aku, kamu, and sex

Wanita sang kakak



Wanita sang kakak

0Jelita melangkahkan kakinya menuju lift yang diperuntukkan untuk para petinggi perusahaan, setelah drama keberangkatan dia ke kantor yang diwarnai dengan keposesifan Danil yang mengkhawatirkan keselamatannya, akhirnya Jelita kini bisa melakukan aktifitas seperti biasanya walau dengan kawalan ketat dari para bodyguard suaminya.     
0

Danil memang tak membiarkan istri kesayangannya pergi kemanapun tanpa pengawalan, apalagi semenjak peristiwa yang terjadi semalam membuat Danil makin posesif terhadap Jelita. Bukan tanpa alasan Danil berbuat demikian walau dia sangat tahu jika istrinya pandai ilmu bela diri, namun dia lebih tahu siapa lawan yang sedang mereka hadapi sekarang.     

Setelah sholat subuh pagi tadi dia mendapat pesan dari Ronald yang memberitahu siapa lawan mereka, Ronald juga memberikan bukti hasil penyelidikan anak buah Arlita. Seperti yang sudah ia duga kini ia harus berhadapan dengan kenyataan yang pelik, pamannya sendiri yang ingin menghilangkan kebahagiaannya dengan cara menghancurkan hidupnya.     

Danil bisa saja memberikan perusahaan yang ia pegang pada pamannya yang gila harta, nemun dia menyadari banyak orang yang bergantung hidup pada perusahaannya, para karyawannya mempunyai keluarga yang harus mereka nafkahi, jika perusahaan itu ia berikan pada pamannya dia tak yakin pamannya ini akan amanah menjalankan roda kepemimpinan pada perusahaan.     

Maka dengan pertimbangan yang matang, Danil lebih memilih mempertahankan perusahaannya walau nyawa diri dan istrinya yang menjadi taruhannya. Ia tak mau perusahaan yang ia dan ayahnya bangun hancur begitu saja di tangan pamannya.     

Sementara di kantor Jelita yang baru saja duduk di kursi kerjanya terkejut dengan seseorang yang tiba-tiba menutup matanya dengan kedua telapak tangan dari belakang.     

"Jangan mentang-mentang kamu bos, kamu jadi seenaknya sendiri keluar masuk kantor, Nyonya Mahendra." Suara laki-laki dibelakangnya ini sungguh mengintimidasi, suara bariton ini bahkan dapat membuat bulu kuduk merinding karena aura dingin dari suaranya, namun hal itu tidak berlaku untuk Jelita.     

Dia menarik tangan itu kedepan dan terpampang wajah tampan dengan jambang yang menghiasi rahangnya, sedang tersenyum seakan menenangkan singa yang sedang mengaum siap untuk menerkan mangsanya.     

"Jangan mentang-mentang karena kau kakak ku jadi kau bertindak semaumu." Suara jelita tak kalah dingin dan tegas menjawab perkataan laki-laki yang ia sebut kakak.     

"Keajaiban dunia lo ngakuin gue sebagai kakak." Rey langsung menggeser tubuhnya dan menyandarkan tubuhnya dimeja kerja Jelita, kedua tangannya ia silangkan di dada.     

"Jadi kenapa lo datang telat gini ke kantor, ga biasaanya.;" Tanya Rey sambil menatap wajah adik angkatnya ini.     

"Biasa Mas Danil drama." Jawab Jelita sambil meraih laptop dari dalam tasnya.     

"Karena kejadian semalem?"     

Jelita mengangguk, dan Rey tersenyum, dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Danil.     

"Jadi berapa bodyguard yang lo bawa hari ini?" Tanya Rey sedikit menggoda.     

"Lihat aja di depan pintu tuh." Jawab Jelita sambil mengarahkan pandangannya ke arah pintu masuk ruang kerjanya.     

Rey terkekeh.     

"Jadi ada apa nih, tumben ke kantor pagi, biasanya pagi lo ke kantor ayah, siang baru kesini, ga mungkin kan lo kesini cuma mau ngomelin karena gue datang telat?" Sambung Jelita.     

Rey menegakkan tubuhnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sembari dia melangkah dan duduk di kursi sebrang Jelita.     

"Kak Ronald sudah mendapatkan bukti orang-orang yang terlibat dalam penyerangan di rumahmu, Kak Ronald juga sudah menelpon danil tadi pagi, kamu pasti sudah bisa menebak siapa dalangnya."     

"Ya, aku tahu pasti ini sulit untuk Mas Danil, tapi aku percaya Mas Danil tahu apa yang harus dia lakukan." Jawab Jelita sambil menatap Rey.     

Rey dapat melihat dengan jelas betapa khawatirnya Jelita pada suaminya, Rey mengengam tangan Jelita menyalurka kekuatan yang ia miliki, agar adik angkatnya menjadi lebih tenang.     

