aku, kamu, and sex

Suratan Takdir



Suratan Takdir

0Farida termenung di pinggir kolam ikan koi di belakang rumahnya, wajah ayu yang ia miliki tertutup sendu. Kedua kaki ia tekuk sebagai tempat persembunyian wajah yang paling nyaman. Sungguh tak pernah terbersit sedikitpun kisah hidup yang ia lalui akan melalui tahap ini. Status sebagai seorang janda tak pernah ia duga akan menyandangnya, namun ini yang terbaik dari pada ia harus menyiksa dirinya hidup dengan laki-laki yang tidak ia cintai. Bahkan bukan hanya dia yang akan tersiksa tapi juga mantan suaminya, tak dapat ia pungkiri jika laki-laki yang sudah menikahinya beberapa bulan ini sangat mencintainya, bahkan kesabarannya seolah tak bertepi untuk menghadapinya.     
0

Tapi lagi-lagi dia tak mampu membalas rasa cinta yang terlalu besar dari mantan suaminya walau seribu kali seribu cara ia coba, namun tak mampu membangkitkan rasa cintanya.     

Tap     

Tepukan dipundak mengagetkannya. Dia menoleh dan menemukan Fakhrul sudah duduk di sampingnya.     

"Apa yang kau lamunkan?"     

"Tidak ada."     

"Tidak ada? Tapi kenyataannya kau sedang melamun."     

Farida mendesah nafas berat, apa dia harus menceritakan semua yang mengganjal dihatinya? Tidak. Biarkan luka yang ia rasakan menjadi bagian dari hatinya yang tak terbagi dengan siapapun.     

"Bagaimana kondisi Bapak? Kapan operasinya akan dilakukan?"     

"Mungkin dua hari lagi menunggu dokter spesialis jantung dari singapura."     

"Dari Singapura?"     

"Ya, kebetulan rumah sakit itu milik keluarga temanku, dan dia mencarikan dokter ahli bedah jantung untuk ayahmu." Fakhrul tak berani mengatakan pada Farida siapa teman yang telah membantunya.     

Fakhrul paham betul apa yang di rasakan oleh sepupunya ini, cinta bagaikan intan permata yang tak mudah luntur walau ditelan masa, biarpun hari berganti dan kisah baru telah ia jalani, namun sesungguhnya cinta tak kan benar musnah. Dia masih bersemayan di sudut hati walau hanya setitik, dan sangat mudah bagi cinta untuk kembali menguasai hati jika cinta kembali tersulut.     

Fakhrul ingin Farida bangkit terlebih dahulu dari keterpurukannya, baru dia akan jujur dan memberitahu siapa orang yang telah membantunya.     

"Fakhrul."     

"Hm."     

"Tidak apa-apa."     

"katakan saja, Da. Siapa tahu membuat hatimu lebih lega setelah mengatakannya padaku."     

Farida menoleh pada Fakhrul, kemudian kembali melabuhkan pandangannya pada ikan koi yang saling berkejaran.     

"Apa kamu pernah mendengar kabar tentang Rey?"     

DEG     

Fakhrul melirik Farida yang sedang memandang kawanan ikan koi dihadapan mereka.     

"Kenapa kamu menanyakannya?"     

"Hanya ingin tahu saja."     

"JIka kamu selesai masa iddah, apa kamu akan menemui Rey? Atau jika Rey menemui apa yang akan kamu lakukan?"     

Farida tersenyum kencut. "Apa aku pantas untuknya? Aku hanya seorang janda sekarang."     

"Apa yang salah dari seorang janda?"     

"Dia pantas mendapatkan yang lebih baik."     

"Jika Rey masih mencintaimu?"     

"Apa itu mungkin? Bahkan Bapak sudah menolaknya dulu, aku malu, biarlah kurelakan dia bersama perempuan lain, sebenarnya aku pernah mendengar dari seseorang sekarang Rey menjadi direktur disalah satu perusahaan besar di kotanya, dan cukup mudah baginya untuk menemukan perempuan yang cantik bukan?"     

"Apa kamu pikir Rey seperti yang kamu katakan barusan?"     

Farida kembali menyusupkan wajahnya diantara tekukan kakinya, Fakrul menarik tubuh ringkih sepupunya itu dan membiarkan bersandar di pundaknya.     

"Temuilah Rey ketika masa iddahmu selesai, mungkin akan membuatmu sedikit lega, aku tahu kau merindukannya."     

Farida mulai terisak pelan, tangan Fakhrul merangkul pundaknya dengan sayang, mereka sama-sama anak tunggal, itulah sebabnya mereka lebih dekat dari pada dengan sepupu mereka yang lain, Fakhrul mengaggapnya seperti adiknya sendiri, tidak hanya sekedar sebagai sepupu.     

Ditempat lain, Rey yang sudah berjam-jam memberikan keterangan dikantor polisi sekarang diijinkan kembali ke rumah sakit.     

"Rey, jadilah sahabat yang baik untuk adikku, aku lihat adikku sangat nyaman denganmu."     

"Bukan hanya adikmu tapi aku juga nyaman dengannya."     

"Terimakasih Rey, kau sudah mengisi hari-hari Humaira dengan canda, aku bahagia melihatnya seperti itu, wajahnya selalu dihiasi dengan senyum sejak bertemu denganmu."     

