

"mana ada yang kebetulan, cicak nemplok ditembok aja udah di rencanakan oleh Allah, kalau kamu lupa."     

"Ya Ampun, Rey. Masak sampai ke cicak segala sih bahasnya." Ucap Jelita smbil tertawa kecil.     

"Menurut aku ya Rey, kamu Cuma penasaran sama Humaira, tapi kalo sama Farida rasa cintamu mungkin sudah mendarah daging, he he ."     

"Kok kamu jadi ikutan ngomong aku kamu sih, Jel? Kayaknya bentar lagi aku bakal di panggil abang nih, Ha ha ha .."     

"Ih, Ngarep."     

"Ya ga apa-apa, apapun panggilan lo ke gue, lo itu tetep adik gue yang paling cute dan nyebelin."     

"Ealaaahhh, muji langsung ngebanting, sadis."     

"Terus sekarang apa yang mau lo lakuin?"     

"Maksud lo?"     

"Ya lo mau balikan sama Farida atau mau ngejar Humaira, atau Arlita mungkin?"     

"Ya Allah, Jellll… Biarlah Allah yang menunjukkan."     

"Gue dukung semua keputusan Lo."     

"Trimakasih ya, Dek."     

"Ihhhhhh…" Jelita mencibir.     

"Hahahahahaha" Rey terbahak melihat ekspresi Jelita.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.