Menikah dengan Mantan

Bab 62



Bab 62

0Yey yey yey... double up guys...     
0

Sekuy lah merapat. JANGAN LUPA IKUTAN CHALLENGE YA GUYS... CARA"NYA DAN JUGA INFO HADIAH BISA DI CEK LANGSUNG DI BAB 48-50. JADI, AYO BURUAN IKUTAN GUYS.....     

HAPPY READING...     

Malam ini Kenan tidur di sofa bersama Qia. Kenan sudah menyuruh Qia untuk membangunkan Raka tetapi Qia merasa tidak enak jika harus membangunkan Raka. Lagi pula jika orang yang tidur tiba-tiba di bangunkan ia akan sakit kepala. Jadilah saat ini Qia tidur di single sofa. Namun, walau itu single sofa, bagian sandaran sofanya bisa di turunkan hingga lurus dan Qia bisa tidur dengan lurus seperti tidur di atas tempat tidur.     

Kenan pun mengambilkan selimut yang ada di laci meja sofa dan memberikannya pada Qia. Qia pun mulai memejamkan matanya dan meninggalkan Kenan yang masih menonton televisi. Di rasa Qia sudah tertidur, Kenan mematikan televisinya kemudian ia menatap wajah lelap Qia.     

Wajah yang begitu tenang dan damai seperti tidak ada masalah. Cukup lama Kenan menatap Qia hingga ia lama-lama mengantuk. Kenan membenarkan posisi tidurnya dan mulai memejamkan matanya menyusul Qia yang sudah tidur terlebih dahulu.     

Jika di luar Kenan dan Qia sudah tertidur, berbeda denga Raka yang masih terjaga. Ia sedang memeluk guling dengan air mata yang sudah mengering pipinya. Dari ia masuk kamar, ia sudah menangis saja. Ia merasakan kesepian yang mendalam. Seperti semua yang ia lakukan itu tidak ada artinya sama sekali.     

Ia menyerahkan seluruhnya pada Kenan, menjatuhkan harga dirinya sebagi pria normal hanya untuk Kenan. Tetapi, semua itu tidak berarti apa-apa sekarang. "Kenap harus seperti ini?" tanya Raka entah pada siapa.     

"Aku sudah membuang jauh harga diriku, tetapi kenapa semuanya menjadi seperti ini?" tanya Raka lagi entah pada siapa.     

"Apa aku ini tidak pantas untuk bahagia ataupun tidak pantas untuk di cintai?" tanyanya dengan air mata yang membasahi wajahnya.     

Rasanya dada Raka begitu menyesakkan, sakit sakali ternyata putus cinta. Pada akhirnya keputusan Kenan pun sudah bulat, bahwa dirinya dan Raka hanya berhubungan sebagai teman ataupun karyawan. Raka sudah meminta agar tetap menjalin hubungan sepasang kekasih padahal dia juga mengizinkan Kenan untuk menikah dengan seorang wanita.     

Namun, Kenan menolakknya karena kakeknya itu memiliki mata seribu yang artinya banyak orang-orang suruhan kakek untuk memantaunya. Raka akhirnya hanya bisa menerima keputusan Kenan untuk mengakhiri kisah mereka. Malam itu akan menjadi malam terburuk Raka yang harus mengalami sakit hati. Sebisa mungkin ia menguatkan hatinya walau itu sangat sulit.     

Semalaman Raka masih menangis. Walau ia berusaha untuk menghentikan tangisannya, tetap saja hatinya yang terasa sakit membuatnya sulit menghentikan tangisannya.     

Pagi pun tiba, rutinitas Qia tetaplah sama. Memasak, mencuci pakaiannya dan membersihkan appartement jika ia tidak terlambat. Selesai dengan rutinitas paginya Qia pun bergegas berangkat bekerja. Ia keluar appartement sekitar pukul enam lebih sepuluh menit. Ketika sampai di lobby, Qia terkejut melihat Janu yang ada di depan lobby. "Mas Janu?" tanya Qia sambil berjalan menghampiri Janu.     

"Pagi Qia," sapa Janu seraya tersenyum menatap Qia.     

"Pagi," jawab Qia singkat.     

"Mas Janu kok, ada di sini?" tanya Qia heran.     

"Tadi ada perlu di sekitar sini, jadi aku mampir aja ke sini untuk berangkat kerja bareng sama kamu," jawab Janu seraya tersenyum. " Udah yuk, berangkat," ajak Janu masih tersenyum manis menatap Qia sambil mengulurkan helem pada Qia.     

