aku, kamu, and sex

Hurt From Heart



Hurt From Heart

0Bertahun mencintaimu hingga usiaku termakan waktu     
0

Hingga kini aku dihadapmu, dan hanya mampu menatapmu.     

Meregup perih duka nestapa     

Ketika aku mencintaimu, namun kau masih mencintainya     

Aku terus mengagumimu, dan kau terus bersamanya     

Perih, karena sebuah luka akibat rasa bodoh yang tercipta     

Apalah aku yang hanya mencintaiku dalam diam     

Dulu kau tak mengenalku, Kini pun sama     

Akulah sang pengagummu     

Yang hanya mampu memberi setangkai bunga di meja kerjamu     

Akulah sang pengagummu     

Yang mengasihimu sepanjang usiaku     

Yang menginginkanmu melebihi apapun     

Namun apalah dayaku,     

Aku lah seonggok batu yang tak mampu bergerak     

Hanya diam dalam senyum dan luka     

Senyum jika kau bahagia     

Luka karena aku hanya seseorang yang tak kan pernah memilikimu.     

Akulah Sang Pengagum rahasiamu..     

Karamnya sebuah rasa yang tak bertaut, membuat luka hati tak mampu untuk dicegah, menengelamkan rasa dalam luka, mengharapkan seseorang untuk kembali walau itu sesuatu yang mustahil. Tak ada yang perlu disalahkan karena sebuah rasa muncul tanpa diminta hanya sang waktu yang tidak tepat.     

Arlita memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, kemana arah dan tujuan dia pun tak tahu, dia hanya ingin menghilangkan sesak didadanya. Setelah sekian lama hatinya tak tertutup rapat , kini mencoba ia buka untuk seseorang namun ternyata ia salah, karena dari awal orang itu tak pernah sedikitpun meliriknya.     

'Harusnya aku sadar diri dari awal, kau memang tak pernah mencintaiku, Bodohnya aku yang justru menengelamkan rasaku jauh ke dalam hati, dan sekarang apa? kecewa. Hanya itu lah yang pantas aku rasa sekarang.' Gumam Arlita setelah memberhentikan mobilnya di sebuah jalan yang sepi dipinggir kota.     

Arlita keluar dari mobil dan berjalan menuju ke sebuah masjid besar yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Melangkah kan kaki perlahan dengan sedikit keraguan.     

Terlihat banyak orang yang keluar dari masjid, dan sesekali ada saja jamaah yang menganggukkan kepalanya ketika bertemu pandang dengan Arlita.     

Semakin lama jumlah orang yang keluar dari masjid semakin berkurang, Arlita masih setia berdiri dipelataran masjid, menggunakan setelan kemeja flanel dan celana panjang levis serta rambutnya yang sedikit pirang kontras dengan warna kulitnya yang putih, membuat mata yang menatapnya menjadi kagum sekaligus penasaran.     

Hingga seorang pria tua keluar dari masjid sambil menutup pintu masjid dan berjalan ke arah Arlita.     

"Maaf, mba mau sholat?" Tanya seorang bapak tua itu pada Arlita, dan Arlita mengeleng pelan, Sang Bapak tua itu mengerutkan dahi, kemudian tersenyum ramah.     

"Mau mampir ke rumah saya?" Tanya sang bapak itu lagi. Kemudian Arlita mengangguk pelan.     

Arlita mengikuti langkah bapak tua menuju ke rumahnya.     

Rumah sederhana dengan dinding yang terbuat dari kayu dengan hiasan warna-warni bunga yang bergelantung di teras.     

"Assalmualaikum, Bu." Sapa bapak tua pada istrinya.     

Terlihat sang istri yang menyambut bapak tua dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya, mencium tangan sang suami yang dibalas dengan kecupan pada dahi sang istri.     

Arlita menunduk, merasa iri? jelas. Sebagai seorang wanita dia juga ingin merasakan kebahagiaan dari cinta seorang lelaki. Apa lagi dibingkai dalam mahligai rumah tangga, bukankah itu sangat indah?     

"Ayo, silahkan duduk mba." Arlita terperanjat dari lamunan ketika terdengar suara dari bapak tua.     

Arlita mengangguk, kemudian duduk di kursi rotan yang ada di teras rumah.     

"Silahkan diminum, mba...." kata wanita istri sang bapak tua.     

"Saya Arlita, Bu."     

"Saya Ningsih, istrinya Pak Rahmat."     

"Oh, ya."     

"Mbak, Arlita kenapa tadi berdiri saja di depan masjid? kalau bukan ingin sholat?"     

"Saya," Arlita menunduk dan agak ragu untuk berkata.     

"Bicara saja, Nak. Tidak apa-apa, jangan dipendam." Ucap Pak Rahmat.     

"Benarkah jika Islam adalah muara dari semua ajaran yang pernah ada?"     

