aku, kamu, and sex

Jiwa yang terancam



Jiwa yang terancam

0Jelita menyusuri setiap jengkal rumahnya, mulai dari ruang tamu, dapur, taman dan kamar baru yang ia yakini kamar Ronald. Jelita tengok kanan dan kiri, kemudian sengaja menyusup ke dalam kamar Ronald. Duduk di bibir ranjang, Jelita mengeluarkan alat yang ia ambil dari dalam tasnya. Melihat ke seluruh ruangan dan akhirnya Jelita meletakkan benda tersebut di dalam sebuah lukisan di atas ranjang Ronald.     
0

Bukan tanpa alasan Jelita memasang alat tersebut, dia ingin tahu apa saja yang Ronald lakukan. Sebuah minicam sudah terpasang, Jelita merapikan kembali ranjang Ronald kemudian diam-diam keluar dari kamar Ronald. Dilihatnya Rey dan Ramond yang sedang tiduran di atas rumput di teras belakang rumah. Jelita meletakkan tas nya di kursi makan, kemudian menghampiri dua lelaki tampan yang terengah karena kelelahan.     

"Jel, haus." Ucap Rey sambil terengah.     

"Tante. . . Om Rey curang." Ramond mengadukan kelakuan Rey pada Jelita.     

"Jewer saja kupingnya kalau Om Rey curang." Jawab Jelita sambil ikut merebahkan tubuhnya di dekat Ramond.     

"Jel, kenapa lo ikut tiduran sih, aku haus nih, ambilin minum kek."     

"Ogah, ah . . . suruh aja si bibi, hemmm . . . aku rindu suasana seperti ini,"     

"Bi!! Tolong ambilkan minum, Rey haus.!" Teriak Rey pada Bibi yang kebetulan lewat di dekat kolam renang.     

"Siap, Mas Kuuuhhh." Jawab si bibi dengan nada cemprengnya.     

Tak lama Leha kembali dengan membawa tiga jus jeruk.     

"Ini jusnya, Mas ganteng. . ." Leha meletakkan nampan di atas rumput.     

"Makasih Bi leha."     

"sama-sama." Leha meninggalkan mereka bertiga yang duduk diatas rumput sambil meneguk jus buatannya.     

Suara Adzan maghrib telah berkumandang, kini saatnya mereka melepas penat dan menghadap Allah sang pemilik alam, tepat ketika mereka hendak melaksanakan sholat maghrib deru mobil terdengar di halaman.     

Danil masuk ke dalam rumah bersama Ronald, Ronald langsung masuk ke kamarnya, dan Danil menuju kamar Jelita untuk mandi dan bersiap-siap sholat maghrib.     

Ronald memutuskan untuk sholat dikamarnya saja, karena memang dia sudah tertinggal untuk sholat berjamaah. Dengan khusu' Ronald melaksanakan sholat maghrib. Disela-sela doanya Ronald memohon ampun atas segala yang pernah ia lakukan, dan memohon agar segera dipertemukan dengan jodohnya, tiba-tiba bayangan Jelita terlintas di benaknya. Wajah ayu dengan senyum menawan. Ronald beristighfar karena takut berbuat jahat lagi terhadap Jelita. Atau sebenarnya dia sedang menghindari perasaannya sendiri. Entahlah, Ronaldpun tak tahu.     

Semua keluarga berkumpul di ruang makan, Ronald keluar dari kamarnya dan ikut berkumpul dengan keluarga besarnya.     

"Makan yang banyak Ronald." Ucap Mama setelah menaruh nasi di atas piring Ronald, kemudian memberikan satu mangkok kecil sop ayam pada Ronald, Danil hamper terbahak ketika melihat ekspresi Ronald yang melihat sayur dengan tatapan nelangsa.     

"Danil, kamu juga harus makan yang banyak." Mama Jelita menambahkan sepotong ayam goreng dan menambahkan sop di mangkuk milik Danil. Gantian Ronald yang terkekeh melihat ekspresi Danil.     

"Rey, sayurnya dimakan, mama enggak suka kamu kurus, nanti ga ada cewek yang mau sama kamu, kalau kamu krempeng, kayak ga punya uang buat makan."     

"Jelita, ini sayur sengaja dibikinin kusus buat kamu, biar kamu tambah subur, dan cepet kasih cucu ke mama sama papa."     

"Ra ..Hemm" baru saja mau menyebut Ramond tapi mulutnya telah disumpal dengan satu sendok makanan oleh sang suami.     

"Papa apa-apaan sih."     

"Mama ngomong terus, nanti semua orang kenyang, mama yang kelaperan." Ujar sang papa.     

"Ramond tambah lagi saying?" Ucap Jelita.     

