aku, kamu, and sex

Dia wanita akupun sama



Dia wanita akupun sama

0Tiga hati bertekuk takluk pada cinta     
0

Mengeja rasa dengan satu tujuan     

Menatap rindu pada sang kekasih yang dirasa nyata     

Namun terhempas pada biduk yang bernama nelangsa     

Cinta hadir tanpa disadari     

Mengusik rasa dan menggema dalam jiwa     

Saat kau tersenyum aku merasa itu cinta     

Namun apa lah daya bunga lain pun ikut bahagia     

Disaat ku tersadar bahwa bunga cinta telah mekar     

Bunga rindu telah bermunculan     

Kau, aku dan dia dalam satu tempat, yang bernama cinta.     

Humaira duduk diantar bangku taman, menunggu seseorang yang satu jam lalu menelponnya. Jilbab maroon yang ia kenakan bergoyang tertiup angin sepoi yang singgah sesaat untuk mengusir rasa panas yang menyengat.     

"Hai, Ra. . . Udah lama?"     

"Baru aja, duduk lit."     

Ya, Humaira berjanji akan menunggu Arlita di taman dekat kampusnya, Dua wanita cantik duduk bersebelahan dengan keanggunan yang memukau mata. Sesekali lirikan dari kaum Adam singgah pada mereka, namun hanya acuh yang mereka dapat.     

"Jadi kamu mau tanya apa, Lit?"     

"Kenapa kita harus sholat, untuk apa?"     

"Karena dengan sholat kita berkomunikasi langsung dengan Allah, dan dengan sholat juga kita akan selalu mengingat Allah, dengan selalu mengingatnya hati dan jiwa kita akan tenang walau berbagai cobaan datang, karena kita yakin segalanya berasal dari Allah dan akan kembali padanya."     

"Karena itukah kau selalu terlihat tenang seperti tanpa beban, padahal kamu sebagai dokter yang selalu berhubungan dengan nyawa manusia dan juga masih harus kuliah, belum masalah pribadi kamu yang lain."     

"kamu benar, dulu aku pernah berada di dititik yang sangat menyedihkan tapi bang Arka selalu mengingatkan aku akan adanya Allah, dan selalu membimbingku untuk mendekatkan diri pada-Nya, dan Alhamdulilah kamu bisa lihat aku sekarang yang menurutmu tanpa beban, karena segala masalah aku serahkan segalanya pada Allah, dan meminta pada -Nya untuk selalu dikuatkan untuk menjalaninya."     

"Kau beruntung punya kakak seperti Arka."     

"Ya, kamu benar Arlita, bang Arka sangat menyayangiku, dan aku pun demikian."     

"Apa kamu pernah jatuh cinta?"     

Humaira menoleh pada Arlita, kemudian tersenyum, "Pernah." Jawab Humaira singkat.     

"Aku dulu sangat mencintai ayah kandungnya Ramond, hingga segalanya aku beri, namun dia pergi dan hingga kini tak pernah kembali, dan tak pernah kubuka hatiku untuk laki-laki lain setelah dia pergi, hingga kini seseorang mengetuk pintu hatiku."     

"Lelaki beruntung yang bisa mengetuk hatimu."     

"Aku yang beruntung, darinyalah aku tahu Tuhan dan mencoba mencari Tuhan."     

"Dan kau menemukannya."     

"Ya, atas bantuanmu."     

"Itu kewajibanku."     

"Kau perempuan yang baik pasti kau akan mendapatkan laki-laki yang baik."     

"InshaAllah."     

Arlita yang sedang menatap bunga-bunga ditaman mengalihkan tatapannya pada gadi berhijab disampingnya denganwajah bersemu merah.     

"Aku tebak__kau sudah menemukannya."     

Humaira balik menatap Arlita kemudian tertawa kecil."Mungkin." Jawabanya singkat.     

"Siapa pria beruntung itu?"     

"Adalah seseorang, suatu saat kau akan tahu."     