Pak Rahmat menarik nafas panjang.kemudian menjawab. "Islam itu adalah agama yang mengajarkan kepasrahan dan kepercayaan hanya pada satu Tuhan yaitu Allah dan mengikat hambanya pada Dia saja dan Nabi -Nya yaitu Muhammad. Yang mengajarkan hambanya untuk saling menyayangi dan mengasihi sesama tanpa memandang agama suku atau apapun itu."     

Arlita mengatupkan bibirnya rapat, tertunduk mencoba memahami apa yang di sampaikan Pak Rahmat baru saja.     

"Hidup saya selalu dilanda masalah berat, membuat saya kehilangan rasa percaya baik pada diriku sendiri dan juga agama yang aku anut, Kemudian aku mempelajari agama orang lain, berharap menemukan sebuah esensi apa itu Tuhan dan ajarannya, jika memang sebuah ajaran agama mampu membuat kita dekat pada Tuhannya itu artinya kita akan menemukan kedamaian dan ketentraman jiwa bukan? tapi saya tak kunjung mendapatkan itu." Ucap Arlita menunduk sambil memainkan tautan jarijemarinya.     

Pak Rahmat tersenyum, kemudian menyesap tehnya. "Silahkan diminum tehnya, Mba Arlita."     

"Terimakasih, Pak." Arlita mengambil secangkir teh yang tersaji diatas meja dihadapannya.     

"Segala sesuatu didunia ini, semua sudah tertulis di Lauhul mahfuzh, atau kitab induk milik Allah, jadi tidak ada kata kebetulan, karena semua sudah direncanakan oleh Allah, bahkan kedatanganmu ke daerah ini, hingga bertemu dengan saya, itu juga sudah rencana Allah."     

Arlita merenungi penjelasan dari pak Rahmat, diam dan tak bersuara, Kemudian Arlita memutuskan untuk segera pamit, karena waktu memang sudah sore, dan Arlita sudah terlampau jauh berkendara hingga hampir ke luar kota, butuh waktu satu jam untuk Arlita sampai di apartemennya.     

"Hati-hati di jalan, nak Arlita. Kemarilah jika kau ada waktu, pintu rumah bapak selalu terbuka untuk mu."     

"Terimakasih pak, kapan-kapan saya mampir kesini lagi." Ucap Arlita sopan, kemudian keluar dari teras pak Rahmat, berjalan menyusuri jalan setapak lalu kembali ke mobilnya, dan meluncur ke jalanan yang padat dan ramai.     

Arlita memarkirkan mobilnya di depan pagar sebuah rumah bergaya belanda kuno, Ya, Arlita tak langsung pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Arka sahabatnya. Arlita menekan bel di samping pagar, dan tak lama seorang laki-laki dengan mengenakan sarung dan peci membukakan pagar rumah tersebut.     

"Mbak Arlita kan ya?"     

"Iya, pak."     

"Mau ketemu sama Mas Arka?"     

Arlita mengangguk.     

"Silahkan masuk, mas Arka baru saja pulang mungkin sedang mandi. Silahkan duduk saya akan panggilkan mas Arka."     

Setelah meletakkan secangkir teh di meja ruang tamu untuk Arlita, Pak Lukaman pergi ke kamar Arka, dan mengetuk pintu kamar perlahan.     

"Permisi Mas Arka."     

Pintu kamar terbuka dari dalam, terlihat Arka yang sudah segar dengan lilitan handuk dipingangnya menandakan dia baru saja selesai mandi.     

"Ada apa Pak Lukman?"     

"Itu, diruang tamu ada mbak Arlita, mau ketemu Mas Arka."     

"Arlita?" Ucap Arka meyakinkan pendengarannya.     

"Iya Mas."     

"Ya sudah bentar lagi saya keluar, saya pakai baju dulu."     

"Baik mas." Setelah pak Lukman pergi, Arka buru mengambil kaos dan celana kolor miliknya, dia terburu-buru karena orang yang ia cemaskan kini berada di rumahnya.     

Arka sedikit berlari ke ruang tamu untuk segera menemui Arlita. hingga dia dapat melihat punggung rapuh sahabatnya sekaligus wanita yang ia cintai. Pelan ia melangkah mendekati Arlita kemudian duduk tak jauh darinya.     

"Arlita, kamu baik-baik saja?" Tanya Arka khawatir.     

"Aku baik-baik saja ka, malah sangat baik." Ucap Arlita tersenyum, yang justru membuat Arka bingung sekaligus khawatir.     

"Kamu yakin?"     

"Hm."     

"Lalu ada apa Arlita, apa yang membuatmu merasa lebih baik, karena aku lihat kamu tadi tampak emosi sekali."     

"Karena itu aku jadi menemukan sesuatu yang selama ini aku cari."     

"Apa?"     

"Tujuan hidup."     

"Jadi?"     

"Aku ingin masuk Islam." Ucap Arlita mantab     

Arlita duduk di kursi ruang tamu rumah Arka, dengan menunduk dan meremas kuat jari jemarinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.