aku, kamu, and sex

Isyarat Hati



Isyarat Hati

0Seperti janjinya pada Humaira, Rey bergegas menemui Humaira setelah sholat subuh karena di waktu itu mereka berdua sama-sama tidak ada kesibukan. Namun sebelum itu ia pergi keluar rumah sakit untuk membeli dua bungkus nasi uduk untuk dirinya dan Humaira.     
0

Tok     

TOK     

Rey mengetuk pintu ruang kerja Humaira, kemudian masuk setelah sang pemilik ruangan memperbolehkannya untuk masuk.     

"Kau benar-benar menepati janji."     

"Karena aku tak suka ada yang mengingkari janjinya padaku."     

"Begitukah?"     

"Ya."     

Saat ini mereka duduk di sofa ruang kerja Humaira, Rey membuka dua bungkus nasi uduk yang tadi ia beli kemudian memberikannya pada Humaira.     

"Makasih, Rey."     

"Sama-sama, ayo dimakan."     

"Jadi, siapa orang itu hingga kau mengeluarkan banyak uang untuk memanggil dokter spesialis jantung dari Singapura?"     

"Dia om dari temanku saat aku masih di pesantren dulu."     

Humaira manggut-manggut, sambil mengunyah nasi uduknya.     

"Ra, boleh aku Tanya sesuatu?"     

"Apa? Tanya aja."     

"Dimana orang tua kamu?"     

"Ayah meninggal saat bertugas, ayahku seorang polisi seperti abangku, sedangkan ibuku meninggal karena sakit jantung."     

"Sorry, Ra. Bukan maksud aku_"     

"Ga apa-apa kok, santai aja."     

"Jadi kamu tinggal Cuma berdua sama abang kamu?"     

"Ya seperti yang kamu lihat saat ke rumahku."     

"Ra,"     

"Hm,"     

"Taarufan Yuk."     

"Uhuuuk…"     

"Minum, Ra."     

"Maaf kamu ngomong apa barusan?"     

"Taarufan. Salah ya Ra?"     

Humaira hanya mengeleng lemah, mendadak ia menjadi bingung, alhasil Humaira hanya mengaduk-aduk nasi yang ada di hadapannya menggunakan sendok.     

"Maaf Ra, aku sudah mendengar cerita dari Arka, mungkin saat ini kau masih belum siap menjalin sebuah hubungan apa lagi kita belum terlalu lama kenal, aku memaklumi itu, maka dari itu aku, mengajakmu taaruf."     

"Kenapa ga langsung nikah aja?" Ucap Humaira dengan senyum yang terkulum.     

"EH."     

Humaira semakin melebarkan senyumannya. Lalu mendongak menatap pria yang saat ini sedang bersamanya menikmati nasi uduk dan teh hangat yang berasa tambah hangat karena sikap Rey.     

"Aku juga ingin melupakan masa lalu dan menguburnya dalam-dalam, walau sebenarnya aku masih takut dan ragu untuk menjalin hubungan dengan laki-laki manapun. Kenapa kau mengajak aku Taaruf? Maksudnya kenapa harus aku?"     

"Karena aku merasa nyaman denganmu, aku takut rasa ini akan terlalu dalam dan menjerumuskan kita. Bukankah kenyamanan itu lebih berbahaya dari kata cinta?"     

"Terimakasih kau telah menghormatiku, Rey. Kita sama-sama berdoa ya Rey, yang terbaik untuk kita, semoga aku jodoh disepertiga malammu." Ucap Humaira pelan, Sementara Rey tercekat. Ucapan Humaira mengingatkannya dengan apa yang di sampaikan papanya tadi malam.     

'Ya Allah semoga ini sebuah isyarat yang baik untuk ku.' Batin Rey.     

"Ra."     

"Hm."     

"Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin jujur sama kamu."     

"Tentang?"     

"Pasien jantung itu sebenarnya adalah ayah dari seseorang yang pernah ada di hatiku." Ucap Rey sambil menunduk.     

"Setiap orang punya masa lalu? Apa kamu masih sering bertemu dengannnya?"     

"Tidak, tidak pernah. Dia dijodohkan dengan lelaki lain walau sekarang sudah bercerai."     

"Kamu tak ingin kembali padanya, aku rasa kamu masih mencintainya."     

Rey menatap Humaira sekilas, kemudian sibuk menyendokkan nasi uduk ke mulutnya.     

"Sama seperti dirimu, itu hanya bagian kisah lalu dalam hidupku."     

Humaira tersenyum, dan ikut menyendokkan makanan itu kemulutnya.     

"Jadi gimana Ra?"     

"Apanya?"     

"Proposal Taarufnya diterima ga?" Dengan wajah bersemu merah Humaira mengulum senyum, kemudian menjawab;     

"Kita banyak-banyak berdoa, semoga ini yang terbaik untuk kita."     

"Amiin. Aku akan bilang pada Arka tentang hal ini, saat situasinya sudah membaik, aku akan kenalkan kamu pada keluargaku."     

Humaira mengangguk, kemudian bangkit dari duduknya untuk membuang sampah bekas bungkus nasi uduk yang telah usai ia dan Rey santap.     

"Satu-satunya keluarga yang aku punya hanya bang Arka, dank au pun mengenalnya."     

