aku, kamu, and sex

Sang pipi kemerahan



Sang pipi kemerahan

0Rumah sakit polri, persis dihadapannya. Setelah memarkirkan mobilnya, Rey masuk ke dalam rumah sakit, sempat menghampiri meja resepsionis sekedar bertanya ruangan yang di tempati Arlita, Rey melanjutkan langkahnya menuju ruangan yang ditunjukkan oleh resepsionis tadi.     
0

Ruangan arlita dijaga ketat oleh petugas kepolisian. Rey terpaksa datang ke rumah sakit untuk menjenguk Arlita setelah Ronald menelponnya, meminta tolong padanya untuk menjenguk Arlita yang tertembak saat penggerebekan. Padahal Rey masih mengantuk karena baru satu jam dia tertidur, sudah harus terbangun karena dering ponsel yang lupa tidak ia matikan.     

"Permisi Pak, saya mau menjenguk Ibu Arlita, apa ini ruangannya?" Tanya Rey sopan kepada petugas kepolisian yang bertugas di depan kamar Arlita.     

"Mohon maaf, anda siapanya Ibu Arlita?" Tanya petugas polisi     

"Saya Rey, sahabatnya Ibu Arlita."     

"Pak Reynald?" Tanya Arka yang tiba-tiba muncul dari dalam ruanan Arlita, dan Rey seketika menatap pria yang ada di hadapannya, karena merasa tidak mengenal pria tersebut, namun begitu ia tak urung menjawab rasa penasaran Arka.     

"Ya, benar saya Reynald." Jawab Rey.     

"Silahkan masuk, Arlita didalam." Ucap Arka mencoba tersenyum, walau ada sekelumit rasa cemburu yang tiba-tiba mendera, dan rasa nyeri didada walau tanpa luka.     

"Trimakasih." Ucap Rey sopan kemudian masuk ke dalam ruangan Arlita.     

Rey membuka perlahan pintu kamar inap Arlita, terlihat disana Arlita sedang memejamkan matanya,perlahan Rey masuk kemudian menarik mundur kursi yang ada di dekat ranjang Arlita.     

Mendengar suara kursi ditarik walau tidak keras, mata Arlita terbuka dan menoleh ke samping dimana Rey sedang menunduk menatap jarijemarinya yang bertaut.     

Lagi, Arlita merasa dirinya rendah, karena melihar Rey yang tak mau menatapnya.     

"Rey." Sapa Arlita lembut. Rey mendongak untuk melihat wajah Arlita yang sedikit pucat.     

"Hai, kamu bangun? apa kamu baik-baik saja?" Tanya Rey santai.     

Mendengar ucapan Rey yang seolah mengkhawatirkannya, hati Arlita menghangat, walau ia tahu, Rey menjenguknya karena suruhan Ronald. Namun tak mengapa, Arlita sudah cukup bahagia melihat Rey ada di sampingnya saat ini.     

Arlita memang tak berharap Rey akan meliriknya, apa lagi mencintainya, Arlita sadar diri mereka berdua bagai langit dan bumi, sebuah perbedaan yang begitu kentara ada di hadapan mereka. Arlita yang non muslim sedangkan Rey yang merupakan muslim yang taat.     

"Aku baik-baik saja, trimakasih sudah datang." Ucap Arlita, sambil melirik ke arah Rey.     

"Syukurlah kalau begitu, Inshaallah kak Ronald akan datang besok, mungkin sama mama." Ucap Rey sambil sesekali menatap Arlita yang tersenyum kaku.     

"Ya, aku minta maaf atas perkataanku di rumah sakit waktu itu." Tandas Arlita.     

"Aku sudah melupakannya, Oya, sudah berapa kali kamu tertembak?" Tanya Rey penasaran.     

"Kenapa?" Tanya balik Arlita.     

"Aku lihat kamu santai saja, seperti tidak merasakan sakit." Ucap Rey sambil tersenyum.     

"Dua kali ini, pertama kali waktu ikut penggerebekan bersama interpol di Rusia."     

"Wow, kamu luar biasa." Puji Rey.     

"Tertembak itu sudah menjadi hal lumrah dan biasa bagi orang macam aku ini."     

"Tetap saja, di mataku kamu adalah perempuan yang hebat, tidak semua perempuan berani seperti dirimu, walau mereka seorang polisi." Sanjung Rey lagi.     

Arlita tersenyum simpul, dan tak sengaja tatapan mereka bertemu, Rey langsung kembali menunduk, sedangkan Arlita langsung memalingkan wajahnya, karena takut ketahuan rona merah dipipinya.     

"Permisi, apa aku menganggu?" Kata arka yang sambil masuk ke ruang inap Arlita.     

