aku, kamu, and sex

Kesedihan Matt



Kesedihan Matt

0Setelah Rey mendapat telpon dari Ronald dia segera berangkat ke rumah sakit bersama Humaira,     
0

"Om, kita akan ke rumah sakit lagi, memang siapa yang sakit?" Tanya Ramond pada Rey yang sedang menyetir.     

"Nanti kamu akan tahu." Jawab Rey pada anak kecil yang duduk di sampingnya, dan Humaira duduk di bangku belakang.     

"Om kok main rahasia-rahasiaan sih?"     

"Bukan maksud om begitu, nanti biar daddy mu saja yang menjawab, oke?" Jawab Rey sambil mengacak rambut Ramond yang sedikit pirang.     

"Apa Ramond sayang sama Dad?" Tanya Rey sambil melirik sekilas pada Ramond.     

"Sayang, sayang banget, Daddy selalu mendengarkan Ramond, dan selalu ada untuk Ramond."     

"Jika Ramond bertemu dengan Daddy kandung Ramond, apa Ramond masih sayang sama Daddy Ronald?"     

"Hm, kata Daddy tak aka nada yang mengantikan daddy kandung Ramond, tapi juga tak ada yang bisa mengantikan daddy Ronald. Kata Daddy, Ramond harus mempunyai hati yang luas agar dapat menampung semua orang yang sayang sama Ramond, dan Ramond juga sayang mereka."     

"Anak sholih." Ucap Rey, Humaira tersenyum dan hanya menjadi pendengar setia dari dua pria beda usia di depannya.     

Tak berapa lama mobil yang dikendarai Rey sudah sampai di halaman rumah sakit, walau sedikit kesulitan mencari tempat parkir, akhirnya Rey dapat memarkirkan mobilnya di basement dan langsung menuju lift yang tak jauh dari mereka menuju ke kamar rawat Matt.     

Rey melihat banyak polisi yang berjaga di depan kamar Matt, tubuh Ramond mendekat kea rah Rey, dan pegangan tangannya pada sang Om makin kuat, Rey menyadari hal itu, anak kecil di sampingnya ini sedang ketakutan. Rey segera mengendong Ramond dan mendekapnya erat.     

"Tidak ada apa-apa Ramond, polisi itu teman-teman mommy mu, jadi jangan takut ya?"     

"Benarkah om?"     

"hm."     

Setelah melewati pemeriksaan penjaga yang bertugas di depan kamar Matt, Rey dan Humaira segera masuk ke ruangan, Arka tanpa di minta langsung keluar dan menunggu di depan kamar rawat bersama Humaira, dan tak lama Rey pun ikut keluar setelah menyerahkan Ramond pada Ronald. Baru saja Rena mau keluar mengikuti Rey namun tangan Ronald mencekalnya, akhirmya Rena tetap berada di ruangan itu di samping Ronald yang sedang mengendong Ramond.     

"Ramond, apa Ramond ingin bertemu daddy kandung Ramond?" Tanya Ronald perlahan karena tak ingin Ramond bingung. Di lain pihak Rena akhirnya mengerti siapa anak yang digendong oleh Ronald dan siapa pria yang sedang terbaring lemah di atas ranjang.     

"Iya, Ramond ingin bertemu Daddy."     

Ronald tersenyum pada Ramond kemudian mengecup keningnya sekilas kemudian berucap. "Dia daddy Ramond." Ronald menunjuk kearah Matt yang sedang tersenyum pada Ramond.     

"Uncle Matt, Daddy Ramond?" Tanya Ramond seolah tak percaya, dan Ronald mengangguk.     

Arlita hanya diam tak mampu berkata apapun pada sang anak maupun pada Matt.     

"Benarkah Mommy?" Tanya Ramond.     

Perlahan Arlita bangkit dari duduknya dan mengangguk seraya tersenyum, "Iya Ramond, uncle Matt adalah ayah kandung Ramond."     

Matt terdiam namun air matanya menetes karena bahagia bisa melihat anak kandungnya, yang sedang menatapnya.     

"Ayo, temuilah Daddy Ramond."     

"No…" Ucap Ramond, dahi Ronald mengernyit.     

"No Daddy, tapi papa." Ronald langsung tersenyum mendengar ucapan sang anak angkat yang begitu sangat ia sayangi.     

"Papa.." Ucap Ramond dan segera turun dari gendongan Ronald.     

Betapa bahagia hati Matt mendengar ia dipanggil dengan sebutan papa. Kedua tangan Matt terulur ingin memeluk sang anak, dan Ramond paham akan hal itu.     

Ramond mendekat dan naik ke atas ranjang, kemudian memeluk papanya dengan erat.     

"Ramond kangen sama papa." Ucap Ramond dipelukan Matt.     

Berulang kali Matt mencium kening sang anak dan memeluknya erat tak memperdulikan sakit pada bahu dan pahanya.     

