aku, kamu, and sex

Kesedihan Ronald



Kesedihan Ronald

0Menapak langkah di ujung senja.     
0

Meratap hati dipuncak rana.     

Terpekur pada sebuah nyata.     

Menyibak takdir yang sama menyakitkan.     

Adakah gerangan sebuah pesona.     

Yang menyuguhkan keanggunan pengobat lara.     

***     

Ronald menelungkupkan kepalanya diatas meja kerja, tak satupun berkas di dimejanya ia sentuh. Wajah putih bersih kini berubah menjadi merah padam, menandakan sebuah luka dan kesedihan yang teramat dalam.     

Tak satupun ia ingin orang lain tahu kesedihannya, ruang kerja ia kunci rapat bahkan Arya sang asistent tak berani menanyakan perihal itu pada bosnya. Dengan terpaksa ia mengkensel beberapa jadwal Ronald untuk meeting dengan beberapa klien, ataupun itu sangat penting lebih baik ia datang sendiri tanpa bosnya. Tak mengapa jika saat ini ia dianggap lancang, namun itu lebih baik dari pada melihat bosnya seperti mayat hidup ketika menghadiri meeting.     

Entah sudah berapa lama Ronald pada posisi yang sama, menelungkupkan wajahnya di atas meja. Dan entah sudah berapa banyak air mata yang mengalir melalui pipi mulusnya.     

'Cobaan apa lagi Ya Allah, ataukah ini hukumanku, karena selalu ingkar pada-Mu selama ini?'     

'Atau ini karma dari semua kejahatanku?'     

'Tolong aku ya Allah, jangan biarkan Jelita ikut menangungnya, biarkan aku saja ya Allah. Aku mohon.'     

Ronald terus bergumam sendiri, tak kan sanggup untuknya melihat Jelita hancur karena kesedihan jika mengetahui kenyataan tentang orang terkasihnya. Ronald menegakkan tubuhnya menyandarkan tubuh dan kepalanya pada kursi kebesaran, kemudian ia memutar kursinya menghadap jendela besar yang menyuguhkan pemandangan gedung-gedung bertingkat. Rasa sedih yang merajai hati nya saat ini teralihkan dengan dering ponsel dari dalam saku jasnya. Tertulis nama Ramond disana, dengan santai ia mengeser tombol berwarna hijau di layar ponselnya.     

Seketika suara kecil yang lucu mengalun indah di gendang telinganya, tak ada ucapa hallo atau salam yang terdengar hanya suara mungil yang sedang menghafal ayat-ayat pendek dalam Surah Al-Qur'an. Bibir Ronald melengkung ke atas, ternyata yang menelponnya adalah sang mama yang ingin Ronald mendengar bagaimana Ramond menghafal. Lalu telpon itu dimatikan sepihak oleh sang mama setelah Ramond menyelesaikan hafalannya.     

Sang mama seolah tahu jika saat ini Ronald sedang bersedih, dan obat manjurnya adalah suara Ramond yang lebih menenangkan adalah ayat-ayat yang terlantun dengan merdu, yang mampu meredamkan kegemuruhan hatinya saat ini. Sedetik kemudian Ronald mengirim pesan pada sang mama.     

[ I love you, Ma], yang langsung mendapat balasan dari sang mama [ love you too, my son].     

Ronald seolah mempunyai nyawa cadangan, ia memutar kursi kerjanya dan kembali menghadap meja kerjanya. Bangkit dari duduknya menuju kamar mandi yang ada di dalam ruangannya, kemudian menyalakan kran untuk mengambil wudhu.     

Ronald mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan dan kembali ke meja kerjanya hanya dengan beralaskan sandal jepit. Kemudian mulai membuka lembaran berkas yang sudah menumpuk minta untuk di senyuh.     

Telpon di mejanya berbunyi, meletakkan gagang telpon di tangan kiri sedang tangan kanannya membuka file di hadapannya.     

"Ya masuklah." Ucap Ronald melalui sambungan telpon. Meletakkan gagang telpon pada tempatnya, lalu menekan remot pembuka kunci pintu ruangannya. Masuklah laki-laki tinggi tegap dan duduk di hadapan Ronald.     

"Maaf pak bos, saya menghadiri meeting tanpa member tahu pada anda." Ucap Arya dengan menunduk.     

"Tak apa, aku percaya padamu, lalu bagaimana hasilnya?"     

"Mereka menyetujui kerjasama yang kita ajukan, penanda tanganan kontrak akan di laksanakan satu minggu lagi."     

"Baiklah, suruh Sinta untuk menyiapkan berkas-berkasnya dan jangan sampai ada kesalahan." Ucap Ramond yang masih menatap pada berkas di hadapannya.     

