Menikah dengan Mantan

Bab 79



Bab 79

0Ye ye ye ye... la la la... up again. ada yy kanegn kah? hehehhe....     
0

"Ah, bagaiman jika Tata tidur di kamarku saja. Nanti aku bisa tidur di kamar anak-anak," ucap Janu memecah keadaan yang saat ini terlihat menengang.     

Qia menolehkan kepalanya menatap Janu, apa Janu tidak ada inisiatif untuk mengantarnya pulang? Qia menatap kesal Janu karena tidak ada inisiatif sama sekali. Ia malah membuatnya harus tinggal di panti yang menyesakkan ini. Bukan masalah kamar yang di permasalahkan Qia, tetapi kenangan buruk di panti ini.     

"Ah, benar. Kamu bisa tinggal di kamar Janu nak Tata," ucap Bu Suri seraya tersenyum canggung menatap Qia.     

Qia menolehkan kepalanya dan menatap tidak suka ke arah Bu Suri. Ah, apa Janu dan Ibu Suri sengaja membuatnya tinggal di sini? Ia benar-benar kesal saat ini. Rasa sungkannya pada Janu untuk mengantarnya pulang dan merasa tidak enak juga mengeluarkan handphonenya pun membuatnya kini hanya bisa mengumpat kesal. Kenapa di saat seperti ini dia malah merasa tidak enak pada orang-orang disini.     

"Bu," panggil seorang anak laki-laki yang usianya sekitar sepuluh tahun mengalihkan pandangan Qia dan juga orang dewasa di ruang tamu ini.     

"Ada apa Fajar?"     

"Luna menangis bu karena buku gambarnya di robek oleh Fatur dan Fatih," ucapnya menatap bu Suri.     

"Haduh, ada-ada saja mereka" ucap Ibu panti sambil memijat pangkal hidungnya.     

"Biar Ayu yang urus bu," ucap Ayu yang masih menundukkan kepalanya.     

"Hum," jawab bu Suri yang hanya bergumam saja.     

Ayu pun segera bangun dari duduknya dan berjalan ke arah dimana anak-anak sedang berkumpul. Qia menghembuskan napasnya secara kasar membuat Janu dan ibu Suri kini menoleh ke arahnya. "Maaf, jika tadi tindakan saya membuat kalian terkejut. Sepertinya emosi saya sedang tidak stabil," ucap Qia menatap Janu dan ibu Suri bergantian.     

"Tidak apa-apa, nak," jawab Ibu Suri seraya tersenyum menatap Qia.     

Qia kemudian berdiri dari duduknya, membuat Janu ikut berdiri dan Ibu suri hanya mendongak menatap Qia yang sudah berdiri. "Saya harus pulang ke rumah," ucap Qia.     

"Ini malam minggu, apa kamu tetap bekerja? Kenapa tidak menginap saja di sini, besok akan aku antar," ucap Janu dengan rentetan pertanyaannya. Ia tidak rela jika Qia pulang ke rumahnya, ia masih ingin melihat Qia di panti. Jika Qia pulang ia tidak bisa melihat wajah Qia.     

Qia tersenyum, "Walau malam minggu pekerjaan sebagai pembantu tetap saja Mas. Lagipula pekerjaan ku ringan, jadi tidak ada masalah walau malam minggu tetap bekerja."     

Janu tersenyum paksa mendengar perkataan Qia. "Kalau begitu biar aku antar kamu pulang," ucap Janu.     

"Enggak perlu, mas. Aku bisa naik taksi," jawab Qia seraya tersenyum.     

"Iya, nak Tata. Biar Janu mengantar mu pulang. Lagi pula jam segini sudah sulit mencarai taksi," ucap Bu Suri yang kini sudah berdiri.     

"Enggak—"     

"Udah, aku ambil jaket dan kunci motor dulu. Kamu tunggu di sini," potong Janu kemudian ia segera pergi ke kamarnya untuk mengambil kunci motornya dan juga Jaket.     

Qia hanya bisa mengumpat dalam hatinya karena seenaknya saja Janu memutuskannya. Janu pun kini sudah kembali ke ruang tamu. "Ayo, Ta," ajak Janu pada Qia.     

"Bu, Janu berangkat antar Tata pulang dulu, ya," pamit Janu kemudian mencium punggung tangan Bu Suri.     

"Iya, kamu hati-hati bawa motornya. Apalagi ini udah malam," ucap Bu Suri mewanti-wanti.     

"Baik, bu," jawab Janu seraya tersenyum.     

