aku, kamu, and sex

Satu cinta



Satu cinta

0Arlita menatap pesawat yang membawa Matt pergi kenegaranya, beberapa hari mereka habiskan waktu bersama dengan putra semata wayang mereka walau itu hanya di sekitar rumah sakit dengan penjagaan yang ketat, cukup membuat mereka bahagia.     
0

Jujur saja dalam hati arlita bergelayut rasa bimbang yang luar biasa, namun ia berusaha untuk menguatkan hatinya untuk tidak lagi kembali bersama Matt, bukankah tak harus selalu bersama untuk meraih kata bahagia, jika dengan melepaskan membuat orang lain yang kita cintai bahagia maka itu lebih baik dari pada harus mengungkungnya dalam sebuah ikatan namun membuat hati orang yang kita sayangi mati rasa dan tak mampu merasakan kebahagiaan yang kita ciptakan bahkan jika itu untuknya. Itulah yang coba dilakukan oleh Matt dan Arlita, mencoba untuk saling melepaskan walau itu tak semudah mereka dalam mengucapkan.     

Arlita membalikan tubuhnya setelah sekian lama menatap pesawat yang Matt tumpangi bahkan sudah tak terlihat dari pandangan.     

Tatapan Arlita bertemu dengan tatapan lembut sekaligus terdapat luka yang coba untuk seseorang itu sembunyikan.     

Pria bertubuh tegap, berkulit coklat dan mempunyai wajah yang tampan dengan senyum lembut dan meneduhkan menghiasi ketampanannya. Arka. Laki-laki yang sedari dia mengenalnya laki-laki itu selalu memberikan perhatian dan cintanya walau kerap terluka karena dirinya, berdiri tegap dengan kedua tangannya masuk kedalam saku celana bahan yang ia gunakan.     

Arlita berjalan mendekat kemudian tersenyum manis di depan Arka, "Terimakasih sudah menungguku."     

"Hm." Jawab Arka singkat namun senyum it uterus terkembang untungnya.     

"Ayo kita pulang, besok masih ada tugas yang harus kita jalankan, dan itu tak kalah berat." Ucap Arka pada Arlita.     

"Tugas apa?" Tanya Arlita sambil berjalan berdampingan dengan Arka.     

"Richard Mahendra."     

"Oke, sepertinya aku harus membalas tembakan di perutku ini."     

"Jangan sampai kau membunuhnya, kita masih memerlukan ia untuk Danil."     

"Kau benar."     

Arlita terkekeh tanpa sadar ia mengengam jemari Arka yang berada disampingnya. Arka menoleh melihat wajah cantik disampingnya yang menatap lurus kedepan, kemudian ia melirik ke jemari mereka yang saling bertaut. Ada kehangatan yang tiba-tiba menyeruak di hati Arka.     

Apa mungkin Arlita telah membuka hati untuknya? Ah biarkan saja waktu mengalir apa adanya dengan berbalut doa yang akan mengiringi langkah mereka kedepan.     

Arka mempererat tautan jemari mereka, kemudian berjalan disamping Arlita dengan senyum yang terus mengembang, Arlita menoleh dan berganti menatap tautan jemarinya dan Arka.     

Hati yang mencoba mengingkari sebuah rasa yang tertanam dalam sanubari akan menjadi sebuah hal yang sia-sia karena ketulusan cinta bisa menelusup jauh meracuni hati membuat kata ingkar menyingkir dengan sendirinya.     

Arka membukakan pintu mobil untuk Arlita, kemudian ia sendiri lekas masuk kedalam mobil di depan kemudi, kemudian menjalankan mobilnya menuju apartemen Arlita.     

"Ke apartemenkan?" Tanya Arka pada arlita yang ada disampingnya.     

"Ya, Ramond bersama papa dan mama, dan melarang aku membawanya, mereka kesepian jika tak ada Ramond."     

"Mungkin Ronald terlalu sibuk, sedangkan Rey memang sedang ada misi kusus untuk membantu kita besok menemukan Richard."     

"Aku tak menyangka jika tim cyber handal kita ternyata adalah Rey dan Jelita."     

"Akupun tak pernah menduganya." Jawab Arka sambil terkekeh.     

"Berarti mereka selama ini mengikuti pergerakan kita."     

"Tentu saja."     

"Mereka benar-benar hebat, aku tak menyangka akan hal itu."     

"Kau juga hebat, bahkan kau bis amenahan Matt untuk bertemu dengan Ramond."     

Arlita tersenyum ternyata Arka mengetahui niat tersembunyi mengapa ia harus menembak Matt.     