"Aku juga yakin, kau mampu mendampingi Danil dalam situasi apapun." Rey menatap Jelita dengan senyumnya yang meneduhkan, Jelita mengangguk bahwa ia yakin pada dirinya sendiri bahwa dia mampu untuk selalu mendukung Danil.     

"Gue juga mau bilang, semalem di rumah sakit, gue ketemu ama bidadari, ga hanya cantik tapi suaranya juga merdu. Fasih membaca Al-Qur'an." Ujar Rey sambil membayangkan wajah cantik Humaira yang sedang tersenyum.     

"Waw, Benarkah?" Ucap Jelita sambil tersenyum jahil dan mencondongkan wajahnya ke arah Rey.     

"Gue ga lagi jatuh cinta, asal lo tau." Ucap Rey sambil mendorong hidung Jelita agar menjauh dari hadapannya.     

"Tapi muka lo merah, hahahahah..." Goda Jelita.     

"Aishhhh, itu karena lo godain gue mulu, lagian maksud gue tuh, Humaira aku mintai tolong buat ngajarin anak-anak panti ngaji, dan kebetulan dia calon dokter anak, sekalian anak-anak bisa cek kesehatan gratis." Ucap Rey sambil menaik-turunkan alisnya.     

"Hadeh, lo kan bisa aja cari guru ngaji, terus lo bayar, jangan-jangan lo modus ya."     

"Masyaallah, mengajak orang lain berbuat kebaikan lo bilang modus? sungguh terlalu."     

"Hahahaha... Lha terus apa kalo ga modus, udang di balik batu, sama aja dong..."     

"Tapi Humaira memang cantik, dan juga baik, dokter, pinter ngaji pula." Ucap Rey.     

"Cantikan mana sama Arlita?"     

"Dua-duanya cantik kan sama-sama perempuan."     

"Terus, kalau misal lo harus milih, lo pilih siapa? Arlita atau Humaira?"     

"Maksud lo?"     

"Obat paling mujarab dan anti galau adalah menikah, biar kamu cepat move on dari Farida, Ngomong-ngomong soal Arlita, dia itu beneran polisi?"     

"Iya, dan dia yang menangani kasus kejadian di rumah lo."     

"Cantik, seksi, cerdas." Kata Jelita mengutarakan pendapatnya.     

Rey menarik napas panjang, adiknya ini benar-benar sudah ketularan virus dari mamanya, virus supaya Rey cepet menikah.     

"Seterah lo dah, gue mau baloik ke ruangan gue, lo lanjutin kerjaan lo." Rey bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar ruangan Jelita.     

"Semoga lo bahagia, siapapun nanti jodoh lo, kakak gue tersayang." Gumam Jelita saat Rey sudah keluar dari ruangannya.     

-------     

"Awasi terus pergerakan mereka, jangan sampai lolos." Perintah Arlita pada anak buahnya yang sedang mengintai gudang tua yang dijadikan markas sekaligus pabrik narkoba.     

Arlita menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kerjanya, dia sedang memikirkan strategi penggerebekan gudang tua yang di sinyalir milik Richard mahendra.     

"Tidak boleh gagal." Gumamnya. Arlita memejamkan matanya untuk menurunkan rasa pening dikepalanya akibat otaknya terlalu diforsir untuk berfikir. Namun yang terjadi justru bayangan Rey yang tiba-tiba muncul. Sikap dinginnya, senyumnya. Arlita membuka matanya, ia benar-benar merasa konyol dengan dirinya sendiri, sejak kapan dia memikirkan tentang laki-laki, apa lagi laki-laki itu adalah sosok Rey, yang seakan jauh dari jangkauannya.     

"Kau seperti bintang terang yang hanya mampu kupandang dan tak mampu ku gapai."     

"Dan kau seperti bulan, yang memberi penerangan dalam kegelapan." Ucap Arka sahabat satu tim nya tiba-tiba muncul dari balik pintu mengejutkan Arlita dari lamunannya.     

"Ah, Elo, ngagetin gue." Kilah Arlita, menutupi rasa malunya karena ketahuan melamun dan mengucapkan kalimat puitis, yang jauh dari sifatnya.     

"Nglamunin siapa sih, lo? sampai berpuisi semanis itu." Tanya Arka, jujur saja Arka merasa cemburu dengan seseorang yang dilamunkan arlita, sudah lama dia memendam rasa pada Arlita, namun Arlita seolah membangun tembok tebal untuk membentengi hatinya dari cinta.     

"Apaan sih Lo, Ka?" Ucap Arlita gugup.     

"Apa mikirin cowok yang tempo hari lo tabrak?" Tebak Arka yang duduk di depan meja Arlita.     

Tepat sasaran, memang jiwa inteligen sahabat satu timnya ini sangat bagus, bahkan mampu menebak isi hati orang, dan Arlita tak mampu berucap apa-apa karena yang dikatakan sahabatnya adalah benar adanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.