Arlita menarik nafas panjang, mata indahnya kembali menatap bunga-bunga yang bermekaran. Merasakan hembusan angin waktu menjelang sore, dengan pantulan sinar matahari yang perlahan mulai meredup. Dua wanita dengan pikiran yang berbeda namun mempunyai satu rasa yang sama yaitu cinta.     

Humaira menatap jam dipergelangan tangannya, dan menatap Arlita. "Arlita, maaf aku ada janji dengan seseorang, apa kau tak keberatan jika aku tinggal? temanku sudah menunggu di kadai kopi tak jauh dari sini."     

"Oh begitu, kalau begitu kita berangkat bersama saja, aku juga sudah berjanji dengan Arka akan menjemputnya di kedai kopi, kamu tak bawa motorkan?"     

Humaira mengeleng.     

"Ya udah yuk, aku antar kamu sekalian, sepertinya kita satu arah."     

"Baiklah semoga tidak merepotkanmu."     

"tentu saja tidak."     

Mereka menuju parkiran tempat dimana mobil Arlita terparkir, kemudia bersama berangkat ke kedai kopi tempat dimana sahabat masing-masing menunggunya.     

"Kedai kopi sebelah mana temanmu menunggu?"     

"Itu disana." Jawab Humaira sambil menunjuk sebuah kedain kopi sederhana namun terlihat begitu ramai.     

"Arka juga menunggu disana, ya sudah kita bareng aja masuknya."     

Satu jam sebelum Arlita dan Humaira datang, Rey memarkirkan mobilnya tepat di depan kedai kopi tempat dimana ia dan Arka berjanji untuk bertemu.     

Rey melihat ke segala penjuru ruangan mencari sosok yang katanya telah menunggunya, tak lama ia menangkap lambaian tangan dipojok ruangan. Dengan langkah cepat Rey mendekati Arka, yang sedang meminum kopi late nya.     

"Terimakasih telah mau menungguku." Ucap Rey sambil menjabat tangan Arka.     

"Ga masalah, lagi pula aku memang butuh udara segar dan segelas kopi late untuk menyegarkan otak."     

Rey mengangguk setuju kemudian duduk di hadapan Arka.     

"Jadi, kau mau bicara apa?" Tanya Arka to the point.     

"Aku mau berbicara tentang Humaira."     

"jadi?"     

"Aku mengajaknya untuk taaruf, tapi aku pikir aku sudah memantapkan hatiku untuk segera mengkhitbahnya, Bolehkah?" Jawab Rey tak kalah to the point pada Arka.     

Arka tersenyum, kemudian berkata, "Kamu serius?"     

"Lebih dari sekedar serius, dari pertama kali aku mengenalnya, aku sudah menyukainya, tapi aku butuh waktu untuk menyakinkan hati sekaligus memantapkannya."     

"Dan sekarang kamu sudah mantap?"     

"InshaAllah aku mantap untuk mengkhitbah adikmu."     

"Tapi tunggulah sampai Humaira lulus kuliah spesialisnya, aku takut dia tak mampu membagi waktu antara mengurusmu dan kuliahnya."     

"Oke, yang penting aku sudah mengkhitbahnya dulu, aku ga mau kecolongan."     

Arka terkekeh, "Posesif juga rupanya kamu ini."     

"Karena aku sayang adikmu."     

"Oke . . . Oke, lalu bagaimana dengan Arlita? Dia menyukaimu."     

"Tapi aku tak mencintainya."     

"Arlita akan terluka."     

"Bukan urusanku."     

"jahat kamu Rey."     

"Lalu aku harus bagaimana?"     

Arka mendesah nafas berat, dilain pihak dia tak ingin Humaira terluka, tapi di pihak lain ia pun tak mau Arlita tersakiti. Ini lah resiko sebuah rasa cinta.     

"Aku harap kamu benar-benarmenjaga dan menyayangi adikku, aku tak mau dia kecewa untuk kedua kalinya."     

