aku, kamu, and sex

Tembakan tak terduga



Tembakan tak terduga

0DOR     
0

DOR     

Seketika perhatian semua orang disana teralih menatap ke arah Matt, darah muncrat hingga di baju yang Arlita kenakan, peluru itu tepat menembus bahu dan paha Matt, Sedangkan Arlita hanya diam membeku setelah menembak Matt yang tepat berada di hadapannya.     

Sedangkan mata Arka terbelalak tak percaya dengan apa yang di lakukan oleh Arlita. Bahkan Arka mengira bahwa bunyi tembakan itu berasal dari pistol yang Matt pegang untuk menembak Arlita, tapi ternyata Ia salah, Arlita benar-benar menembak Matt.     

Tubuh Matt terkulai lemas, dan akhirnya perlahan jatuh ke lantai, Arlita yang tadi hanya diam membeku melihat tubuh Matt yang luruh ia berlari dan akhirnya menangkap tubuh Matt sebelum kepalanya terbentur lantai, dengan tangis yang sudah pecah, Arlita terus memeluk tubuh Matt yang sudah berlumuran darah.     

Arka langsung meminta tenaga medis untuk mengangkat tubuh Matt agar segera di bawa ke rumah sakit. Arlita mengengam tangan Matt erat, tak lama kedua mata Matt terbuka perlahan.     

"Arlita, terimakasih." Ucap Matt lirih.     

Arlita memeluk tubuh tak berdaya Matt dengan erat di sela tangisnya arlita berucap, "Maaf, maaf Matt."     

Matt mengeleng pelan, perlahan tangannya terangkat untuk membelai kepala Arlita yang rebah diatas perutnya.     

"Aku tahu, walau tak berucap kau mengerti yang aku inginkan, hanya ini cara agar aku masih bisa bertemu Ramond."     

Arlita semakin kencang menangis ketika nama Ramond di sebut oleh Matt, rasa bersalah dan penyesalan bergelayut dihatinya.     

Arka yang duduk disamping sopir ambulance hanya bisa menarik nafas panjang ketika melihat Arlita begitu terpukul akan kejadian ini, Melihat wanitanya menangis begitu menyayat hatinya, namun hatinya tambah tersayat karena kemungkinan Matt dan Arlita kembali bersama semakin terbuka, dengan begitu ia tak aka nada kesempatan untuk mendapatkan cintanya.     

Bahkan Arlita sengaja menembak Matt agar dapat mengulur waktu proses deportasi Matt ke negaranya sekaligus menunda penyerahan Matt ke Interpol.     

Semua dilakukan Arlita demi Matt dan Ramond agar bisa saling berjumpa lebih lama.     

Sedangkan di rumah keluarga sanjaya, Ronald, Rey dan Papa saling pandang dengan apa yang mereka lihat menggunakan teropong, seketika Ronald berlari kebawah menyambar kunci mobilnya dan segera meluncur mengikuti mobil ambulance yang membawa Arlita dan Matt.     

Perasaannya berkecamuk, bagaimanapun Arlita bagi Ronald adalah sesuatu yang wajib ia jaga dan lindungi, Arlita seorang gadis yang terbuang dari keluarganya, dan yang ia punya hanya dirinya dan Ramond, walau kini semua keluarganya mengagap Arlita sebagai bagian dari keluarga namun perhatian Ronald terhadap Arlita melebihi keluarga lainnya.     

"Arka siapa yang tertembak?" Tanya Ronald melalui sambungan telpon pada Arka.     

"Matt, Matt ditembak oleh Arlita." Jawab Arka diseberang telpon.     

Ronald mematikan ponselnya, dan melaju mengimbagi ambukance di depannya, ada sedikit kelegaan yang Ronald rasakan setelah mengetahui bahwa yang tertembak bukanlah Arlita, namun Ron ald juga berpikir keras bagaimana Arlita bisa melakukan hal itu.     

Ronald yakin bahwa Arlita kini sedang menangis, dan demi apapun Ronald tak akan pernah meninggalkan perempuan itu sendirian apa lagi dalam kondisi seperti ini.     

Mobil ambulance yang membawa Matt dan Arlita memasuki halaman rumah sakit diikuti oleh mobil Ronald dan beberapa anggota kepolisian.     

Matt langsung dibawa ke ruang IGD untuk mendapatkan pertolongan, Arlita berjongkok di depan pintu IGD di temani Arka yang hanya mampu menatapnya sambil menahan nyeri dan sesak di dada. Ronald berlari kearah Arlita dan berhenti disamping wanita itu.     

"Arlita." Panggil Ronald.     

