aku, kamu, and sex

Sayang ...



Sayang ...

0Danil mondar mandir di depan ruang IGD melihat sekilas wajah Ronald yang hampir tak berbentuk bisa dipastikan mereka berdua dianiaya begitu kejam oleh James. Tangan Danil terkepal erat. James harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.     
0

"Rey, bagaimana kau bisa tahu lokasi Jelita?" Arka yang duduk di samping Rey menoleh dan bertanya padanya karena rasa penasarannya. Danil yang berdiri sambil berjalan mondar-mandir mendadak berhenti karena pertanyaan yang dilontarkan Arka pada Rey kemudian menatap Rey menunggu ia membuka mulutnya menjawab pertanyaan Arka.     

Rey memegang Jam tangannya, dan menunjukkan pada Arka.     

"Jelita mengirimkan sinyal SOS melalui alat ini."     

"Bagaimana kalian mempunyai alat seperti ini?"     

"Kami membuatnya, tapi hanya aku dan Jelita yang mempunyai alat ini."     

"Jelita tak pernah menceritakan kalau di jam tangannya ada alat semacam itu." Kali ini giliran Danil yang berbicara.     

"Ini hanya kami gunakan pada situasi yang sangat darurat jika masih bisa menggunakan ponsel kami lebih memilih menggunakan ponsel, mama dan papa tak pernah yahu jika kami mempunyai alat seperti ini, ini bentuk kenakalan ku dan Jelita."     

"Kenakalan?" Tanya Arka.     

"Ya, alat ini kami buat saat masih di Aliyah, saat liburan sekolah, kami mengisi liburan dengan membuat alat-alat semacam ini, dengan panduan buku dan internet."     

"Hebat sekali kalian." Ujar Arka.     

Tak lama pintu IGD terbuka, muncullah dokter cantik dengan hijab yang menutupi dadanya, Danil terburu menghampiri dokter cantik itu.     

"Bagaimana keadaan istri saya dokter?"     

"Anda suami ibu Jelita ya?"     

"Iya dok."     

"Dia sudah baik-baik saja, dan sudah melewati masa kritis. luka pada tubuh istri anda tidak terlalu parah hanya saja istri anda menghirup gas yang lumayan banyak, itu yang membuatnya tak sadarkan diri, untung saja anda tepat waktu membawanya ke rumah sakit, kalau tidak nyawanya tidak dapat tertolong. Kami akan segera memindahkannya ke ruang perawatan."     

Danil menarik nafas lega, setelah itu kembali bertanya;     

"Lalu bagaimana dengan Ronald?"     

"Pak Ronald sedang ditangani dokter Ridwan, anda tunggu saja." Mendengar jawaban dari Humaira Ronald terduduk dan menyandarkan tubuhnya pada kursi tunggu. Sedang kan Danil bersandar didinding untuk menenangkan hatinya, bagaimanapun Ronald adalah sahabat baiknya Danil tak mau sesuatu terjadi padanya lagi.     

"Humaira." Sebut Arka.     

"Abang." Ucap Humaira, Danil menatap interaksi kedua orang yang nampak akrab itu.     

"Abang butuh laporan kesehatan Jelita sebagai bukti."     

"Akan Ira siapkan, abang baik-baik aja kan?"     

"Alhamdulilah baik, ya sudah abang tunggu disini." Ucap Arka sambil membelai kepala yang terbungkus hijab adik perempuannya ini.     

"Rey."     

Dengar namanya di sebut, Rey menoleh, terlihat senyum yang selalu menghiasi ingatannya.     

"hai, Ra . . . trimakasih telah menyelamatkan adikku."     

"Adik?     

"ya.. dia Jelita adikku."     

"Dia akan baik-baik saja, kamu tenang saja, dan Ronald?"     

"Dia kakakku."     

"Oh, sebentar lagi dokter Ridwan pasti keluar, aku harus menyiapkan data rekam medik milik Jelita, aku tinggal dulu ya."     

"Oke."     

Humaira melangkah meninggalkan ketiga pria yang sedang menunggu dua orang yang sama. sesekali Humaira menoleh ke belakang dan pandangannya bertemu dengan pandangan mata Rey yang juga menatap kepergiannya, Humaira melempar senyum dan kembali melangkah menuju ruang kerjanya.     

Ceklek.     

Kembali pintu IGD terbuka dan terlihat suster sedang mendorong brankar yang terdapat Jelita di atasnya diikuti oleh dokter paruh baya di belakang perawat.     

"Jelita." Danil dan Rey menghampiri Jelita yang terbaring lemah.     

