aku, kamu, and sex

Pembicaraan ayah dan anak



Pembicaraan ayah dan anak

0Dengan langkah pelan, Rey masuk ke dalam ruang rawat Jelita dan Ronald supaya tak menganggu mereka yang sedang istirahat.     
0

"Kau sudah kembali sayang." Sapa papanya yang ternyata masih terjaga karena sedang memeriksa beberapa berkas menggunakan lampu kamar.     

Rey melangkah menuju tempat dimana sang papa sedang duduk mencium tangannya kemudian duduk disamping sang papa tanpa bersuara.     

"Mama dimana Pa?" Tanya Rey sambil berbisik.     

"Diranjang samping Ronald, papa minta ekstrabed untuk istirahat mama." Rey bangkit dari duduknya dan melangkah pelan menuju ke ranjang Ronald dan sang mama, Rey tersenyum melihat sang mama yang sedang tidur sambil memegang tangan Ronald.     

Rey kemudian membuka tirai di samping Ronald disana terlihat Jelita yang meringkuk dalam pelukan Danil. Lagi-lagi Rey tersenyum kemudian menutup kembali tirainya. Kembali duduk disamping papa yang masih sibuk dengan berkas ditangannya.     

"Papa kenapa ga istirahat ini sudah malam." Ucap Rey pada papanya dengan suara yang pelan.     

"Kamu saja yang istirahat, papa tahu kamu lelah."     

Rey menarik nafas panjang mendengar ucapan sang papa, Rey sangat paham pada pribadi sang papa, pribadi yang sayang keluarga, dan pekerja keras.     

"Biar Rey saja yang mengerjakan, papa istirahatlah." Rey menatap papanya lembut dan dibalas dengan tatapan tajam dari papanya.     

"Ayo ke kantin, kita minum kopi kalau kamu benar tidak lelah."     

Rey mengangguk dan mengikuti langkah sang papa meninggalkan ruang rawat inap yang telah sunyi.     

Di tengah langkah mereka papa merangkul pundak Rey dan berkata, "Papa bangga padamu."     

Rey menoleh ke wajah sang papa, dan papa tersenyum melihat ekspresi bingung Rey.     

"Kau menjadi adik sekaligus kakak yang baik, Rey."     

"Itu sebabnya papa bangga padamu."     

"Papa yang selalu mengajarkan padaku, untuk tidak takut menghadapi apapun, karena aka nada papa disana."     

"Kau masih mengingatnya."     

"Rey akan selalu ingat apapun apa kata papa."     

"Apa kau sudah punya kekasih?"     

Rey mendadak menghentikan langkahnya, dan menatap papanya penuh tanda Tanya.     

"Sebenarnya papa mau ngomong apa sih?"     

"Ayo kekantin dulu, ngobrol sambil minum kopi itu lebih nikmat."     

Tuan Sanjaya menarik lengan putranya agar mengikuti langkahnya. Sampai di kantin Tuan Sanjaya memesan dua kopi, setelah mendapatkan pesanannya Tuan Sanjaya meletakkan dua kopi diatas meja kemudian duduk berhadapan dengan Rey.     

"Rey, setelah perjalanan papa dari luar negeri bulan depan, papa ingin kamu menggantikan papa di kantor."     

"kenapa? Rey rasa papa masih produktif dan selama ini perusahaan tidak ada masalah ditangan papa, malah Rey takut nanti kalau Rey yang pegang malah masalah dimana-mana."     

"Maka menikahlah sebelum kamu jadi CEO di perusahaan papa."     

"Menikah? Dengan siapa? Jangan-jangan papa mau menjodohkan Rey ya?"     

"Kayak papa ga ada kerjaan aja cariin jodoh buat kamu."     

"Tega papa, padahal Rey mau terima lho kalau papa jodohin."     

"Serius kamu? Apa sampai segitu tak mampunya kamu mencari perempuan untuk kau jadikan istri sampai papa yang harus cari."     

"Bukan begitu, Rey tahu pilihan papa selalu yang terbaik."     

"Papa tidak pernah melihatmu dekat dengan perempuan, atau jangan-jangan kamu_"     

"Rey normal pah, masih suka perempuan, hanya saja Rey malas untuk menjalin hubungan yang tidak pasti." Rey menatap papanya sekilas kemudian menyeruput kopinya.     

"Karena Farida?"     

"Darimana papa tahu?"     

Kemudian Tuan Sanjaya mengeluarkan ponselnya, seketika Rey melongo mendengar isi percakapan dari dalam ponsel.     

"Bagaimana bisa?"     

"Papa mu ini pemilik perusahaan IT, masak begini saja tidak bisa."     

"Jadi selama ini papa memata-matai Rey sama Jelita?"     

"lebih tepatnya memata-matai kamu."     

