aku, kamu, and sex

keberangkatan



keberangkatan

0Hari keberangkatan Yola, Abdul dan Fatih ke negara A telah tiba, sesuai yang telah mereka rencanakan sebelumnya, mereka akan berangkat tepat pukul Sembilan pagi dari pesantren.     
0

Setelah semua berpamitan, akhirnya mereka kini dalam perjalanan menuju ke bandara, Danil sengaja mengirimkan pesawat pribadi untuk mereka, agar mereka tidak kelelahan saat di perjalanan.     

"Bismillah." Ucap Fatih saat memasuki pesawat pribadi milik Danil.     

"Aku ga pernah tahu kalau ayah kamu punya pesawat pribadi." Kata Abdul pada Yola.     

"Dulu ayah tidak mau beli pesawat pribadi ini, karena menurut ayah akan minim penggunaan, tapi semenjak ayah sakit, jadi bunda menyuruh ayah untukbeli, supaya kalau ayah keluar pulau atau keluar daerah yang harus menempuh dengan pesawat ya punya pesawat khusus sendiri, terus ga capek."     

"Ow. Berarti aku juga harus beli dong, supaya kamu ga capek." Kata Abdul.     

"Ih, buat apa? Kalau kita butuh pinjam aja punya ayah." Jawab Yola lalu tertawa.     

"Yol, suami kamu kan tajir, Iya-in aja kenapa sih?" Sela Fatih yang tiba-tiba muncul di atas tempat duduk mereka.     

"Biarin, mending uangnya buat yang lain. Ya kan Yang.."     

"Termasuk buat kamu itu yang lainnya.." kata Abdul, lalu Yola tertawa.     

"Fatih, perasaan kamu orang yang paling malas kalau di ajak ke negara A dari dulu, sekarang malah kamu minta sendiri untuk tinggal disana." Kata Yola sambil mendongak menatap Fatih, yang juga menunduk menatapnya.     

"Itu karena dulu momma sama opa, suka bilangin Fatih kalau aku harus jadi penerus Opa. Padahal aku mau jadi dokter, bukan bisnisman." Kata Fatih.     

"Perasaan Fahri saja yang orang tuanya itu dokter ga punya cita-cita jadi seorang dokter, kenapa kamu malah ingin jadi dokter?" Tanya Abdul.     

"Oma kami kan dulu dokter, Abdul." Ucap Fatih.     

"Ehm, terus kamu ingin jadi dokter juga?"     

"Iya, pokoknya aku ingin jadi dokter."     

"Oke, semoga tercapai cita-citamu."     

"Amiin, doa seorang gus selalu di ijabah oleh Allah."     

"Amiin."     

"Sayang, kalau capek tidur aja di kamar, aku mau menyelesaikan ini dulu, nanti aku susul." Kata Abdul pada Yola yang bersandar di bahu Abdul.     

"Iya." Lalu dengan langkah malas, Yola menuju ke kabin atas untuk istirahat, pesawat itu dilengkapi dengan dua kamar, yang membuat nyaman penumpang pesawat.     

"Fatih, boleh aku bicara sama kamu?" Tanya Abdul.     

"Boleh," Jawab Fatih lalu berjalan dan duduk di tempat Yola.     

"Ada apa?" Tanya Fatih sambil menoleh pada Abdul, sedangkan tangannya menarik tuas supaya tempat duduknya menjadi agak berbaring.     

"Ini." Ucap Abdul pada Fatih.     

"Kamu dapat dari mana?"     

"Dari Cintya adiknya Ramond, dia menitipkannya padaku, hanya saja aku pikir kamu tidak akan pergi ke negara A secepat ini, jadi aku membiarkan itu tetap di laci."     

"Apa Yola tahu?" Tanya Fatih dengan nada serius.     

Abdul mengeleng, "Tidak, maksudku aku belum memberi tahunya, tapi menurutku kau juga harus memberitahunya karena kalian akan tinggal bersama." Usul Abdul.     

"Ya, baiklah kalau begitu, aku akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan ini pada Yola. Aku sungguh tak mengira jika mereka akan mencariku." Kata Fatih dengan nada khawatir.     

"Jaga diri kamu baik-baik, jangan mudah percaya dengan siapapun."     

"Baik."     

"Aku yakin kalian bisa saling menjaga satu sama lain."     

"Aku pasti akan menjaga Yola dengan baik, kamu tak perlu khawatir Abdul, aku berjanji padamu."     

