aku, kamu, and sex

Ketahuan



Ketahuan

0Hati yang menyimpan sejuta pilu dan hampanya sebuah sunyi, yang terus memburu hingga ke relung jiwa, mengusik hati yang kian perih, hingga tak sanggup rasanya untuk sekedar berdiri, rasa putus asa yang membius dan membunuh rasa percaya percaya dalam diri, menghalau bahagia yang ingin menghampiri, bagaimana harus ku jalani hari jika sang mentari pun rasanya enggan untuk sekedar hinggap menghangatkan jiwa ini.     
0

Ronald pernah ada di posisi itu, posisi dimana tak tahu bumi mana yang harus ia pijak, hingga mengakhiri hidup adalah jalan terakhir yang ia pilih, namun kini semua itu perlahan sirna, kehangatan dari kasih sayang keluarga yang pernah terberai kini ia regup dan ia rasakan meski ia harus kehilangan cinta. Ya cinta dari seorang Danil Mahendra sosok yang mengangkatnya dari lubang putus asa, dan kembali hidup seperti manusia lainnya.     

"kenapa kalian bisa menyayangi aku dan Rey seperti kalian menyayangi Jelita?"     

Tuan Sanjaya menarik nafas berat, sedangkan sang nyonya hanya tersenyum manis pada Ronald yang mendongak menatap perempuan paruh baya yang menyayanginya setulus hati.     

"kenapa kamu menyayangi Ramond? Bahkan kau rela member segalanya untuk Ramond, padahal dia bukan anak kandung kamu?" Mama balik bertanya pada Ronald, kemudian Ronald berpikir sejenak. Namun tak ada jawaban yang pas untuk pertanyaan mamanya.     

"Seperti itu juga kira-kira mama dan papa menyayangi kamu, karena kamu adalah anugerah dari Allah yang wajib mama dan papa syukuri, dan ini bentuk rasa syukur kami dengan menyayangimu."     

"Jangan pernah berpikir konyol lagi tentang apapun Ronald. Jangan pernah kamu merasa sendiri, kamu harus ingat ada mama dan papa yang selalu ada untuk kamu, dan menyayangimu tanpa syarat apapun." Kata sang papa sambil menatap Ronald.     

"Makasih pa,"     

"Iya, tutup masa lalu, kita buka lembaran yang baru, oke?" Ucap sang papa sambil menepuk bahu Ronald.     

"Oke pa." Ucap Ronald seiring dengan air matanya yang kembali turun tanpa permisi.     

Sang mama merengkuh Ronald dalam pelukannya, senyum kecil terpatri di wajah yang cantik walau tak lagi muda.     

"Ingatkan Ronald jika Ronald kembali salah melangkah."     

"Tentu, itu sudah menjadi kewajiban papa, Sekarang kamu istirahat, mama dan papa mau menyusul Rey ke rumah Danil."     

"Ya, sampaikan salamku untuk mereka."     

"Baiklah."     

"Mama pergi dulu ya sayang, banyak istirahat, kalau perlu apa-apa panggil si encum aja, jangan jangan sendiri, nanti kaki kamu ga sembih-sembuh."     

"Iya, ma. Terimakasih."     

Mama bangkit dari ranjang Ronald menggapai tangan suami yang terulur padanya, berdua saling bergandengan tangan keluar dari kamar Ronald.     

Ronald tersenyum menatap keduanya hingga tak terlihat tertutup daun pintu yang rapat.     

'Pantas Jelita tumbuh menjadi gadis yang lembut dan ceria walau pernah ada peristiwa yang membuatnya amat terluka.' Gumam Ronald. Ronald membetulkan posisi tubuhnya senyaman mungkin, perlahan ia menutup kedua matanya, dan tertidur.     

Disilain Jelita dan Rey sedang berada di kamar Danil, Rey duduk di sofa bersama Danil sedangkan Jelita duduk bersandar kepala ranjang di kasur empuknya.     

"Jadi sebenarnya kalian ini apa? Kenapa harus terlibat dengan penyelidikan polisi,"     

"Dan ini apa sayang?" Danil menatap Jelita sambil mengeluarkan laptop dan segala peralatan yang Jelita sembunyikan di loteng kamar mandi mereka.     

"Ehm… Itu … itu …" Jawab Jelita tak menyangka jika Danil akan menemukan peralatan cybernya. SEdangkan Rey hanya nyengir tak tahu harus berkata apa pada Danil. FIX mereka ketahuan.     

"Itu apa?"     