"Ga tante, makasih. Ramond sudah kenyang." Jawab Ramond kemudian meneguk segelas air putih di hadapannya.     

"Anak pintar." Ucap Ronald sambil membelai rambut pirang Ramond.     

"Jadi dia anakmu kak?" Tanya Rey, sontak Danil kaget setengah mati, untung makanannya sudah ia telan kalau tidak pasti dia sudah tersedak parah.     

"Anggap saja begitu." Jawab Ronald.     

"Bagaimana bisa kau lebih dulu punya anak dari pada aku? Sedangkan aku duluan yang menikah?"     

Ronald tak menjawab, dia hanya tersenyum menanggapi Danil.     

Setelah selesai makan malam, Danil dan Jelita pamit untuk kembali ke rumahnya. Namun papa ingin berbicara pada Danil terlebih dahulu di ruang kerjanya.     

"Jelita tunggu di teras ya Mas."     

"Oke sayang." Danil mencium bibir Jelita sekilas kemudian melangkah menuju ruang kerja papa mertuanya di lantai dua. Ronald tersenyum kecut melihat adegan ciuman singkat itu. Kemudian menyusul Jelita yang duduk di teras.     

"Jelita."     

"Eh, kak Ronald."     

"Kenapa ga duduk didalam aja, dingin lho diluar."     

"Pingin duduk disini kak, anginnya sejuk, ini salah satu tempat favorit aku juga kalo lagi di rumah lho."     

"Oh, maaf, aku ga tahu."     

Tanpa mereka sadari sepasang mata menatap interaksi mereka berdua dari luar pagar. Tangannya terkepal kuat, hingga buku-buku jarinya memutih."     

"Jadi perempuan itu yang merubahmu, Kau hanya milikku Ronald, maafkan aku karena aku terpaksa harus menyingkirkannya."     

Ucap laki-laki itu kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jelita menatap sekilas pada mobil yang melaju kencang di depan pagar rumahnya, namun sedikitpun tak ada rasa curiga, bagaimanapun itu adalah jalanan umum, mungkin saja memang sedang terburu-buru pikir Jelita.     

"Jelita, aku boleh Tanya sesuatu?"     

"Tanya aja kak?"     

"Sejauh mana keterlibatanmu dengan dunia kepolisian?"     

"Maksud kakak?"     

"Aku tahu kamu salah satu dari tim cyber kepolisian yang mengusut kasus-kasus para Mafia."     

"Bagaimana kakak bisa berpikir seperti itu?"     

Ronald menyerahkan sebuah chip pada Jelita.     

"Bagaimana kakak bisa menemukan ini?"     

"Kau tak sengaja menjatuhkannya di rumah sakit." Jawab Ronald     

"Apa Danil mengetahui tentang ini?"     

Jelita menggeleng.     

"Baguslah, jangan membuatnya khawatir dan kamu juga harus hati-hati."     

"Iya kak."     

"Asik banget ngobrolnya, boleh ikutan?" Kedua nya mendongak, terlihat Danil sudah berdiri di pintu.     

"Kak Danil udah selesai ngobrolnya sama papa?"     

"Udah Yuk kalau mau pulang."     

"Danil, Jelita? Hati-hati dijalan." Ucap Papa yang berdiri di belakang Danil bersama sang mama.     

"Iya pa, Kita pamit dulu ya Pa, Ma, Kak Ronald." Ucap Jelita.     

"Hati-hati di jalan." Ucap Ronald.     

"Ga pamit am ague kualat ntar lo, Jel."     

"Males ah." Ucap Jelita pada Rey yang langsung memeluk Jelita sambil mengoyang-goyangkan tubuh mereka.     

"Lepas . . . apa-apaan sih lo."     

"Hati-hati adik aku sayang." Ucap Rey seraya melepaskan pelukannya dan beralih memeluk sang Ibu dari samping.     

"Iya Abang..." Ucap Jelita dengan nada sinis.     

Namun justru sebuah keasikan tersendiri untuk keluarga melihat tingkah keduanya, yang memang selalu akrab dalam hal apapun.     

Danil sedah membukakan pintu mobil untuk Jelita, namun ia bisa melihat ada binar di mata Ronald saat ia menatap Jelita, sesuatu yang ia harapkan walau menyakitkan untuknya.     

Tak ada satupun orang yang tahu rahasia yang selalu di simpan rapi oleh Danil, hanya papa mertuanyalah yang mengetahui hal ini, itupun papa telah berjanji untuk menyimpannya hanya untuk dirinya sendiri.     

Bukan Danil tak mengetahui sepak terjang Jelita di dunia cyber namun Danil membiarkan istrinya, dan memilih menjaganya dari sisi yang tak pernah terlihat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.