aku, kamu, and sex

Psyko



Psyko

0Tiada pergerakana sedikitpun dari tubuh Ronald, Jelita mencoba bangkit dan mendekat ke arah Ronald. Ingin rasanya dia berteriak memanggil nama Ronald tapi apa daya kain sialan masih terikat di mulutnya. Jelita tak kehilangan akal, dia menggoyangkan tubuh Ronald menggunakan kakinya,     
0

Keringat Jelita mengucur deras dari dahinya, tubuhnya yang kecil tak seberapa besar dibandingkan tubuh Ronald. Namun Jelita terus berusaha mengguncangkan tubuh Ronald, walau seolah hal itu adalah sesuatu yang sia-sia. Dan tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka dari luar. Nampak pria bertubuh tinggi dan terdapat luka memar di wajahnya. James, Ronald mengenal wajah itu. Wajah seorang psikopat yang bersembunyi dibalik kekuasaan dari semua kejahatan yang ia lakukan.     

"Rupanya kau sangat menyayangi laki-laki itu, nona." Ucap James dengan nada pelan namun penuh aura ancaman.     

"Ternyata pilihan Ronald sangat tepat, kau wanita yang cantik, dan juga . . . pemberani."     

Ingin sekali Jelita menampar bahkan memaki laki-laki sinting di hadapannya ini, namun lagi-lagi ia tak mampu melakukan itu. Ikatan di tangannya terlalu kuat untuk dia lepaskan.     

James berjongkok dan mendekatkan wajahnya tepat di hadapan Jelita, jemarinya menjepit dagu Jelita, seketika Jelita menolahkan wajahnya supaya Jepitannya terlepas, namun hal itu menambah amarah pada diri James. Sekuat tenaga James menarik kepala Jelita kebelakang hingga wajah Jelita mendongak ke atas menatapnya.     

"Wanita Jalang! Kau merebut Ronald dariku! Aku tak kan melepaskanmu!"     

PLAAAAKKKK!!!!     

James menampar wajah Jelita begitu keras, kemudian kembali menamparnya hingga beberapa kali. Jelita hanya bisa pasrah menerima perlakuan dari James.     

Kemudian James bangkit dan menendang perut Jelita hingga tubuh Jelita terdorong kebelakang dan pungungnya membentur dinding. Jelita mencoba bertahan, karena dia yakin Rey akan segera datang dan menemukannya entah dalam keadaan apapun.     

James hendak menendang tubuh Jelita, namun kakinya tiba-tiba di tarik dengan kuat dari belakang oleh seseorang. Ronald menatap James dengan amarah yang meledak, sekuat tenaga ia mencoba bangkit, walau rasa sakit yang teramat sangat mendera di sekujur tubuhnya.     

Jelita menatap Ronald yang tiba-tiba saja berdiri dengan berpegang dinding setelah menarik kaki James yang kini tersungkur dan menatap ke arahnya. Jelita tak menyangka Ronald bisa sadar dan kini bahkan telah mampu berdiri walau dengan tumpuan tangannya pada dinding.     

"Aku sudah bilang padamu James, aku akan mengirimmu ke neraka jika kau menyakitinya." Ucap Ronald pelan namun terdengar garang dan penuh ancaman.     

James segera bangkit dan membalas tatapan Ronald yang sengit.     

"Lakukan kalau kau mampu Ronald, aku tak menyesal mati ditanganmu." Balas James dengan membuka lebar kedua tangannya seolah menantang Ronald.     

Dengan terhuyung Ronald mulai berjalan mendekat ke arah James, namun James telah lebih dulu melancarkan tendangannya pada perut Ronald.     

BRUUUKKKKK!!!     

Ronald kembali tersungkur, namun ia tetap berusaha untuk bangkit. James mendekat ke arahnya dan membisikkan sesuatu pada Ronald.     

"Aku akan membuat kalian membusuk diruangan ini." Selesai mengucapkan kalimat itu, James kembali memukul wajah Ronald yang membuat Ronald tersungkur dan tak berdaya untuk bangkit.     

Melihat tubuh Ronald tak bergerak, dia berjongkok dan menarik rambut Ronald.     

"Harusnya kau ikuti kemauanku, maka kau tak kan menderita seperti ini, sayang." Kemudian James melepaskan tarikannya pada rambur Ronald, membuat wajah Ronald terbentur oleh dinginnya dinding di kamar itu.     

James melangkah keluar dari ruangan dan menyuruh anak buahnya mengunci ruangan itu kemudian memberikan gas beracun pada lubang pintu.     

'Apa? gas beracun?' Batin Jelita.     

Jelita jelas mendengar perintah James pada anak buahnya. Tidak! Dia harus berusaha keluar dari ruanagan ini segera. SEGERA. Jelita berusaha mendekat ke tubuh Ronald, dan lagi, dia menggunakan kakinya untuk mengoyangkan tubuh Ronald, dan kali ini usahanya tak sia-sia.     

Perlahan Ronald membuka matanya yang sudah bengkak akibat pukulan yang diterimanya.     

Ronald mengerahkan sisa tenaganya untuk bangkit dan akhirnya dia berhasil duduk kemudian dengan terengah tangannya terjulur melepas ikatan yang membakap mulut Jelita.     