"Ya, itu alat. . . untu . . . menyadap dan melacak keberadaan para penjahat dan mafia yang menjadi target polisi." Jawab Jelita sambil menunduk, sedangkan Rey menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.     

'Habis sudah' Pikir Rey.     

"Oke, Reyseharusnya kamu pulang saja, aku harus menghukum istri kecilku, yang berani berbuat sesuatu tanpa ijinku." Ucap Danil seraya berjalan pelan kearah Jelita dengan tatapan nakal, Jelita menelan ludahnya kasar, Jelita sangat paham hukuman apa yang akan diberikan oleh suaminya.     

"Oke seperti nya aku memang harus pulang."     

"Siapa yang mau pulang?" Tiba-tiba suara mama Jelita mengagetkan mereka.     

'Selamat' Batin Jelita.     

"Tunggu saat nanti kau akan terima hukuman dariku, sayang." Ucap Danil pelan di telingga Jelita. Jelita menyelipkan rambut ke belakang daun telinganya, sambil tersenyum kecut.     

"Mama sama siapa kesini?" Tanya Danil seraya berjalan kea rah mama mertuanya yang berdiri di ambang pintu. Kemudian mencium tangannya.     

"Sama Papa, Tuh." Jawab Mama sambil menunjuk suaminya yang sedang berjalan kea rah mereka.     

"Hai, Pa."     

"Hallo Danil, Bagaimana Jelita?"     

"Sudah membaik, papa dan mama silahkan masuk, Tuh Jelita sedang tiduran."     

"Baiklah."     

"Assalamualaikum. Sayang." Ucap sang papa kemudian mencium kening putrinya.     

"Waalaikumsalam, Pa."     

"Sudah enakan?" Tanya sang mama seraya duduk di bibir ranjang tempat Jelita berada.     

"Alhamdulilah, Ma."     

"Rey kenapa mau pulang?" Tanya sang mama.     

"Diusir Danil Tuh, Ma."     

"Lho kenapa, Dan?" Tanya mama sambil menatap Danil.     

"Kami ketahuan mempunyai jadi tim cyber."     

"Astaghfirullah, Jelita, Rey, kalian sudah janji mau berhenti untuk ikut tim cyber. Kenapa kalian berbohong?"     

"Ehm, itu ma, karena targetnya adalah om Richard."     

"APAAA!!!" Teriak papa, mama dan Danil secara bersamaan.     

'Kalian ini." Ucap sang mama, sedangkan papa Jelita melotot kea rah Jelita dan Rey bergantian.     

"Lalu dimana om Richard sekarang?" Tanya Danil pada Jelita.     

Jelita menatap Rey, kemudian Rey menjawab dengan pelan; " Sepertinya om Richard berada di salah satu pulau terluar di Negara ini, terakhir aku melacaknya pesawat yang ia gunakan tiba-tiba hilang dari radar. Kemungkinan Om Richard tahu sedang aku intai."     

"Om Richard sangat berbahaya, targetnya hanya aku sebenarnya." Ucap Danil sambil berdiri menatap jendela kamarnya.     

"Ya, dia menginginkan perusahaanmu, untuk menutupi bisnis gelapnya." Ucap papa.     

"Iya pa, Danil baru tahu jika Om Richard senekat itu membuka bisnis gelap."     

"Kalian bertiga harus hati-hati, papa yakin Richard sedang merencanakan sesuatu."     

"Itu pasti pa, Danil akan berhati-hati."     

"Rey, sepertinya kau harus memperbanyak alat SOS mu."     

"Begitu ya pa?" Tandas Rey.     

"Papa benar Rey, itu untuk antisipasi jika ada sesuatu yang terjadi, kita bisa dengan cepat saling kontak."     

"Baiklah, Rey akan membuatnya."     

"Kau masukkan rancanganmu di kantor, biar papa juga ikut memperbanyak, dan bisa dijual komersial bukan?"     

"Dasar papa, otaknya tak jauh dari bisnis." Cobor Rey.     

"Itu juga demi kamu." Papa membela diri.     

"Iya pa, iya. Ya udah, Rey pamit dulu mau ke panti."     

"Mau ke panti atau ke temu dokter cantik?" Sindir papa.     

"Eh,?" Rey terkejut mendengar ucapan papanya yang tepat sasaran.     

"Ijin dulu sama Arka,"     

"Baik, pa."     

"hati-hati Rey." Ucap Jelita.     

"Oke." Rey mencium tangan kedua orang tuanya, mencium kening Jelita sekilas, dan berjabat tangan dengan Danil, kemudian keluar dari kamar Jelita dan Danil.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.