aku, kamu, and sex

Maryam Bunda Isa



Maryam Bunda Isa

0Petugas kepolisian yang berjaga di depan kamar rawat Arlita selesai memeriksa Jelita, mereka tidak mau kecolongan, Arlita saat ini sedang dalam pemulihan, akan fatal jadinya jika ada penyusup yang masuk ke dalam ruangannya yang akan membahayakan nyawanya.     
0

"Assalamulaikum, Mama, Arlita."     

"Waalaikumsayang, sayang." jawab sang mama sambil mendekati anak perempuan kesayangannya, kedua wanita yang sama-sama menggunakan jilbab panjang berwarna maroon saling berpelukan, dan tak lama mereka mengurai pelukannya sambil sama-sama tersenyum manis.     

"Apa kabar Arlita?" Tanya Jelita sambil duduk di samping ranjang Arlita yang sedang memeluk Ramond yang tertidur di sisi ranjangnya.     

"Aku baik, Bu Jelita."     

"Jelita saja, tapi perlu memanggilku dengan sebutan Ibu."     

"Baiklah Jelita, senang bisa bertemu denganmu lagi."     

"Ini karena kamu dengan cekatan menangkap penjahat yang membahayakan aku dan mas Danil."     

"Belum tertangkap, dia kabur."     

"Ya, aku tahu, paling tidak semua sudah jelas, siapa musuh kami."     

"Ya."     

"Oya, siapa dia? apa dia anakmu? lucu sekali." Tatapan Arlita terarah pada wajah Ramond yang tertidur lelap sambil memeluk Arlita, tangannya membelai kepala Ramond dengan lembut.     

"Dia anakku." Jawab Arlita dengan wajah sendu.     

"Maafkan Jelita, dia tidak mengetahui tentang Ramon." Kata Mama Jelita melihat kesedihan di wajah Arlita.     

"Maksudnya?" Tanya Jelita tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh ibunya.     

"Tidak apa-apa nanti mama akan ceritakan dirumah." Jawab mamanya singkat.     

"Dia anakku, tapi aku belum menikah, dia anak dari seseorang yang sedang aku cari keberadaannya, tapi bukan untuk meminta tanggung jawabnya."     

"Sudahlah Arlita, kamu tak perlu menceritakannya pada Arlita, biar mama saja yang cerita padanya nanti."     

"Biar saya yang bercerita pada Jelita, ma." Ucap Arlita sambil tersenyum lembut pada Mama dan Jelita.     

"Dia anak seorang ketua Mafia di negara R, waktu itu aku sedang menjalankan tugas di negara itu, dan kami saling jatuh cinta, tanpa aku ketahui bahwa dia adalah target yang aku cari selama ini. Ketika aku mengetahui segalanya aku sudah terlambat. Ternyata aku sedang hamil Ramon, ketika aku ikut penggerebekan di Markasnya, aku menemukan foto-fotonya dan identitasnya aslinya, Dia telah pergi dari tempat itu, hingga kini aku belum menemukannya, hanya secarik kertas yang aku dapati di dalam apartemenku ketika aku pulang dari penggerebekan itu."     

Arlita menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya; "Disaat aku terpuruk, dan ingin mengakhiri hidupku, aku bertemu dengan Ronald, dia yang menguatkan aku, dia bercerita tentang Maryam yang melahirkan Isa, seorang perempuan suci yang tiba-tiba mengandung seorang bayi, dia memilih bertahan walau hinaan dan cercaan yang ia hadapi, karena sebuah keyakinan, bahwa seorang anak adalah anugerah, walau aku bukan Maryam dan sebab kami mengandung pun berbeda, tapi aku mengikuti jalannya untuk menjaga anak ini, walau hinaan dan cercaan datang silih berganti."     

"Ronald pula yang selama ini mengaku sebagai ayahnya, demi menjaga Ramon, dan karena, Ronald tak mau psikologis Ramond terganggu karena sebab dia tak punya ayah, namun ketika Ramon sudah mulai tumbuh besar aku mencoba menjelaskan pada Ramon bahwa Ronald bukan ayah kandungnya, dan aku meminta dia untuk merahasiakannya, hanya antara aku, Ramon dan Ronald."     

"Aku bersyukur Ramon anak yang penurut dia mengerti posisiku, dan aku sangat berhutang budi pada Ronald karena dia selama ini menjaga aku dan Ramon, apa lagi ketika aku harus bertugas di luar kota, dia harus membagi waktu antara menjaga Ramon dan pekerjaannya."     