Di Negara yang jauh disana ada sepasang suami istri yang sedang tersenyum bahagia karena penantian panjang mereka menuai hasil.     

"Jelita, apa aku sedang bermimpi?"     

"Akupun sedang memikirkan hal yang sama, apakah aku juga sedang bermimpi."     

PLAK     

Tepukan dibahu keduanya menyadarkan keduanya jika ternyata mereka memang sedang tidak bermimpi, ini nyata. Dokter yang ada dihadapan mereka sampai tersenyum geli karena sikap sepasang suami istri ini yang begitu menggemaskan.     

"Jadi bagaimana dokter? Berapa bulan usia kandungan putrid saya." Suara Tuan Handoko menginterupsi Jelita dan Danil yang terbengong dan masih tak percaya dengan apa yang mereka dengar.     

"Jadi beneran Jelita hamil? Dokter lagi ga sedang ngerjain saya kan?" Ucap Jelita memastikan.     

Dokter perempuan itu tersenyum, "Saya tidak bohong, anda memang sedang hamil, nyonya."     

"Mas Danil, kita akan punya anak___ayah__ayah akan punya cucu." Jerit Jelita saking bahagianya.     

Danil tak mampu berkata-kata hatinya penuh kebahagiaan saat ini, lagi-lagi Allah menunjukkan rasa cintanya pada mereka, dibalik penderitaan yang mereka alami, Allah memberikan kebahagian secara bersamaan. Bagaimana mereka tak mensyukuri jika Allah begitu menyayangi mereka, bahkan kesehatan Danil selalu terjaga selama mereka di negara tak pernah sekalipun kondisi Danil drop.     

Danil memeluk Jelita erat sang ayah pun memeluk kedua anaknya penuh haru dan bahagia, di usia rentanya dia mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah ia duga, membayangkan pun ia tak berani.     

"Aku bahagia…" Ucap Danil disela-sela pelukan mereka bertiga.     

"Ayahpun bahagia, berarti sebentar lagi ayah harus pensiun dari pekerjaan ayah."     

Danil dan Jelita mengurai pelukan mereka, dan menatap Tuan Handoko.     

"Kenapa ayah?"     

"Karena ayah hanya akan di rumah merawat cucu ayah, bersama papa dan mamamu, pasti mereka setuju dengan ide ayah."     

"Lalu yang mengurus bisnis ayah siapa?"     

"Makanya kamu harus sembuh Danil, supaya bisa membantu Ronald menjalankan bisnis ayah."     

"Dokter, jadi berapa bulan usia kandungan istri saya?" Tanya Danil pada dokter yang tak pernah luntur senyumnya karena melihat keharmonisan keluarga di depannya.     

"Sudah memasuki tujuh minggu, masih sangat rentan dan harus dijaga dengan hati-hati, jangan lupa minum vitamin yang saya berikan, kemudian jika ada keluhan langsung hubungi saya ya."     

"Baik dokter saya akan mengikuti saran dokter." Ucap Jelita.     

"Kami permisi dokter."     

"Silahkan."     

Jelita berjalan dengan di apit oleh dua laki-laki beda usia, di sebelah kirinya ada suaminya yang memeluknya erat, di sebelah kanannya ada sang ayah tempat dimana tangannya bergelayut dilengan tua sang ayah.     

Memang Tuan Hanodoko selalu mengikuti perkembangan kesehatan Danil, maka dia takkan absen untuk mengantarkan Danil ke rumah sakit entah itu untuk menjalani kemoterapi atau perawatan yang lainnya. Dia tak ingin Jelita menghadapi sendiri dan merasa sendiri menghadapi cobaan penyakit Danil.     

"Terimakasih ayah," Ucap Jelita disela-sela langkah mereka, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah, tangannya berganti mengengam erat jemari Danil.     

"Untuk apa, hm?" Tanya Tuan Handoko.     

"Karena ayah selalu ada untukku dan mas Danil, dan selalu mendoakan kami."     

"Itu kewajiban ayah, sayang."     

"Aku menyayangi ayah."     

"Ayah juga menyayangi mu, dan semua anak-anak ayah."     

"Berjanjilah ayah akan berubah untuk lebih terbuka pada anak-anak ayah, dan jangan pernah menyimpan kesedihan ayah sendiri."     

"Itu tak kan terjadi lagi sayang, ayah berjanji padamu."     

Mereka kembali ke rumah diiringi rintik salju yang indah, yang akan tersimpan sebagai memori yang takkan terlupakan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.