"Dokter, tolong Jelita dan Ronald di tempatkan pada ruangan yang sama."     

"Danil?" Rey seolah menanyakan mengapa pada Danil. Namun Danil kembali berkata.     

"Itu memudahkan kita menjaga mereka berdua." lanjut Danil.     

Sang dokter mengangguk setuju ."Baiklah Pak Danil."     

Ketika Ronald dan Jelita dibawa menuju ke ruang rawat inap, terdengar teriakan dari belakang mereka.     

"Jelita, Ronald.!" Terlihat sang mama yang shok melihat kedua anaknya terbaring tak berdaya di atas brangkar, Sang Papa langsung memeluk tubuh mama Jelita erat, Rey berlari ke arah kedua orang tuanya. memeluk mereka dengan erat.     

"Bagaimana adikmu dan kakakmu?" Tanya Papa.     

"Mereka semua sudah baik, dan sudah melewati masa kritis, mama dan papa tak perlu khawatir."     

"Syukurlah kalau begitu, ayo mah kita susul Danil."     

Sang mama mengangguk dengan dipeluk Rey mama berjalan di belakang sang suami yang berjalan bersama Danil dan Arka.     

"Bagaimana ini bisa terjadi Danil?"     

"Danil juga tidak tahu persis, kita tanya Jelita ketika ia sadar nanti."     

"Baiklah."     

Beberapa saat kemudian Ronald dan Jelita telah menempati kamar yang sama, semua keluarga menunggu dengan harap cemas, karena kedua orang yang mereka sayangi belum juga membuka mata mereka.     

"Rey, bisa ikut aku ke kantor polisi untuk memeberi keterangan? karena sepertinya Danil belum bisa meninggalkan Jelita." Ucap Arka.     

"Baiklah, ayo."     

"Rey ke kantor polisi dulu sebentar Mah." Ucap Rey pada sang mama.     

"Iya sayang, hati-hati ya."     

Rey hanya mengangguk, kemudian memegang pundak Danil dan menatap sang papa yang duduk di samping ranjang Ronald, dan akhirnya keluar bersama Arka.     

"Saya ketemu Humaira dulu sebentar ya, mau ambil catatan kesehatan Jelita dan Danil."     

"Oke."     

rey menunggu di depan ruangb kerja Humaira, menyandarkan pungungnya ke dinding sambil menyilangkan satu kakinya, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, tatapannya menerang mengingat kejadian mengerikan beberapa jam yang lalu. Syukurlah kini kondisi kakak dan adiknya sudah stabil, Rey menarik nafas panjang kemudian hendak mengambil ponselnya yang ada di saku kemejanya, tapi seseorang mengagetkannya.     

"Rey."     

"Humaira."     

"Jangan melamun, mereka pastiakan segera membaik, fisik adik dan kakak kamu sangat bagus, terkena pukulan berkali-kali tapi masih sanggup bertahan. Hebat sekali mereka."     

"Iya, Jelita sudah terbiasa dengan latihan fisik yang keras, begitu juga dengan kak Ronald."     

"Sungguh aku tak menyangka ternyata mereka berdua saudaramu, dan ternyata kau salah satu pemilik saham rumah sakit ini."     

Rey menarik nafas panjang, kemudian menatap gadis berjilbab yang berdiri di sampingnya.     

"Lalu?"     

"Ya, gayamu sederhana, tak seperti orang kaya kebanyakan."     

"Apa kau tertarik padaku?"     

Humaira menatap Rey kemudian tertawa kecil.     

"Kau jujur sekali, Rey."     

"Katakan kau menyukaiku, aku akan senang mendengarnya." Lagi-lagi Humaira hanya terkekeh mendengar ucapan Rey yang dianggapnya hanya sebuah lelucon saja.     

"Kalau aku tak menyukaimu, untuk apa aku bersahabat denganmu?"     

"Hanya itu saja?"     

"lantas?"     

"Tidak." Gantian Rey yang tersenyum menatap Humaira.     

'Senyummu membawa jauh pergi luka dan kesedihan di hatiku, Ra. Andai kau tahu itu.' Batin Rey.     

Tak berapa lama Arka datang menemui mereka dan mengajak Rey ke kantornya setelah berpamitan dengan adik kesayangannya. Humaira menatap kedua pria yang berjalan menjauh dari pandangannya, senyumnya terukir ketika mengingat apa yang di ucapkan Rey baru saja.     

'Aku menyukaimu Rey, lebih dari sahabat, tapi aku terlalu takut memulai hubungan yang baru lagi.' Gumam Humaira.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.