"benarkah?" Rey bahagia mendengar ini, apakah Humaira mulai menyukainya, sama seperti dirinya?     

"Hm. . . Tapi aku tetap pegang ucapanmu tadi."     

"Kau bisa percaya padaku."     

Kedua laki-laki itu berjabat tangan, kemudian Rey melangkah menuju parkiran karena sopir papanya telah menunggu dirinya disana.     

"Langsung ke rumah sakit mas?" Tanya sang sopir.     

"Iya." Jawaban singkat yang Rey berikan membuat sang sopir penasaran karena tak biasanya sang anak majuikannya ini irit bicara.     

Rey menyalakan ponselnya yang sedari tadi sengaja ia matikan agar tidak menganggu proses penyidikan polisi.     

Rey membuka beberapa pesan, namun ada satu pesan yang membuat hatinya penasaran ingin membukanya.     

Sebuah foto seorang perempuan yang tertunduk di depan kolam ikan, Rey tahu siapa perempuan itu, perempuan yang mengenalkannya pada rasa yang disebut cinta dan sekaligus mengenalkannya pada rasa yang di sebut ikhlas.     

Hatinya berdenyut ada rasa nyeri yang tiba-tiba muncul disisi hatinya melihat perempuan yang ia yakini sedang bersedih itu.     

"Ada apa mas Rey?" Tanya sang sopir yang melihat aura wajah Rey berubah setellah melihat foto itu.     

"Ga apa-apa Pak."     

"Saya pernah muda lho, Mas. Mas Rey lagi ada masalah sama pacar mas Rey?"     

"Pacar?"     

"Iya, yang waktu itu dating ke rumah pagi-pagi."     

"Itu Arlita, kami Cuma teman ga lebih."     

"O, kirain pacar Mas Rey, tapi bener juga ya, mana mungkin perempuan berambut pirang itu adalah pacar mas Rey."     

"Kenapa memangnya?"     

"Secara Ibu dan non Jelita berjilbab, dan keluarga besar sangat agamais, bagaimana mungkin Mas Rey akan tertarik dengan perempuan seperti itu."     

Mendengar apa yang dikatakan sang sopir Rey hanya bisa terkekeh, "Penampilan tidak menjamin keimanan seseorang, Pak. Lagi pula aku tidak pernah melihat seseorang dari sisi penampilannya saja kok."     

"Benar juga ya mas Rey, banyak diluaran sana memakai jilbab tapi sikapnya tidak mencerminkan apa yang ia gunakan, sebaliknya perempuan berpenampilan seksi justru mereka bersikap baik dan taat pada agama."     

"Ya begitulah."     

"Mas Rey, tapi mbak Arlita itu cantik lho, kayak orang bule."     

"Dia itu polisi."     

"Apa? Wah hebat ya, cantik pintar, seksi lagi."     

"Bapak ini lho, omongannya, seksi? Ingat yang di rumah."     

"Tapi Encum tetap yang terseksi buat saya mas Rey."     

Rey kembali terkekeh, memang sang sopir ini selalu mengidolakan istrinya, bekerja ikut papanya dari mereka masih sama-sama muda, hingga akhirnya menikah dan masih betah kerja di rumahnya hingga saat ini.     

"Semoga kalian selalu bahagia dunia akhirat ya, Pak."     

"Amiin mas, Amiin." Ucap sang sopir sambil melihat jalanan yang mulai sepi karena hari sudah mulai larut.     

Rey mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor yang membuat jantungnya berdetak cepat.     

"Assalamualaikum, Ra." Sapa Rey pada Humaira diseberang telpon.     

"Waalaikumsalam, Rey. Udah selesai urusannya dikantor polisi?"     

"Alhamdulilah sudah, ehm… kamu sedang apa Ra? Apa kamu sudah pulang?"     

"Belum, aku harus lembur malam ini."     

"kenapa?"     

"Karena kamu."     

"Aku?"     

"Ya, karena aku harus menunggu dokter dari singapura, dokter yang kamu rekomendasikan untuk pasien jantung."     

"Oh, itu, maaf kan aku, Ra. Sungguh aku tak bermaksud membuatmu sesibuk ini."     

"Taka pa Rey, lagi pula ini sudah tugasku, tidak masalah."     

"Besok pagi, apa bisa kita sarapan bareng?"     

"Ada itu orang ajak makan siang, atau makan malam, lha kamu? Malah ajak sarapan."     

"Bagus dong beda dari orang lain."     

"Oke, besok pagi dating saja ke kantorku."     

"Baiklah, jangan lupa istirahat."     

"Pasti, Rey."     

"Sampai besok, Ra. Assalamualaikum."     

"Waalaikumsalam." Wajah Rey bersemu merah, dan sang sopir kembali menggodanya.     

"Yang barusan di telpon pasti pacarnya Mas Rey."     

"Apaan sih, Pak. Sok tahu, tapi saya Amiinkan sajalah, siapa tahu benar ia jodohku."     

"Amiin Mas Rey. Tapi lebih seksi mbak Arlita atau yang ditelpon barusan nih Mas?"     

"kamu itu pak." Ucap Rey sambil meninju lengan sang sopir yang hanya membalasnya dengan tawa ringannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.