"Kenapa?"     

"Papa takut Kamu_"     

"Papa tahu tentang Kak Ronald?"     

Papa mengangguk lemah.     

"Sejak kapan papa tahu?"     

"Sejak Ronald masih sekolah."     

"APAA!"     

"Ya, ayahmu adalah sahabat baik papa, dan tak ada rahasia diantara kami."     

Rey menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, dia tak menyangka jika papa dan ayahnya telah mengetahui penyimpangan seksual Ronald.     

"Apa tanggapan ayah?"     

"Ayah mu merasa bersalah, dia menganggap dirinya gagal sebagai orang tua, dia gagal menyelamatkan mu, Ronald dan mamamu."     

"Tapi itu bukan kesalahan ayah."     

"Telponlah ayahmu jika kau sedang tidak sibuk. Dia butuh kamu dan Ronald untuk mengobati jiwanya yang terluka."     

"Maksud papa?"     

"Ayahmu memilih tinggal diluar negeri karena dia tak sanggup menghadapi Ronald dan dirimu, rasa bersalah yang terlalu besar masih menghantuinya."     

"Aku akan telpon ayah, Pa. Rey ga mau ayah merasa sendiri masih ada Rey dan kak Ronald yang sangat menyayanginya."     

"Ayahmu pernah mengalami depresi berat, maka dari itu dia dulu sering meninggalkan Ronald sendiri hanya dengan asisten rumah tangga saja, yang membuat Ronald semakin liar hingga datanglah Danil sebagai sahabat baik, kasih sayang ibunya Danil yang perlahan mengubah sikap kasar Ronald, maka kamu jangan cemburu jika mama lebih perhatian pada Ronald dari pada dirimu, ini semua demi kakakmu."     

"Rey tahu pa."     

"Jadi kamu milih Arlita, Humaira, atau Farida?"     

"Papa!! Sebenarnya sejauh mana alat itu member tahu papa tentang rahasia Rey?"     

Sang papa terbahak melihat wajah Rey yang berubah merah karena malu.     

"Karena papa sudah tahu, jadi sekarang Rey mau Tanya sama papa."     

"Tanya apa?"     

"Dari ketiga perempuan itu, siapa yang papa inginkan jadi menantu papa?"     

Tuan Sanjaya bertopang dagu, dahi mengernyit, seolah sedang berpikir dengan keras.     

"Arlita sosok perempuan tangguh, keibuan, smart, dan . . . seksi."     

Mendengar kata seksi Rey mencibir pada sang papa, yang dibalas kekehan.     

"Humaira, dia dokter yang memeriksa Jelita tadi kan?"     

"Dari mana papa tahu?"     

"Tadi di memeriksa Jelita dan Rey saat kamu di kantor polisi."     

Tuan Sanjaya menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan ucapannya. "Humaira, seorang gadis yang lembut, sopan, sepertinya agamanya juga bagus dilihat dari penampilannya, cantik."     

"Kalau Farida?"     

Papa memperbaiki posisi duduknya kemudian menjawab pertanyaan Rey. " Papa tidak tahu banyak tentang Farida, karena dia adalah masa lalumu, tapi papa yakin dia anak yang baik, karena papa mengenal bagaimana anak papa, yang hanya akan melabuhkan hati pada wanita pilihan."     

"Jadi, papa pilih siapa?"     

"Jawabannya disepertiga malam, papa sholat dulu, baru bisa jawab." Kemudian beranjak dari kursi tempat ia duduk dan meninggalkan Rey begitu saja. Rey menarik nafas panjang kemudian ikut bangkit dari kursi dan berlari mengejar sang papa yang berjalan santai menuju ke ruang rawat kedua anaknya.     

Papa merangkul pundak Rey, dan tersenyum.     

"Makasih ya pa."     

"Sama-sama, jawaban disepertiga malam tak kan pernah ada kebohongan, Rey."     

"Iya pa, Rey bersyukur ayah memberikan Rey pada papa dan mama, sehingga Rey menjadi anak yang baik menurut papa."     

"Kalian anak-anak papa yang hebat, kalian adalah anugerah dari Allah yang paling indah untuk mama dan papa, walau kau bukan lahir dari rahim mama, tapi darah mama lah yang membesarkanmu."     

"Dan juga uang papa." Mendengar jawaban Rey, Tuan Sanjaya terkekeh begitu juga dengan Rey. Mereka terus saja mengobrol sampai akhirnya mereka sampai di ruangan yang mereka tuju, kemudian sama-sama istirahat.     

Rey tidur berdua di ranjang kecil yang ditempati mamanya, sedangkan Tuan Sanjaya tidur di sofa panjang yang ada di ruangan itu setelah mengunci pintu ruang rawat inap terlebih dahulu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.