"Oke, aku janji akan selalu berusaha membahagiakan Humaira."     

"Aku percaya padamu, Rey."     

"Rey!!" Ucap Arlita dan Humaira bersamaan, Rey menoleh dan menemukan dua perempuan cantik yang sama-sama menyebut namanya, Arka pun ikut menoleh dan melihat Arlita serta Humaira berdiri mematung menatap Rey.     

Rey melambaikan tangannya, Arlita dan Humaira melangkah bersama ke meja yang sama. Tempat dimana sang pujaan hati menunggu mereka.     

"Aku tak tahu ternyata orang yang ingin kau temui adalah Rey, Ka." Ucap Arlita yang duduk diantar Rey dan Arka, sedangkan Humaira duduk disisi yang lain dan berhadapan dengan Arlita.     

"Ira, ngapain kesini?" Tanya Arka.     

"Aku yang mengajak bertemu, tadi aku ingin menjemputnya di kampus tapi katanya dia ingin bertemu dengan temannya dulu, ya udah aku menemuimu sendirian."     

"Dan teman kamu itu, Arlita?" Tanya Arka, Humaira mengagguk pelan. Arka mendesah dan menatap Rey.     

Rey tahu betul arti tatapan Arka padanya, dia sendiri bingung harus bagaimana dihadapan dua perempuan yang sama-sama menyukainya. Rey pun sebenarnya tak ingin menyekiti Arlita tapi harus bagaimana dia sudah menjatuhkan hatinya pada Humaira. Rey mendesah kemudian berpamitan dengan Arka dan Arlita.     

"Kalo begitu kami berdua pamit dulu, kami harus segera ke panti takut anak-anak menunggu terlalu lama." Ucap Rey pada Arka dan Arlita.     

Arlita hanya diam dan tersenyum kecut, Humaira menatap Arlita dengan perasaan yang tak nyaman, mencoba menerka, apakah laki-laki yang Arlita sukai adalah Rey?     

"Ayo Ra." Ucap Rey menatap Humaira lembut, Humaira mengangguk dan bangkit dari duduknya.     

"Ira pergi dulu bang."     

"Oke, hati-hati ya, apa perlu abang jemput pulangnya?" kata Arka.     

"Tidak usah, aku ingin mengajak Humaira mampir ke rumah, mama ingin bertemu dengan Humaira, dan aku yang akan mengantarnya pulang."     

"Oh, Oke kalau gitu, antar kan dia dengan selamat tak kurang sedikitpun sampai rumah."     

"Baiklah, Assalamualaikum."     

"Waalaikumsalam." Jawab Arka.     

Wajah Arlita berubah sendu mendengar ucapan Rey yang akan mengajak Humaira menemui mamanya.     

"Apa hubungan Humaira dan Rey sebenarnya, Ka?" Tanya Arlita pada Arka.     

Arka menunduk, kemudian menegakkan kembali kepalanya menatap Arlita, dia harus memberi tahu Arlita, supaya Arlita tak lebih sakit hati karena cintanya pada Rey yang bertepuk sebelah tangan.     

"Rey mau melamar Humaira?"     

Arlita tercekat, dadanya terasa sesak bahkan untuk sekedar bernafas.     

"Maaf, Ta."     

"Sejak kapan mereka pacaran?"     

"Mereka tak pernah pacaran, beberapa hari lalu Rey mengajak Humaira Taaruf, tapi baru saja dia bilang ingin segera melamar Humaira."     

"Benarkah?"     

"Maaf Arlita."     

Arlita berlari meninggalkan kedai kopi dan melesatkan mobilnya tanpa arah dan tujuan.     

Arka mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, entah apa yang harus dia lakukan supaya Arlita tak terluka. Dia sungguh bingung apa yang harus ia lakukan untuk perempuan yang ia cintai walau tak pernah sedikitpun Arlita membalas cintanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.