aku, kamu, and sex

Mawar Berduri.



Mawar Berduri.

0Ronald memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah sekaligus toko bunga milik Rena. Lagi, Ronald membopong Rena masuk ke dalam rumah dan mendudukannya di atas kursi Rotan yang ada di dalam toko bunga.     
0

Rena memang tidak memiliki ruang tamu, karena sebagian ruangan depan ia sulap menjadi toko bunga. Ronald memperhatikan setiap detail bangunan yang sedang ia tempati, kemudian berjalan pelan ke arah bunga-bunga yang ada di toko milik Rena.     

Ketika itu ada dua orang datang untuk menemui Rena dan langsung masuk ke dalam toko tanpa permisi.     

"Rena, mana uang untuk pembayaran hutangmu? ini sudah waktunya membayar." Kata laki-laki bertubuh tinggi besar di depan Rena.     

"Aku belum ada uang, Om, nih lihat aku baru saja kecelakaan, dan bunga-bunga ku belum jadi aku antar, malah semua sudah rusak dijalan karena aku jatuh, bagaimana aku punya uang untuk membayar hutang?" Sahut Rena dengan nada santai seolah tak punya rasa takut sedikitpun.     

"Ah, tak usah alasan, saya ga mau tahu pokoknya sore nanti harus sudah ada uangnya."     

"Saya ga janji, om."     

"Ya sudah besok pagi, saya kesini lagi, awas kalau tidak ada uangnya, kamu sudah dua bulan ini belum setor."     

"Saya usahakan." Jawab Rena dengan tanpa takut.     

Dua pria bertubuh tegap sang penagih hutang itupun pergi dari toko bunga milik Rena, Ronald memandang dua orang itu yang sudah keluar dari toko kemudian berjalan mendekati Rena.     

"Siapa mereka?"     

"penagis hutang, Om?"     

"Kamu punya hutang?"     

Rena mengangguk, dan tersenyum ke arah Ronald, kemudian mengacak kepala Rena yang tertutup oleh topi yang Rena kenakan.     

"Kamu tidak haus?"     

"haus Om,"     

"Kamu punya minum, atau biar saya belikan."     

"Saya punya minum kok, om, di galon di dalam dapur, masuk saja om."     

Ronald tak menjawab dia langsung berjalan masuk kedalam rumah dan mencari dimana posisi dapurnya Rena, setelah tengak tengok kesana kemari, Ronald akhirnya menemukan letak dapur Rena, mencari gelas di dalam rak kemudian mengambilkan minum untuk Rena. Ronald kembali ke tempat dimana Rena duduk dan menyodorkan pada Rena.     

"Terimakasih, Om."     

"Hm."     

"Lalu bagaimana sekarang, dengan kaki bengkak seperti ini kamu tak mungkin bisa mengantarkan bunga."     

"Tak apa-apa Om, saya masih bisa berjualan di rumah dan meminta pelanggan untuk mengambil bunga nya kesini, kalau mereka tidak mau ya biarkan saja mereka beli ditoko lain, yang bisa mengantarkan bunga untuk mereka."     

"Berarti penghasilanmu akan turun, lalu bagaimana besok kamu mau bayar hutang."     

Rena berpikir sejenak, kemudian tersenyum dan menjawab pertanyaan Ronald. "Rejeki sudah ada yang mengatur, om."     

Ronald mendesah berat, kemudian melirik Rena dengan ekor matanya.     

"Lalu bagaimana kamu mau makan, minum sementara kakimu bengkak seperti ini."     

"Aku bisa kok, om. nanti bisa pegangan pintu atau bisa pakai tongkat yang dulu di pakai oleh ibu saya untuk membantu berjalan. Om, pulang saja, pasti keluarga om nunggu."     

Kembali Ronald mendesah nafas berat, sejujurnya dia kasihan dengan kondisi Rena, namun dia juga telah berjanji pada Ramond untuk menjemputnya dan membawanya ke rumah bertemu oma dan opa serta omnya.     

"Baiklah aku akan kemari lagi nanti setelah pekerjaanku selesai."     

"Ya om, terimakasih."     

Ronald meninggalkan toko bunga milik Rena, dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju apartemen yang ditempati oleh Arlita dan Ramond.     

Selama perjalanan pikiran Ronald tertuju pada satu sosok yang baru saja dia temui dan dia kenal, Rena. Seorang gadis kecil yang tangguh dan pemberani. Wajah yang manis dengan mata sayu berbulu lentik, penampilannya yang menyerupai anak laki-laki tak sedikitpun mengurangi kecantikannya sebagai seorang gadis.     