Qia yang merasa tidak enak akhirnya menerima helemnya kemudian naik ke atas motor. Beberapa pertanyaan terlontar dari bibir Janu sedangkan Qia menjawab dengan malas. Pertanyaan yang di tanyakan tidak begitu penting seperti udah makan, sarapan pakai apa, selama ini tinggal dimana dan ya semua pertanyaan itu seperti tidak berfaedah sama sekali menurut Qia.     

Sampai di kantor, Qia mengucapkan terimakasih kemudian ia pun segera berjalan masuk ke kantor. Semua berjalan mulus hari ini tetapi ketika setengah jam lagi akan istirahat ia di panggil Flora ke ruangannya. "Ada apa sih, kebon rumput satu itu?" tanya Qia menggerutu kesal seraya membawakan kopi pesanan Flora ketika ia berada di dalam lift.     

Qia meletakkan kopinya di atas meja kerja Flora. Flora masih diam tidak berkata apa-apa, tetapi ketika ia berpamitan pergi Flora memanggilnya. "Mau apa lagi sih kebon rumput, tuh?" tanya Qia kesal dalam hati.     

"Jauhi Janu!" tegasnya menatap Qia.     

"Memangnya kenapa bu? Bukankah kemarin ibu bilang suruh cari orang sederajat?" tanya Qia pura-pura tidak mengerti. "Wah, sepertinya akan seru. Lihat saja jika kamu macam-macam, aku akan membuat hatimu semakin terpanggang," ucap Qia dalam hati seraya menahan senyumannya yang akan mengembang di bibirnya.     

"Kamu enggak perlu tahu alasannya, yang saya mau kamu jauhi Janu!" tegas Flora.     

"Maaf bu, tetapi itu tergantung mas Janu. Jika mas—"     

"Saya bilang jangan dekati Janu! Jangan membantah!" marah Flora. Qia sedikit berjenggit kaget ketika Flora meninggikan suaranya.     

"Saya enggak bisa janji, saya hanya akan berusaha untuk menghindari mas Janu," jawab Qia mantab.     

"Saya pegang katak-kata kamu. Jika kamu melanggar, siap-siap saja kamu akan kehilangan pekerjaanmu!" tegas Flora.     

"Iya, bu," jawab Qia singkat.     

"Sudah sana, kembalilah bekerja!" usir Flora tanpa menatap Qia. Qia pun kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan Flora.     

Ketika istirahat, Qia hanya memasak dua mie rebus yag di campur dengan dua butir telur dan ia beri potongan cabai rawit. Ah, hari ini semua benar-benar berjalan dengan baik. Ketika sore dan waktunya ia pulang. Lagi-lagi ia bertemu dengan Janu membuatnya bingung sendiri. Entahlah, kenapa ia malah menjadi bingung padahal ia tinggal menolak saja permintaan Janu.     

Belum juga Qia menjawab pertanyaan Janu, kali ini Kenan sudah menarik pergelangan tangan Qia. "Pak Kenan, saya mau di bawa kemana pak?" tanya Qia dengan wajah terkejutnya.     

Janu yang niatnya akan menolong akhirnya hanya mampu terdiam karena ia tahu pria yang namanya baru di sebutkan Qia adalah bos tempatnya bekerja. Kenan mendorong masuk Qia untuk duduk di samping kemudi. Kenan memasangkang seatbelt kemudian ia menatap wajah Qia. "Duduk diam di sini!" peringat Kenan tegas.     

Qia kesal bukan main tetapi akhirnya ia pun menuruti apa yang di katakana Kenan. Kenan pun masuk ke dalam mobil kemudian ia menghidupkan mesin dan melajukan mobilnya meninggalkan area kantor.     

Qia sudah memegangi seatbelt seraya menundukkan kepalanya. Kenan mengambil satu tangan Qia dengan susah payah karena Qia menolaknya. Kenan mengusa-usap punggung tangan Qia kemudian mencium punggung tangan Qia.     

"Enggak akan terjadi apa-apa, ada aku di sini," ucap Kenan begitu lembut dan ia menoleh ke arah Qia walau hanya sebentar.     

Tangan Qia sudah terasa sangat dingin, Kenan pun melepaskan pegangannya di tangan Qia kemudian menarik bahu Qia agar mendekat padanya. "Ada aku disini, Ta. Tenang ya," ucap Kenan dengan suara lembutnya.     