"Berbaliklah."Ucap Ronald pelan. Jelita menurut, Ronald berusaha melepas ikatan yang melilit tangan Jelita dan dengan susah payah akhirnya dapat melepaskan ikatannya.     

Begitu ikatannya terlepas Jelita bertemu tatap dengan mata bengkak Ronald.     

"Kak Ronald." kedua tangan Jelita membingkai wajah Ronald diserati dengan tatapannya yang juga seolah menscan seluruh wajah Ronald.     

"Aku tak apa-apa Jelita, jangan menangis." Ucap Ronald saat melihat lelehan air mata yang mulai mengalir dikedua pipi Jelita. Ronald menarik tangan Jelita yang membingkai wajahnya kemudian mengengamnya erat, jantung Ronald berdetak kencang saat ia meremas dengan lembut tangan Jelita.     

'Perasaan apa ini ya Allah.' Ronald membatin.     

'Jika kau mentakdirkan aku menjadi seorang gay, kenapa setiap ada di dekat Jelita jantungku berdetak kencang, ya Allah, rencana apa yang Engkau berikan padaku.'     

'Kenapa harus Jelita ya Allah, kenapa Kau beri rasa seperti ini padaku? apa Kau sedang menghukumku ya Allah.'     

Ronald terus menatap wajah Jelita, kemudian dengan pelan melepaskan gengaman tangannya saat terdengar suara Jelita.     

"Kita harus segera keluar dari sini kak, mereka akan memasukkan gas beracun ke ruangan ini."     

"Bagaimana caranya? Satu-satunya jalan hanya pintu itu." Ronald mengalihkan pandangannya pada pintu yang tertutup rapat, Jelita mengikuti arah pandang Ronald. kemudian Ronald kembali menatap Jelita yang ada didepannya.     

"Ada satu cara kak." Ucap Jelita.     

"Apa?"     

"Tuh." Jelita menunjuk pada jendela kaca yang berada jauh diatas mereka.     

"Bagaimana kita akan sampai disana, itu sangat tinggi."     

"Jika kita tidak bisa keluar melalui celah itu, paling tidak ada ventilasi untuk mengeluarkan asap beracun itu."     

"Kita tak kan bisa menggapainya itu cukup tinggi."     

"HUh." Jelita mendesah.     

Tiba-tiba Jelita mencium bau yang menyengat, dia langsung menutup kedua hidungnya, dan pandangannya terarah pada celah dibawah pintu, ada sebuah cerobong yang mengeluarkan asap putih disana.     

"Kak kita harus menutup lubang pintu itu." Jelita hendak melepas hijabnya, namun Ronald segera menghentikan pergerakan tangan Jelita.     

"Jangan buka jilbabmu, bantu aku melepas bajuku."     

Jelita menatapa Ronald sekilas, kemudian membantu Ronald melepas kemeja yang digunakan oleh Ronald. dan berlari untuk menutup celah dibawah pintu.     

"Kita membutuhkan ventilasi kak?"     

Ronald berpikir sejenak, kemudian menatap Jelita dan mencoba menerka tinggi dinding ruangan itu. Tinggi ruangan sekitar 2,5 meter, Tinggi badan Ronald hampir mencapai 185 cm, maka jika ia mampu berdiri dan ditambah tinggi tubuh Jelita, maka Jelita bisa membuka jendela itu.     

"Bantu aku berdiri."     

"Apa?!"     

"Cepat bantu aku berdiri."     

Jelita bergegas memapah Ronald hingga kini ia mampu berdiri, Perlahan Ronald membuka kaos yang ia kenakan dan membalut tangan Jelita menggunakan kaos miliknya.     

"Jangan bilang aku harus naik ke bahu kak Ronald."     

"Itu cara satu-satunya agar kamu bisa menggapai jendela itu, cepatlah naik ke pundakku."     

"Tapi tubuh Kak Ronald penuh luka kak, bisa jadi tulang kakak akan patah karena aku menginjaknya."     

"Berat badanmu tak seberapa di banding berat badanku, sudah cepat naik, kita tak punya banyak waktu, asap itu akan terus menerobos melalui celah baju."     

"Baiklah kak." Perlahan Jelita memanjat punung Ronald dan berusaha berdiri pada bahu Ronald.     

Sekuat tenaga Ronald menahan berat tubuh Jelita, supaya dia tidak terjatuh walau dengan kaki bergetar merasakan sakit yang luar biasa.     

Sekuat tenaga Jelita memukul jendela kaca itu hingga pecah, dan dia menghirup napas sebanyak-banyaknya. Dan segera melompat ke bawah. Berbarengan dengan ambruknya tubuh Ronald yang sudah tanpa daya.     

Jelita menarik kedua lengan Ronald dengan susah payah dan menyandarkannya di dinding.     

"Asap itu akan mengikuti arah angin keluar melalui ventilasi itu, maka kita harus duduk memunggungi arah angin, paling tidak kita tidak akan terlalu banyak menghirup asap itu."     

"Pintar." Puji Ronald sambil berusaha tersenyum walau seluruh wajahnya terasa kaku.     

DOR     

DOR     

Jelita segera memeluk tubuh Ronald dari samping saat mendengar bunyi tembakan bertubi-tubi dari luar ruangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.