"Itu sangat luar biasa, dan karena waktu itu Ronald masuk rumah sakit, makanya aku menitipkan Ramon di panti, dan aku tak perduli jika panti itu adalah panti berlandasrkan agama Islam, yang terpenting Ramon bisa tumbuh dengan baik, dan aku membenaskan dia memilih agamanya sendiri, dan Ronald sangat mendukungku akan hal itu."     

"Kamu hebat Arlita, aku juga tak menyangka ternyata kak Ronald punya sisi yang lembut..." Jelita terkekeh, mengingat betapa garangnya Ronald pada saat awal-awal mereka baru saja kenal, bahkan sampai mengakibatkan Ronald masuk ke rumah sakit.     

"Sesekali kamu harus menginap di rumah sama Danil, biar bisa lihat betapa manjanya kakakmu itu.." Ujar sang mama.     

"Benarkah..?" Tanya Jelita seakan tak percaya dengan apa yang disampaikan oleh mamamnya.     

"Ya . . ."     

"Oke, berarti Jelita harus mengajak mas Danil menginap di rumah mama."     

"Itu rumahmu juga sayang."     

Arlita memperhatikan interaksi dua wanita beda usia di hadapannya, hatinya menghangat, entah sudah berapa lama ia tidak merasakan kehangatan kasih sayang dari keluarganya.     

"Biarkan Ramond tinggal bersama mama, kamu tidak perlu sungkan."     

"Tapi, itu akan merepotkan mama."     

"Tidak sama sekali, karena semua bayi-bayi mama sudah tumbuh menjadi bayi besar, jadi tak ada salahnya jika sekarang mama menjaga bayi kecil sungguhan, pasti akan menyenangkan." Ucap Mama Jelita sambil membayangkan bahwa hari-harinya akan selalu berwarna karena kedatangan Ramond di tengah-tengah keluarganya.     

"Tapi, suatu saat mama pasti akan mempunyai cucu dari Jelita dan Danil, atau mungkin dari Rey."     

"Itu pasti, tapi mama tak ingin itu menjadi alasan mu menolak permintaan mama untuk mengasuh Ramon." Ucap Mama tegas.     

"Arlita, sepertinya kamu harus tahu, bahwa Nyonya Sanjaya tidak pernah menerima penolakan apalagi kekalahan, jadi aku sarankan supaya kamu menyerah saja padanya."     

"Hah! Begitukah?" Ucap Arlita sambil mengerutkan dahi.     

"Yap." Jawab Jelita sambil bersedekap.     

"Oke, kalau begitu saya menyerah nyonya, saya serahkan Ramon pada anda, tolong jagalah dengan baik." Kata Arlita dengan nada sedikit bercanda.     

"Keputusan yang tepat." Jawab mamanya singkat di ikuti senyuman di wajah tuanya.     

'Kali ini aku berterimakasi padamu, Tuhan. Karena mempertemukan aku dengan keluarga yang luar biasa ini.' Batin Arlita, entah kapan ia terakhir kali berterimakasih bahkan menyebut nama Tuhan pun dia tak ingat. Selama ini dia menjadi manusia yang apatis terhadap Tuahan, namun kelembutan dan kasih sayang keluarga ini benar-benar membuat dia sadar akan adanya Tuhan.     

Arlita teringat akan keluarganya, keluarga yang kini tak pernah menganggapnya ada, keluarga yang menggangap dirinya sang pembawa sial, keluarga yang menganggap dirinya adalah orang yang tak berguna, keluarga yang telah membuangnya. Sedih ? Jelas. Hancur? pasti. Disaat dia terpuruk harusnya keluargalah yang mendukungnya, keluarganya lah sumber kekuatannya, namun ia tak menemukan itu, alih-alih memikirkan keluarganya yang tak perduli dengan hidupnya, Arlita memilih melanjutkan hidupnya mengapai mimpinya menjadi seorang polwan yang disegani.     

Cita-cita Arlita tercapai, dia berhasil menjadi Polwan bahkan kini ia adalah seorang intelijen yang dibanggakan, dan menjadi intelijen kepercayaan, menjadi jembatan penghubung antara Intelijen dalam negri dan internasional.     