Tangan Kenan menepuk-nepuk lengan Qia supaya Qia lebih tenang. "Peluk aku, jika kamu masih takut. Aku akan ada untuk kamu di saat kamu takut," ucap Kenan yang kata-katanya sungguh berantakan. Ia tidak pandai merangkai kata-kata manis apalagi ini untuk seorang wanita.     

Kenan bukan orang yang mudah mengumbar perasaannya dengan sebuah kata-kata. Ia lebih banyak diam tetapi sebenarnya ia memperhatikan pasangannya. Terbukti dengan Kenan yang mengetahui tentang Qia. Apa saja yang di butuhkan Qia pada saat ia sedang menangis, ketakutan dan segala sesuatunya tentang Qia.     

Berbeda dengan Raka yang mudah untuk mengatakan aku cinta kamu. Aku menginginkan kamu dan segala halnya. Raka itu orang yang blak-blakan jadi wajar saja ia mudah untuk mengatakan hal-hal sederhana seperti itu.     

Perlahan tetapi pasti, Qia merangkul pinggang Kenan dan menyandarkan tubuh serta kepalanya lebih nyaman lagi di pelukan Kenan. Lama kelamaan Qia pun akhirnya tertidur dalam pelukan Kenan.     

Tidak ada pembicaraan lagi karena Qia sendiri malah tertidur. Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih empat puluh lima menit Kenan menghetikan laju mobilnya dan kini ia sudah berhenti di depan rumah yang ia tempati sedari kecil. Rumah itu adalah rumah kakeknya. Hari ini ia berniat mengenalkan Qia secara langsung pada Kakeknya. Terlepas dari Qia yang menolak dirinya, Ia tidak peduli sama sekali jika nantinya Qia mungkin saja akan marah padanya.     

Kenan hanya duduk diam menunggu Qia terbangun dari tidurnya. Kaca mobilnya di ketuk dari luar oleh satpam membuat Kenan menjadi kesal. Qia pun akhirnya terbangun dari tidur nyenyaknya sedangkan Kenan sudah membuka kaca mobilnya dan menatap kesal si satpam.     

"Ada apa, ya, pak?" tanya Kenan pada satpam.     

"Ah, maaf pak, Saya pikir tadi bapak membutuhkan bantuan untuk memarkikan mobil," jawab satpam itu seraya menundukkan kepalanya.     

"Sudah sana, pergilah!" usir Kenan.     

Pak satpam pun menganggukkan kepalanya dan ia pun berpamitan undur diri. Qia kini menataap bangunan di depannya. "Ini di mana, Kak?" tanya Qia dengan mataya yang terus menatap rumah di depannya ini.     

"Ayo turun!"ajak Kenan kemudian ia pun turun dari mobil. Qia pun ikut turun dari mobil dan menghampiri Kenan.     

Kenan berjalan terlebih dahulu untuk masuk ke rumah sedangkan Qia berjalan di belakang Kenan. "Kek!" panggil Kenan ketika ia sudah berdiri di ruang keluarga.     

Kakek menolehkan kepalanya menatap siapa yang baru saja datang. "Kenan," ucap Kakek.     

"Iya, Kek," jawab Kenan seraya tersenyum. "Aku bawa Qia Kek," ucap Kenan kemudian menarik lengan Qia agar Qia maju ke depan.     

"Selamat sore kek," sapa Qia seraya tersenyum kikuk.     

"Sore" jawab Kakek singkat.     

"Aku mau bersih-bersih badan, kamu mengobrol dulu saja dengan kakek," ucap Kenan kemudian mengusap puncak kepala Qia sebelum ia pergi dari sana.     

"Apa kabar kek?" tanya Qia seraya tersenyum canggung.     

"Baik, kamu sendiri?" tanya Kakek seraya tersenyum.     

"Baik, Kek," jawab Qia singkat. Kini ruang keluarga hanya diisi dengan suara televisi yang sedang di hidupkan. Baik Qia maupun kakek sama-sama tidak tahu harus berbuat apa lagi. Akhirnya meraka hanya diam saja.     

Raka yang sedang ke luara kota karena mengurus pekerjaan membuat Kenan bisa mengajak Qia pergi ke rumahnya. Jika ada Raka ia harus berusaha untuk menutupi sikapnya pada Qia. Ia seolah-olah tidak peduli dengan Qia. Padahal ia peduli dengan Qia.     

TBC...     

Yey... banyakin LOVE, Koment dan POWER STONENYA YA GUYS...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.