Ronald masih memikirkan gadis kecil bernama Rena, hidupnya yang hidup tanpa orang tua tak membuatnya mengeluh sedikitpun, bahkan dia tak ingin merepotkan orang lain untuk membantu kehidupannya.     

'Ya Allah selama ini aku terlalu banyak mengeluh dan menyalahkan takdir, bahkan aku tak pernah bersyukur atas segala nikmat yang Kau beri untukku.'     

'Diluar sana ternyata banyak yang lebih menderita dari pada aku.'     

'Astaghfirullahaladzim'     

Tak terasa mobil yang ia kendarai telah sampai tempat yang ia tuju. Ronald memarkirkan mobilnya di basement gedung apartemen, kemudian menuju lift yang tak jauh dari letak dimana mobilnya terparkir, menuju apartemen Arlita.     

TING NONG     

Ceklek     

Pintu apartemen terbuka, dan muncullah Ramond dengan wajah yang cemberut.     

"Assalamualaikum, sayang." Sapa Ronald dengan menunduk mensejajarkan tinggi badannya dengan tinggin badan Ramond.     

"Waalaikumsalam." Jawab Ramond dengan wajah sendu.     

"Kenapa cemberut, kan Daddy udah datang jemput Ramond."     

"Daddy terlambat."     

"Maaf sayang tadi ada sedikit masalah, jadi terpaksa daddy harus menunda menjemput Ramond."     

"Memangnya masalah apa sih, dad?"     

"Ramond, tak semua permasalahan yang sedang daddy hadapi itu harus Ramond ketahui, sayang." Lerai Arlita dari belakang Ramond.     

"Suatu saat kalau Ramond sudah dewasa, pasti Ramond tahu masalah apa yang Daddy hadapi."     

"Jadi harus nunggu Ramond besar dulu biar tahu apa pekerjaan dan masalah Daddy?"     

"Iya, tentu saja." Jawab Ronald.     

"Ya udah, kita berangkat sekarang?"     

"Oke Dad, mommy Ramond pergi ke rumah oma dulu ya,"     

"Ya, sayang ga boleh nakal disana ya." Ucap Arlita pada sang anak,     

Ramond mengangguk dan mencium tangan Arlita kemudian mendekati Ronald minta digendong.     

"Kami pergi dulu Arlita, Assalamualaikum."     

"Waalaikumsalam."     

Ronald mengendong Ramond di pungungnya, sedang didepan dadanya mengendong tas Ramond yang berisi mainan kesukaan Ramond.     

"Dad, apa tante Jelita dan Om Danil sudah berangkat ke luar negeri?"     

"Sudah sayang."     

"Oh, ga ketemu sama tante dan om lagi dong."     

"Nanti kalau mereka pulang, Ramond bisa bertemu lagi dengan mereka, atau bisa saja kita mengunjungi mereka saat Ramond libur sekolah nanti."     

"Benarkah? Daddy mau ajak Ramond ke tempat tante Jelita?"     

"Tentu saja."     

"Yeeee..."     

Saat sampai di lobby mereka tak sengaja bersengolan dengan laki-laki bule yang membuat Ronald terjatuh karena ulah sang bule yang tidak berhati-hati saat berjalan.     

"Maafkan saya, saya terburu-buru."     

"Oh, tidak masalah."     

"Makanya kalau jalan itu matanya ngeliatin jalanan, bukan ngiatin hp aja, untung aja daddyku kuat, aku jadi ga jatuh."     

"Ramond, yang sopan sayang, om ini ga sengaja, sayang."     

"Putra anda?"     

"Ya, saya Ronald."     

"Saya Mattius."     

"Oke, senang berkenalan dengan anda."     

"Apa lagi saya, saya baru pertama kali datang ke negara ini,"     

"Oh begitu, semoga anda betah berada di negara saya."     

"Terimakasih, maaf saya sedang di tunggu teman saya, saya permisi."     

"Silahkan."     

"Dad,,"     

"Ya."     

"Kayak lihat wajah orang itu dimana ya?"     

"Dimana memangnya? kan om tadi bilang katanya dia baru saja datang ke negara kita ini."     

"Tapi,....berhenti sebentar, Dad."     

Ronald mengernyit tak mengerti maksud dari Ramond yang menyuruhnya berhenti berjalan.     

"Dad lihat."     

"Apa?"     

"Om tadi wajahnya mirip Ramond."     

Ronald seketika menatap wajah Ramond dan mengingat wajah pria bule yang tak sengaja berpapasan dengannya.     

"Astagfirullah, Matt? Arlita."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.