"Baiklah, aku paham akan hal itu. Ehm, kalau begitu aku pamit ya, hari ini kamu kekampus?"     

"He'em, tapi siang. Aku mau mengajukan proposal penelitian untuk Tesis."     

"Baguslah, apa perlu_?"     

"Tak perlu kamu antar, tak baik juga kalau kita sering bertemu berdua seperti ini Rey." Rey mengaruk tengkuknya yang tak gatal.     

"Maaf ya Ra."     

"Tak apa, kamu kesini karena maksud yang baik."     

Rey mengangguk cangung, dan menatap Humaira kemudian lekas berpamitan, namun yang tak disangka Humaira adalah ucapan Rey sebelum ia menghilang di balik pintu kerjanya.     

"Ra."     

"Ya, apa lagi Rey?"     

"Namamu yang selalu muncul di sepertiga malamku, semenjak pertama kali kita bertemu."     

Humaira tertegun dengan apa yang di ucapkan Rey. Sungguh laki-laki ini yang baru beberapa hari ia kenal namun mampu memporak-porandakan hati dan jiwanya. Humaira tersenyum dan bergumam walau ia sadar Rey tak mungkin mendengarnya.     

"Wajahmu juga selalu muncul di sepertiga malamku, Rey. Asal kamu tahu itu, hanya aku yan g terlalu takut untuk membuka hatiku, karena takut akan luka."     

Humaira menarik nafas panjang, kemudian mengambil peralatan medisnya untuk mengecek pasien sebelum ia kembali ke rumah dan beristirahat.     

Humaira mulai berkeliling dari bangsal satu ke bangsal yang lain, Dia terkenal sebagai dokter yang ramah dan lemah lembut. Banyak pasien yang menyukai kinerjanya, bahkan banyak para pasien orang tua yang menginginkan Humaira menjadi menantunya, namun hanya dibalas dengan senyuman saja.     

Ini adalah ruangan terakhir yang harus ia kunjungi, ruangan Jelita dan Ronald, dokter Ridwan menyerahkan pemeriksaan Ronald selanjutnya pada Humaira karena dokter Ridwan sebenarnya harus pergi ke daerah untuk acara amal yang di adakan oleh pihak rumah sakit.     

"Permisi." Sapa Humaira.     

"Selamat Pagi, boleh saya periksa dulu ibu Jelita, Pak Danil?"     

"Boleh, silahkan dokter." Danil berdiri agak jauh dari Humaira untuk member ruang padanya.     

"Bagaimana istri saya dok?"     

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, besok sudah boleh pulang." Ucap Humaira disertai dengan senyum yang mengembang. Kemudian Humaira beralih ke ranjang yang di tempati oleh Ronald.     

"Selamat pagi dokter Humaira."     

Mendengar nama Humaira disebut, Tuan Sanjaya mengalihkan pandangan yang ia pegang dari berkas di tangannya pada sosok dokter muda yang cantik, karena selama ini Tuan Sanjaya hanya bisa mendengar suaranya tanpa mengetahui bagaimana dan seperti apa wajah dokter yang di kagumi anak bujangnya.     

"Selamat pagi Pak Ronald." Jawab Humaira mulai mengecek detak jantung dan denyut nadi Ronald.     

"Itu mata tolong dikondisikan, Kak." Celetuk Rey pada Ronald walau Rey tahu tak kan mungkin kakaknya tertarik dengan Humaira, namun sejak perbincangannya dengan Humaira tadi pagi, Rey menjadi semakin posesif dengan Humaira.     

Sedangkan Danil dan Jelita hanya saling pandang melihat adegan rekasi tak terduga Rey.     

"Posesif." Celetuk sang papa tanpa menatap kea rah Rey yang lagi sewot, sedangkan HUmaira hanya mengulum senyum, bagaimanapun dia harus professional dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter apa lagi orang yang sedang ia periksa adalah anak pemilik rumah sakit, ia tak mau dianggap tidak kompeten dengan tugasnya.     

"Jadi gimana kondisi saya dokter cantik?" Ronald sengaja menggoda Rey walaupun sebenarnya ia tak tahu ada hubungan apa antara Rey dan Humaira, namun jika dilihat dari tingkah Rey yang diluar kewajarannya, Ronald sudah bisa menebak, pasti ada apa-apa diantara keduanya.     

"Kak!!" Tegur Rey, sedangkan Ronald sengaja tak menghiraukannya.     

"Kondisi anda baik, Pak Ronald hanya tinggal memar-memarnya saja, itu tak perlu dikhawatirkan, lukanya akan cepat mongering, bengkaknya juga sudah kempes."     

"Berarti besok saya sudah boleh pulang?"     

"Ehm, merujuk dari riwayat sakit anda, nanti akan ada dokter spesialis tulang yang akan memeriksa kaki anda, semoga tidak ada masalah dengan kondisi tulang kaki anda, Pak Ronald."     

"Eh, lagi diperiksa sama dokter ya?" Tanya sang mama yang baru saja keluar dari kamar mandi.     

"Ya tu, Ma. Diperiksa sama calon adik ipar." Tandas sang papa, Rey melongo dengan kejujuran tiba-tiba dari sang papa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.