"Maafkan papa…maafkan papa sayang." Ucap Matt dalam bahasa negaranya.     

"Tidak perlu minta maaf papa, papa tidak salah, papa hanya terlalu sibuk, sampai tak pernah mengunjungi Ramond." Matt terharu ternyata Ramond mengerti akan apa yang ia katakana padanya.     

Matt melirik Arlita yang sedang tersenyum padanya dengan air mata yang menetes di kedua pipinya.     

"Papa jangan pergi lagi ya." Ucap Ramond pada Matt.     

"Papa harus menyelesaikan pekerjaan papa di Negara papa sana, tapi papa janji akan mengunjungi Ramond dan mommy sesering mungkin."     

"Kenapa papa ga ngajak Ramond dan Mommy?"     

"Karena mommy harus benerja disini sayang, nanti kalau mommy libur Ramond susul papa ya." Ucap Matt, sedang Arlita menunduk dan membekap mulutnya agar tangisnya tak terdengar oleh Ramond.     

"Ramond, papa harus diperiksa dokter, Ramond saya Daddy dulu nunggu diluar ya, biar mommy yang menemani papa ya." Ucap Ronald lembut, dan kemudian Ramond mengangguk, mengurai pelukannya dan langsung di gendong oleh Ronald yang mengandeng tangan Rena untuk di ajak keluar.     

Kini di ruangan itu hanya tersisa Matt dan Arlita, Matt menatap Arlita dengan tatapan lembut, kemudian mengengam tangannya.     

"Arlita, terimakasih karena kau telah membesarkan Ramond dengan baik."     

"Terimakasih kau tidak mengugurkan kandunganmu, walau tanpa aku disimu."     

"Arlita, jika hukumanku telah usai, bisakah kita kembali bersama?"     

Arlita menegakkan wajahnya menatap Matt, kemudian mengeleng pelan.     

"Kenapa? Karena Ronald?"     

Arlita kembali mengeleng.     

"Lalu kenapa Arlita?"     

"Karena kita berbeda Matt,"     

"Karena kau seorang muslim?atau karena kau seorang polisi?"     

Arlita mengangguk.     

"Aku akan melakukan apapun Arlita, asal kembali bersamamu, aku mencintaimu, sungguh Arlita, aku akan meninggalkan semua bisnis hitamku, dan aku bersedia mengikuti keyakinanmu asal kau kembali padaku."     

"Tak semudah itu, Matt. Agama bukan permainan yang dengan mudah kau rubah sesuai keinginanmu."     

"Aku tahu, seorang Arlita yang tak percaya akan Tuhan, dan kini berubah meyakini Tuhan sepenuh hatinya, itu artinya Tuhan berhasil mengambil hatimu, dan biarkan Tuhan mengambil hatiku, Tunjukkan bagaimana caranya, Arlita?"     

"Caranya disini." Arlita menunjuk dada Matt.     

"Arlita tolong berikan kesempatan padaku, untuk membuktikan ucapanku."     

Arlita mengeleng pelan.     

"Kita sudah berakhir, Matt."     

"Apa kau tak ingin Ramond hidup dengan papa dan mommy kandungnya?"     

Arlita menarik nafas panjang dan menatap Matt yang kini menatapnya penuh harap.     

"Kita akan bersama-sama membesarkan Ramond walau tak ada hubungan yang mengikat kita, Matt. Ada seseorang yang mencintaiku, dan rela terluka demi aku."     

"Ronald?" Tanya Matt.     

"Bukan, Ronald adalah seseorang yang menyelamatkan aku dan Ramond, dia tak lebih seorang kakak untukku, dan juga untuk dia aku hanya seorang adik."     

"Lalu siapa laki-laki itu?"     

"Suatu saat kau akan tahu, Matt. Aku harap kau juga bisa mendapatkan kebahagiaanmu, Matt. Walau tanpa aku."     

"Kebahagiaanku itu kamu__kamu Arlita."     

"Sudah lah Matt, aku mohon lepaskan aku."     

Entah sudah berapa banyak air mata tumpah dari keduanya, tapi mendengar Arlita meminta lepas dari hidupnya sungguh terasa menyakitkan untuk seorang Mattius Gordon. Tak dapat ia menahan air matanya untuk jatuh. Dan dengan memalingkan wajahnya Matt berucap, "Pergilah Arlita."     

Arlita menangis, kemudian mengangguk, menghapus airmatanya dengan kedua tangannya, kemudian keluar dari kamar Matt.     

Matt memejamkan matanya, sungguh separuh jiwanya terbang, tak perduli lagi tentang hidupnya, kini tanpa Arlita, Matt tak perduli lagi hukuman apa yang akan ia terima jika sudah sampai di negaranya nanti, Mungkin jika Arlita bersedia kembali padanya, maka dia akan melakukan segalanya agar bisa terhindar dari hukuman berat yang menantinya. namun kini ia tak perduli, bahkan jika ia dihukum matipun akan ia terima.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.