aku, kamu, and sex

Perpisahan dan pertemuan



Perpisahan dan pertemuan

0"Kalian hati-hati disana, segera hubungi kami kalau ada apa-apa." Ucap sang papa kemudian memeluk Danil dan Jelita bergantian.     
0

"Mama pasti kangen kalian." Air mata tak mampu lagi untuk dibendung oleh sang empunya.     

Jelita memeluk mamanya penuh sayang, walau mereka terbiasa hidup terpisah namun kali ini jarak mereka hampir tiga belas jam jika ditempuh menggunakan pesawat, itu menandakan jaraknya tidaklah dekat, namun apa mau dikata ini adalah keputusan terbaik demi kesembuhan Danil.     

"Rey, jaga mama, jangan ngapelin Humaira terus." Jelita mulai bertutur pada Rey yang sedari tadi hanya diam.     

Rey tiba-tiba menarik tubuh mungil adiknya kedalam pelukannya, ini adalah sesuatu yang sulit untuk Rey, baru kali ini ia akan berpisah jauh dari sang adik angkat. Sedari kecil mereka selalu bersama, apa yang terjadi pada Jelita dulu membuat Rey semakin protektif pada adiknya ini, namun kini ia harus merelakan sang adik pergi bersama suaminya.     

"jaga kesehatan, beritahu aku kalau ada-apa, aku akan langsung datang. Jangan ceroboh." Rey terus berbicara sambil memeluk sang adik, rasanya begitu berat melepas adik kesayangannya. Jelita hanya mampu mengangguk dalam pelukan sang kakak, di sendiripun sebenarnya sulit untuk berpisah dari kakaknya ini, walau mereka sering bertengkar tapi ikatan mereka begitu dalam.     

"Jaga adik ku baik-baik, kamu harus cepet sembuh, demi Jelita." Ucap rey setelah melepas pelukan Jelita dan berganti memeluk Danil.     

"Doakan ya, oya, kalau suatu saat kamu bertemu dengan Om Richard tolong kasih surat ini untuk beliau, minta beliau untuk membacanya, ini pesan terakhir dari almarhumah Ibuku." Danil menyerahkan amplop putih yang berisi surat untuk sang paman pada Rey, Danil tahu ada kesalahpahaman yang terjadi antara pamannya dan Ibu serta ayahnya yang harus diluruskan. Maka dari itu Danil tak pernah membenci pamannya itu, selama ini dia hanya waspada agar Jelita tak menjadi korban kesalah pahaman dalam keluarganya.     

"Oke, aku akan memberikan ini jika Arka berhasil menangkap Om kamu." Ucap Rey pada Danil dan menepuk lengannya dengan pelan.     

"Ronald kami berangkat." Ucap Danil kemudian memeluk Ronald sekilas, Tak ada suara yang terucap dari mulutnya, hanya sesak didadanya harus melepas dua orang yang selalu ada di hatinya.     

"Kak . . ." Ucap Jelita. Ronald mengangguk.     

"Hati-hati." Hanya itu yang mampu Ronald ucap, kemudian kembali terdiam.     

Danil dan Jelita melangkah menuju pesawat pribadi yang sengaja di siapkan oleh Ronald agar kedua orang yang ia sayang tak merasakan keletihan dan kebebasan saat di perjalanan.     

Sang mama melambai kea rah Jelita dan Danil yang sesekali menoleh ke belakang untuk melihat keluarga yang mereka tinggalkan.     

Rey memeluk bahu sang mama, sang mama bersandar di bahu Rey dengan sedikit terisak, matanya terus menatap kea rah Jelita dan Danil yang sedang menaiki tangga pesawat. Beberapa saat kemudian pesawat sudah terbang tinggi ke angkasa.     

Rey pulang ke rumah bersama mama dan papanya, sedangkan Ronald menuju ke apartemen Arlita untuk mengambil Ramond.     

Ronald rindu pada anak angkatnya, saat ini yang bisa menghiburnya hanya Ramond, dialah sang pelipur lara dan nelangsa yang dirasakan Ronald.     

Berkendara sendiri di jalanan sudah suatu kebiasaan untuk Ronald, dia tak terlalu membutuhkan sopir karena dia lebih suka sendiri jika ada yang menjadi sopirnya itu adalah Danil, dan tak ada yang lain, hanya ketika ia sakit saja waktu itu dia menggunakan sopir, itupun sopir sang papa, bukan sopir pribadinya.     

Ronald menyalakan music didalam mobilnya, entah sejak kapan dia suka mendengarkan music padahal dulu dia tak pernah suka dengan segala bentuk bunyi kebisingan yang menganggu telinganya, dia lebih suka menyendiri dalam sunyi dan tak ada suara apapun.     