"Maaf bos, pabrik senjata kita yang ada diluar negeri mendadak mendapat pesanan senjata yang cukup banyak? Apa kita akan menyetujui pesanan itu atau tidak?"     

Ronald menatap Arya tajam, membuat Arya langsung menelan ludahnya kasar.     

"Selidiki siapa pemesannya, kalau mencurigakan mending tidak usah."     

"Baik bos." Ucap Arya sambil bangkit berdiri, namun tiba-tiba suara Ronald menginterupsinya.     

"Arya, berhati-hatilah, dan pastikan pindahkan keluargamu dari kota ini, tempatkan mereka di tempat yang aman, saya akan menangung biaya hidup keluargamu."     

"Tidak perlu bos, uang dari anda setiap bulan sudah sangat cukup untuk membiayai keluarga saya."     

"Jangan menolak, aku tidak suka. Aku akan merasa bersalah jika sampai terjadi apa-apa dengan keluargamu."     

"Bos, karena bos kami bisa hidup hingga kini, jika kami harus mati sekarang pun, itu sudah takdir dan jangan pernah bos menyalahkan diri anda jika terjadi apa-apa dengan saya atau keluarga saya."     

Ronald menarik nafas panjang dan bersandar dikursinya.     

"Arya, Terimakasih kau selalu setia padaku."     

"Saya yang harus berterimakasih pada anda, bos." Arya membalik tubuhnya dan pergi dari ruangan bosnya.     

'Hingga saya mati, saya akan mengabdikan hidup saya pada anda bos.' Batin Arya seraya menutup ruangan bosnya.     

Ronald menatap pungung tegap Arya, seseorang yang ia selamatkan saat terjadi pertempuran antar geng di Negara R. Hingga akhirnya Arya dan keluarganya mengikuti Ronald pindah di Negara ini. Nama Arya pun sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh Ronald sebagai identitas baru bagi sang asistent.     

Kembali ponselnya bordering, kini nama Danil yang tertera disana, berpikir sejenak kemudian memutuskan untuk menerima panggilan itu.     

"Hallo Danil."     

"Ronald."     

"Ya."     

"Kamu sudah memikirkannya kan? Berjanjilah kau akan selalu menjaga Jelita untukku, jika aku mati maka kau juga harus berjanji, kalau kau akan menikahinya."     

Ronald menarik nafas berat, matanya yang tajam menatap langit-langit kantornya yang bernuansa putih.     

"Baiklah tapi ada syaratnya."     

"Apa?"     

"Kau harus jujur pada Jelita tentang kondisimu, dan lakukan pengobatan di luar negeri, jika semua usaha telah kau lakukan namun takdir harus membawamu maka aku akan menepati janjiku, namun jika tidak kau lakukan syaratku, maka aku tak akan melakukannya."     

Terdengar jelas ditelingga Ronald suara Danil yang mendesahkan nafas berat seolah sedang menimbang apa yang ia katakan dengan rumit.     

"Kalau kau tak mau jujur pada Jelita, atau biar aku yang mengatakan padanya?" ancam Ronald.     

"Jangan!! Jangan Ronald, oke aku akan mengatakan pada Jelita."     

"Bagus. Dan jangan berpikir untuk mati, atau lebih baik aku yang membunuhmu saja jika kau masih berpikir tentang mati."     

Disebrang telpon Danil terkekeh. "Apa kini kau menyadari bahwa kau sebenarnya mencintai Jelita?"     

"Brengsek kau Danil." Ucap Ronald emosi.     

"Terimakasih Ronald hal yang tak kan pernah aku sesali adalah bahwa aku telah mengenalmu."     

Kembali air mata tak bisa Ronald cegah, serapuh inikah Ronald? Jawabannya adalah ya. Dan hanya Danillah yang mengerti akan hal itu.     

"Dan aku menyesal telah mengenalmu Danil." Lalu Ronald mematikan panggilan itu sepihak.     

"Penyakit sialan. Kenapa kau harus mengerogoti Danil? Kenapa tidak aku saja. Kenapa?" Ronald memijat keningnya yang berdenyut.     

'Apa yang kau katakana benar Danil, aku jatuh cinta, jatuh cinta pada istrimu. Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini?'     

'Akal sehat ku berhenti kala menatap mata indah istrimu yang bahkan dia adalah adik angkatku.'     

'Ya Allah . . . aku akui bahwa aku mencintai istri sahabatku. Simpanlah rahasiaku ini hanya antar aku dan Engkau ya Allah.'     

Ronald masih terus bergumam seolah itu adalah cara ia untuk melepaskan keresahan di hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.