"Bu, Qia pamit pulang dulu. Terimakasih atas makan malamnya," ucap Qia kemdian ia mencium punggung tangan Bu Suri.     

"Iya, nak. Kamu hati-hati, ya," ucap Bu Suri.     

"Iya, bu," jawab Qia seraya tersenyum.     

Qia dan Dan Janu pun keluar panti dan Bu Suri saat ini sedang berdiri di ambang pintu untuk melihat Janu dan Qia berangkat. Janu mengklakson motornya sebelum ia melajukan motornya untuk meninggalkan area panti. Motor pun sudah ke luar dari gerbang panti. Suasana sepi itu segera menyapa Qia dan Janu karena area masuk ke panti ini adalah gang yang tidak ramai. Qia memejamkan matanya karena pencahayaan yang minim itu membuat dirinya menjadi takut. Bahkan dirinya mencengkaram kuat sisi kanan dan kiri jaket yang di gunakan Janu.     

Oh, iya Janu pun tadi memberikan hoodienya agar Qia tidak kedinginan di motor. Sudah pukul setengah sepuluh malam tentu saja hawa dingin akan terasa jika ada di atas motor. Selama perjalanan, tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua. Qia hanya berpegangsn pada jaket Janu dan ia pun memberi jarak dengan duduk di ujung motor. Kakinya pun menahan tubuhnya agar tubuhnya tidak turun hingga bersentuhan dengan tubuh Janu. Rasanya kakinya sudah sangat pegal karena terus menahan tubunya apalagi Janu sering mengerem mendadak membuat kakinya harus lebih kokoh agar tubuhnya tidak turun.     

Tahu sendiri kan, bagaimana bentuk motor laki-laki yang menukik ke bawah hingga jika mereka mengerem terlalu kuat duduk kita akan bergeser hingga tubuh kita membentur tubuh orang yang sedang membawa motornya. Sekita satu jam lamanya akhirnya mereka pun sampai di depan lobby appartement Raka.     

Qia pun segera turun dari motor kemudian memberika helemnya pada Janu. "Makasih, mas. Udah nganterin aku pulang," ucap Qia seraya tersenyum.     

"Iya, sama-sama, Ta," jawab Janu seraya tersenyum.     

"Ya udah ya, mas. Aku masuk duluan. Bye" ucap Qia kemudian ia membalikkan tubuhnya dan dengan cepat segera melangkah masuk tanpa mendengar jawaban dari Janu.     

Janu pun hanya menghembuskan napasya ketika punggung Qia sudah menjauh dan menghilang setelah ia berbelok ke sebelah kiri. "Hah, sepertinya akan sulit untuk membuatnya menyukaiku. Ia saja lebih memilih pulang ke appartement di bandingkan menginap di panti," ucap Janu kemudian mendongakkan kepalanya menatap appartement di hadapannya ini. Janu kemudian menghidupkan motornya dan segera melajukan motornya meninggalkan area appartement dengan perasaan sedihnya.     

Qia kini sudah masuk ke dalam appartement Raka yang begitu gelap. "Sepertinya bang Raka belum pulang," ucap Qia seraya meletakkan sepatunya di atas rak sepatu.     

Ia berjalan masuk dan benar saja ia tidak mendapati Raka sama sekali. Kemudian ia pun dengan perlahan membuka kamar tidur dan kamar tidur itu pun gelap yang menandakan tidak ada orang di dalam kamar itu. Qia berjalan ke arah nakas yang ada di samping tempat tidur kemudian meletakkan tasnya di atas nakas. Ia mendudukkan dirinya di pinggiran tempat tidur dan dengan berat menghembuskan napasnya. Ia melepaskan ikat rambutnya dan menyungar rambutnya.     

"Hah…" Qia menghembuskan napasnya dengan berat seraya mendongakkan kepalanya.     

Ia kemudian menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur dan memejamkan matanya. Lagi-lagi hembusana napas berat itu terdengar. Rasanya kepalanya sekarang di penuhi dengan hal-hal yang membuat dirinya menghembuskan napas dengan berat.     

Qia membuka matanya dan menatap langit-langit kamarnya. "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya entah pada siapa. Perkataan El kini memenuhi isi kepalanya, semakin di pikirkan hebusan napasnya semakin berat. Ia memang ingin bahagia, tetapi rasanya begitu berat untuk mendapatkan kebahagiaan itu.     

Bagaimana caranya ia mendapatkan kebahagiaan jika sumber kebahagiaannya saja sudah tidak ada di dunia ini.     

TBC...     

Cus lah banyakin koment, Power Stone dan hadiahnya ya guys... hehhehe     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.