Bersiul mengikuti irama lagu yang ia dengar membuat hatinya lebih tenang, namun ketika dia sampai dibelokan terakhir yang menuju ke apartemen Arlita, Ronald tak sengaja menyerempet pengendara sepeda yang sedang melaju berlawanan arah.     

BRUUUUUKKKK!!!!     

Sepeda yang dinaiki gadis itu roboh, bunga-bunga yang ia bawa dalam keranjang berhamburan ke jalanan. Kecelakaan ini membuat jalanan macet karena jalan ini termasuk jalanan padat di tengah kota. Ronald menepikan mobilnya, lalu keluar melihat gadi kecil bersepeda yang baru saja berserempetan dengannya.     

"Kamu tidak apa-apa adik kecil?" Tanya Ronald dengan nada khawatir pada gadis kecil yang sudah duduk di trotoar di bantu oleh warga sekitar yang melihat kecelakaan itu.     

"Saya tidak apa-apa, Om." Jawab gadi kecil itu dengan sedikit meringis karena luka memar di kakinya.     

"Rumah mu dimana? Biar om antar kamu pulang."     

"Rumah saya agak jauh dari sini Om, biar saya pulang pulang sendiri saja, lagi pula ini salah saya."     

"Bagaimana kamu mau pulang? Sepedamu rusak, dan kakimu luka seperti ini, biar saya antar."     

"Tapi Om,"     

"Ga usah membantah, ayo saya bantu jalan."     

Gadis kecil itu mulai berdiri dibantu oleh Ronald tapi dia kembali terduduk karena rasa sakit di kakinya.     

"Biar saya gendong." Ronald langsung mengangkat gadis kecil itu dan membawanya ke dalam mobil, menelpon anak buahnya untuk mengambil sepeda sang gadis agar dibawa ke bengkel, kemudian Ronald masuk kedalam mobil dan mulai berputar arah sesuai petunjuk dari gadis kecil itu.     

"Siapa namamu?"     

"Rena Om."     

"Nama yang bagus, kamu kelas berapa?"     

"kelas dua SMU, om."     

"Ehm, lalu kamu mau kemana tadi?"     

"Aku sedang mengantarkan bunga pada semua pelangganku, karena terburu-buru dan jalanan terlalu ramai jadi aku susah untuk menyebrang, malah menyusahkan Om sekarang."     

"Tidak apa-apa, kamu kerja ditoko bunga? Atau jualan bunga?"     

"Aku menjual bunga di rumah, om."     

"Kamu tinggal dengan siapa?"     

"Sendiri."     

"Lalu toko bunga?"     

"Itu peninggalan ibu saya."     

"Oh, lalu kalau kamu sekolah siapa yang mengelola toko bunga milikmu?"     

"Sejak ibu meninggal aku pindah sekolah, tidak sekolah di SMU biasa, tapi aku ikut kejar paket, biar bisa sekolah malam hari."     

Ronald menatap sekilas pada Rena, hatinya trenyuh mendengar cerita gadis kecil itu, namun dia juga bangga dengan sikap pantang menyerahnya.     

"Jam berapa kamu pulang sekolah?"     

"Aku pulang jam Sembilan malam, om."     

"Terus pagi kamu jualan bunga?"     

"Iya om. Oya… nama om siapa?"     

"Nama saya Ronald."     

"Nama orang kaya bagus-bagus ya."     

Ronald tersenyum mendengar Rena berkata, sebentar dia melirik kearah Rena lalu kembali menatap jalanan yang ramai.     

"Kita mampir ke apotik dulu, lukamu harus di obati, seperti di apotik itu ada dokter praktiknya.     

"Tak perlu om, saya bisa obati sendiri."     

"Jangan membantah, lukamu harus diobati dulu."     

Rena mengangguk pelan, dan hanya menurut ketika Ronald membuka pintu mobil di sampingnya kemudian mengendongnya masuk ke dalam apotik, dan ternyata benar disana ada dokter yang praktek. Tak lama gadis kecil itu dibantu keluar oleh seorang dokter muda, dan menyerahkan nya pada Ronald, setelah menebus obat dan biaya pengobatan, Ronald melanjutkan perjalanannya menuju rumah gadis kecil itu.     

"Rena, kemana ayah mu kau hanya menceritakan tentang ibumu tadi."     

"Ayahku juga sudah meninggal, om." Ronald tercekat gadis sekecil ini harus menangung sendiri beban hidupnya. Ronald tak mampu membayangkan beban hidup yang Rena jalani.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.