"Ah, tidak, masuk aja ka." Ucap Arlita sedikit gugup.     

"Rey, kenalkan ini Arka teman satu tim ku, Arka ini Rey adiknya Ronald." Kata Arlita memperkenalkan mereka.     

Rey berdiri, dan mengulurkan tangan pada Arka, keduanya berjabat tangan dan senyum yang sedikit kaku dari Arka.     

"Kalau begitu aku permisi dulu, lagi pula kamu harus istirahat kan, Ta?" Rey pamitan pada Arlita.     

Namun belum sempat Arlita dan Arka menjawab, pintu ruangan Arlita kembali diketuk dari luar. Kemudian muncul sosok wanita dengan hijab panjang muncul dari balik pintu, dengan wajah panik.     

"Bang Arka," Ucap Humaira.     

"Humaira.!" Ucap Rey dan Arka secara bersamaan, membuat keduanya saling menatap.     

"Rey?" Sapa Humaira tak mengira akan bertemu dengan pria yang beberapa hari lalu di kenalnya.     

"Kamu kenal Rey?" Ucap Arka sambil menatap Rey dan Humaira bergantian.     

"Dia laki-laki yang aku ceritakan sama abang waktu itu." Jawab Humaira sambil menunduk, namun hatinya sedikit tenang karena melihat abangnya baik-baik saja.     

"Dia?" Tanya Rey terjeda pada Arka.     

"Dia adikku, pasti dia mengkhawatirkan aku, atau mungkin kamu dapat berita yang salah." Ucap arka sambil menatap Rey dan beralih bertanya pada adiknya.     

"Oh." Jawab Rey sambil mengaruk tengkuknya yang tak gatal.     

"Aku kira abang yang tertembak." Ucap Humaira pada Arka.     

"Bukan abang, tapi teman abang."     

Humaira menatap Arlita, dan berjalan ke arahnya.     

"Perkenalkan saya Humaira, adiknya bang Arka, maaf menganggu kakak ya, saya panik tadi." Ucap Humaira sambil tersenyum manis.     

"Saya Arlita, ternyata adik Arka memang cantik, pantes banyak teman-teman Arka naksir kamu." Kata Arlita tersenyum kikuk karena teringat saat ia melihat Humaira tersenyum manis dihadapan Rey.     

"Kakak bisa aja, oya kalo gitu Humaira pamit ya, udah mau subuh ini, ira belum nyiapin keperluan ke kampus." Ucap Humaira pada Arlita dan Arka.     

"Tapi abang ga bisa antar kamu, masih ada yang harus abang urus didini."     

"Ga apa-apa, ira naik taksi aja bang."     

"Jangan Ra, ini masih sepi dijalan, aku antar kamu pulang, kebetulan aku juga mau pulang." Ucap Rey.     

"Apa tidak merepotkan?" Tanya Arka pada Rey.     

"Ga kok, santai aja, lagi pula ada yang ingin aku bahas sama Humaira." Jawab Rey     

Humaira tersenyum, kemudian mencium tangan abangnya "Ira balik dulu ya bang."     

"Ya udah hati-hati, rey aku titip Humaira ya." Arka tersenyum senang karena ternyata Humaira mulai bisa membuka hatinya pada laki-laki.     

"Oke, kami pamit, Assalamualaikum."     

"Waalaikumsalam." Jawab Arka sambil melihat rey dan Humaira menghilang dibalik pintu.     

"Mereka serasi ya?"     

Arka mengerutkan dahi mendengar apa yang diucapkan Arlita.     

"Maksud kamu?"     

"Rey ganteng, agamanya bagus dan adikmu cantik agamanya juga bagus, sopan, dan sepertinya mereka memang punya hubungan lebih dari teman."     

Arka tersenyum 'Apa sahabatnya ini sedang cemburu?' pikirnya.     

"Humaira akan mengajar di yayasan yatim piatu yang di kelola mamanya Rey, itu yang aku tahu dari Humaira saat kemarin dia bercerita padaku, tapi gue ga nyangka, ternyata Rey yang dimaksud adalah orang yang sama dengan orang yang telah mencuri hati sahabat gue ini." Ucap Arka sambil duduk di kursi yang tadi ditempati Rey.     

"Ngomong apa kamu, Ka?"     

"Benerkan?"     

"Mana mungkin, dia natap gue aja ga mau, apa lagi harus jatuh cinta? lagipula kami bagai langit dan bumi, dia jauh untuk aku gapai, bahkan ga mungkin." Ucap arlita kemudian menarik napas panjang.     

"jodoh itu ga ada yang tahu... dan itu mutlak rahasia Allah, kita manusia hanya bisa berusaha dan berdoa yang terbaik untuk kita."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.