"Aku percaya padamu."     

"Apa aku juga harus memberitahu papaku?" Tanya Fatih pada Abdul.     

"Jangan dulu, aku takut mereka akan mengkhawatirkan kamu, namun jika keadaan sudah mendesak, aku rasa kamu perlu memberitahu seluruh keluargamu, terutama papa dan momma mu."     

"Ya, baiklah, terimakasih telah menjaga rahasia ini untukku."     

"Sama-sama."     

"Sekarang yang aku takutkan justru nayawa Cintya yang dalam bahaya." Kata Fatih sambil menerawang.     

"Dia mengatakan padaku, jika mereka tak mengenal dirinya, karena Cintya menggunakan ID anonym, jadi sangat kecil kemungkinan untuk bisa terlacak." Jelas Abdul.     

"Tetap saja aku mengkhawatirkannya, dia masih kecil."     

"Dia lebih tua darimu."     

Fatih nyengir, karena yang di katakan oleh Abdul adalah benar adanya, Cintya lebih tuan darinya dua tahun.     

"Lagi pula aku pikir cintya tidak selemah itu." Terka Abdul.     

"Darimana kamu tahu?"     

"Kalau dia berani masuk dalam gembong mafia, apa masih bisa dikatakan dia seorang penakut?" Tanya Abdul sambil menatap pada Fatih.     

"Benar juga."     

"Belum saja aku masuk ke negara A, rasanya nyawaku sudah di ujung tanduk."     

Abdul terkekeh, "Nyawamu bukan ditanganmu, atau ditangan mereka. Tapi ditangan Allah." Kata Abdul lalu tersenyum dan menatap laptop dalam pangkuannya.     

"Iya kamu benar, tapi coba kamu jadi aku, mendapat ancaman seperti ini, bagaimana perasaanmu?" Tanya Fatih, dan Abdul hanya mengendikan bahunya.     

"Aku sudah bilang pada Yola, untuk tidak meninggalkanmu apapun yang terjadi, bagaimana pun kalian hanya berdua tinggal di negara A, jadi harus saling menjaga satu sama lain."     

"Ya aku tahu, aku yakin Yola akan selalu ada untukku."     

"Ya udah jangan sungkan-sungkan untuk menghubungiku jika kalian ada masalah."     

"Baiklah terimakasih atas bantuan mu."     

"Sama-sama adik sepupu."     

Fatih tertawa begitu juga dengan Abdul yang terkekeh.     

"Aku mau melihat Yola dulu." Ucap Abdul sambil menutup laptopnya dan bangkit menuju ke kabin atas.     

Abdul membuka pintu kamar, dan terlihat Yola yang sedang tidur tengkurap sambil memeluk guling. Dengan perlahan Abdul menutup pintu kamar lalu meletakkan laptopnya di atas meja. Perlahan Ia naik ke atas ranjang disisi Yola, lalu mengusap pelan rambut Yola yang tergerai menutupi sebagian wajahnya.     

Abdul mencium pelan kening Yola sebelum akhirnya ikut terlelap di samping istrinya itu.     

Di kabin bawah Fatih memutar otaknya tidak mungkin dia membahayakan Yola karena masalah yang sedang Ia hadapi, namun jika tidak bersama Yola maka tidak ada orang lain yang akan bersamanya selama di negara A, dan juga tidak mungkin dia meninggalkan Yola untuk tinggal sednirian, itu sangat membahayakan nyawa Yola.     

"Lebih baik memang aku tetap bersama dengan Yola. Apapun yang terjadi, dan aku akan mengatakan pada Yola, bahaya yang sedang mengancamku." Gumam Fatih sambil duduk bersandar dikursi pesawat.     

"Lalu bagaimana supaya aku dan Yola bisa aman selama kulaih? Aku harus berbuat sesuatu." Fatih terus bergumam sambil otaknya terus berpikir bagaimana jalan keluar terbaik dari masalah yang sedang menghimpitnya.     

"Kami harus berhati-hati mulai dari sekarang, ini menyangkut nayawaku dan juga Yola." Fatih terus bergumam, hingga akhirnya Ia lelah lalu berusaha untuk memejamkan matanya di kursi pesawat yang Ia setel rebah. Walau ada kamar, namun Fatih malas tidur disana, Ia lebih suka tidur di kursi pesawat, sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil jika memang Ia tak pernah bisa tidur di kabin khusus.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.