Arlita mendongak dan menatap kea rah suara, seketika ia berdiri dan memeluk Ronald erat. Menangis sekencang-kencang dalam pelukan Ronald.     

Ronald membelai kepala yang berada di dadanya dengan sayang sambil menormalkan nafasnya yang terengah karena ia harus berlari dari tempat parkir hingga ruang IGD. Arka terpaku melihat pemandangan itu, apa kini ia juga harus cemburu pada Ronald?     

Sungguh hati Arlita sulit untuk di tebak, bahkan hubungan merekapun sulit di artikan, hanya antara Ronald dan Arlita yang benar-benar tahu apa yang mereka rasakan. Seseorang yang tiba-tiba menjadi tempat sandaran ketika keluarga sendiri mencampakkannya, tak ada yang bisa merasakan hal itu kecuali Arlita.     

"Tenanglah semua akan baik-baik saja." Ucap Ronald pada Arlita.     

Arlita terus menangis menumpahkan apa yang ia rasakan saat ini, sesat, sakit, sedih, dan entah apa lagi yang ia rasakan yang jelas semua melebur menjadi tangisan yang menyayat bagi siapa saja yang mendengarnya.     

"Kau menembaknya?" Tanya Ronald setelah Arlita agak tenang dan mengajaknya duduk di bangku tunggu di samping pintu IGD.     

Arlita mengangguk, kemudian menyandarkan kepalanya yang terasa berat pada bahu Ronald.     

"Aku akan menyuruh Rey membawa Ramond kesini jika Matt sudah bisa ditemui."     

Lagi, air mata Arlita menetes tanpa dapat ia tahan.     

"Bagaimana aku bisa mengatakan pada Ramond, jika Matt adalah ayah kandungnya?" Ujar Arlita pelan.     

"Aku yang akan mengatakannya, dia anak yang cerdas pasti dia akan mengerti tentang hal ini."     

"Lalu bagaimana jika ia tahu, ayahnya adalah orang yang jahat, dan ibunya yang telah menembak ayahnya?"     

"Kalian tak perlu mengatakan apapun, biar aku yang bicara pada Ramond." Tatapan Ronald tertuju pada Arka yang masih setia berdiri bersandar pada pilar rumah sakit.     

"Aku takut, Ramond akan membenciku dan membenci ayahnya."     

"Pikiranmu terlalu jauh, Ramond bukan anak yang pendendam, dan mudah membenci, kau harus percaya pada apa yang aku katakana."     

"Aku percaya pada mu Ronald, aku percaya karena kau yang membesarkannya, kau yang mendidiknya selama ini,"     

"Kita, kau dan aku." Ronald memeluk tubuh rapuh di sampingnya.     

"Aku sudah pernah bilang padamu, apapun akan kita hadapi bersama demi Ramond, dan sedikitpun aku tak kan pernah mengingkari janjiku."     

"Aku tahu, kau menyayangi Ramond layaknya anakmu sendiri, bahkan kau lebih dari seorang ayah untuknya, kau menjadi tempat ia berkeluh kesah, Ramond selalu bisa bercerita apa saja padamu, tapi tidak padaku."     

Ronald tersenyum, selama ini Ramond memang lebih dekat dengan Ronald dari pada Arlita, bahkan Ramond akan mau bercerita tentang apa saja pada Ronald namun hanya akan diam pada Arlita.     

"kau sedang cemburu padaku?"     

"Hm."     

Ronald terkekeh, begitu juga Arka yang mendengarkan pembicaraan mereka. Seorang Arlita cemburu pada Ronald?     

Arka sungguh mengakui bahwa Ronald adalah sosok yang sempurna untuk Arlita, dan juga Ramond, laki-laki itu tahu bagaimana harus meluluhkan dua orang yang ia sayangi. Dan sekali lagi Arka merasa kalah dan tak ada celah untuk mendapatkan cinta Arlita.     

Arka perlahan melangkah meninggalkan dua orang yang sedang duduk dan saling mencurahkan apa yang mereka rasakan. Namun tiba-tiba langkahnya berhenti saat sebuah suara menginterupsinya.     

"Mau kemana, Arka?" Tanya Ronald.     

Ronald sangat memahami apa yang dirasakan oleh Arka, dia tak mau Arka cemburu padanya, dan salah mengartikan kedekatannya dengan Arlita.     

"Hanya ingin beli kopi." Jawab Arka singkat.     

"Biar aku yang beli, tetaplah disini, temani Arlita."     

"Tapi?"     

Ronald bangkit dari duduknya dan menepuk pundak Arka sekilas dan melengang pergi begitu saja dari hadapannya, lalu Arka duduk di samping Arlita yang kelihatan lebih baik dan sudah menghentikan tangisnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.