Hingga suatu hari, hatinya terketuk oleh cinta dan kelembutan sosok laki-laki bernama Matt Gordon. Namun lagi-lagi kenyataan buruk dia hampiri, teryata Matt adalah sosok ketua mafia yang ia cari selama ini, Matt sama halnya dengan Arlita, yang pandai berkamuflase dimanapun dan dengan siapapun dia berinteraksi, maka sangat mungkin jika Matt tak pernah mengetahui bahwa Arlita adalah salah satu intelijen yang bertugas menangkap dirinya, sebaliknya Arlita pun tak mengetahui jika Matt adalah sosok yang selama ini ia cari.     

Ada kegetiran saat ia mengingat akan sosok Matt, pria yang lembut, romantis dan Arlita tau, Matt sangat mencintainya. Jujur masih ada cinta yang tersimpan rapi dalam kotak rahasia yang ia sembunyikan dalam-dalam di sudut hatinya.     

Sadar dengan jurang yang terbentang diantara mereka, Arlita berusaha menutup rapat kisahnya dengan Matt, dan kini sekali lagi pintu hatinya terketuk untuk kedua kalinya, Rey. Nama itu yang selalu bersemayam dalam ingatannya, namun lagi-lagi Arlita harus sadar diri siapa dirinya, dia bukan perempuan suci yang layak untuk Rey, dia bukan seorang wanita muslim yang sholihah, Dia hanya seorang Arlita yang tak mengenal siapa Tuhannya, yang hidupnya selalu diliputi bahaya. Sekali lagi Arlita harus memendam rasa cintanya pada laki-laki yang ia cinta.     

"Assalamualaikum." Arlita tersadar dari lamunanya ketika suara yang ia rindukan tiba-tiba hadir di hadapannya.     

"Waalaikumsalam." Jawab Mama dan Jelita bersamaan, mereka menoleh ke sumber suara, terlihat Rey sedang menutup pintu kamar inap Arlita.     

"Kemana aja kamu, semalaman ga pulang? Kamu tahu nggak sih Rey, kalau mamah kuatir.     

"Iya, ma maaf... Hallo Jel...Hai Arlita."     

"Hai..."     

"Aku disuruh papa jemput mama dan kamu Jeli adik gue yang paling berisik." Ucap Rey sambil mencubit pipi kanan Jelita, sontak saja tangannya langsung mendapat cubitan dari Jelita.     

"Aduh, itu tangan orang apa tangan kepiting sih? sakit bener nyubitnya." Ucap Rey sambil meniup-niup tangannya yang kena cubitan dari Jelita.     

"Lagian main cubit aja, sakit tau ga?" Jawab Jelita galak.     

"Heeelllaaahhh.."     

"Kalian berdua ini, kapan berhentinya sih jailnya?" mama melerai keduanya, namun Rey dan Jelita tetap saja saling melempar tatapan tajam.     

"Sepertinya aku kenal sama ni anak." Ucap Rey sambil mendekat ke arah ranjang, dan meneliti wajah mungil yang sedang tertidur dengan lelap.     

"Ramond?"     

"Kau mengenalnya?" Tanya Arlita.     

"Dia bukannnya anak yang dipanti ma?" Rey mengacuhkan pertanyaan Arlita dan malah bertanya pada sang mama untuk menyakinkan apa yang dia lihat saat ini adalah benar Ramon yang sering ikut pelajaran menghafal di panti.     

"Iya, kamu benar, dia adalah anak Arlita." Ucap mamanya.     

"Benarkah?" Pandangannya beralih pada Arlita yang sedang menatap Ramon.     

"Jadi dia anakmu? Sungguh kebetulan, tapi kenapa dia dipanti?"     

"Dia aku titipkan disana, selama aku bertugas,"     

"Oh, kau memilih tempat yang tepat, dia sangat cute, aku suka menjahilinya, lalu dia akan marah dan mengejarku sampai dapat, kemudian memukulku." Hati Arlita menghangat, ternyata kedua pria yang ia sayangi saling mengenal, dan sepertinya sangat akrab, Arlita patut berbahagia akan hal itu.     

"Dia akan tinggal bersama kita, jadi kau bisa puas bermain dengannya?"ucap sang mama.     

"Oya, bagus kalau begitu, tapi apa tidak apa-apa dia tinggal bersama kita? bagaimana dengan ayahnya? apa tidak akan marah?" Tanya Rey pada sang mama.     

"aku yakin tidak, karena papa nya kan Ronald." Ucap mamanya enteng.     

"Whattt!!!!" Rey berteriak tak percaya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.