Menikah dengan Mantan

Bab 49



Bab 49

0Uhuy, up again di waktu yang gak jauh". wkwkkw...     
0

Happy Reading.... Sebelum baca Koment dulu yuk gimana part sebelumnya. duduududu...     

Qia terdiam cukup lama, hati dan logikanya tidak berjalan beriringan. Hatinya berteriak untuk menerima Kenan, tetapi logikanya menolak kembali bersama Kenan. Wajah Kenan terlihat begitu melas, baru kali ini ia melihat wajah Kenan yang memelas. Selama ia menjalin kasih dan mengenal Kenan, baru kali ini ia melihat wajah memelas Kenan.     

"Aku enggak bisa menerima ajakan kakak menikah, tetapi aku bisa menjadi teman kakak. Apa yang kakak perlukan aku akan selalu ada untuk kakak!" putus Qia pada akhirnya.     

Jalan tengan antara hati dan logikannya adalah menjadi teman atau sahabat untuk Kenan, setidaknya ia bisa dekat dengan Kenan untuk mengikuti kata hatinya. Dan hubungan pertemanan bisa masuk ke logikanya, setidaknya ia tidak akan menjadi orang bodoh karena kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasih.     

"Aku enggak mau, aku maunya kita—"     

"Berteman atau enggak sama sekali dan aku akan resign dari kantor ini!" tegas Qia seraya menatap tegas Kenan.     

Kenan terdiam dengan sikap Qia yang begitu tegas. Sosok wanita yang dulu selalu ia inginkan dari Qia. Wanita tegas yang tidak mudah untuk di tindas. Wanita yang tidak pernah menangis walau sesakit apapun hatinya. Ternyata benar, Qia yang cerialah yang sebenarnya ia butuhkan. Bukan sosok wanita di hadapannya ini. Kenan menghembuskan napasanya sebelum ia menjawab. "Baiklah, teman," ucap Kenan sambil mengulurkan tangannya.     

Qia menatap uluran tangan Kenan, Kenan pun yang merasa lelah karena Qia hanya diam tidak menerima uluran tangannya menarik tangan Qia agar mau bersalaman dengannya. "Teman," ulang Kenan menatap Qia.     

"Teman," ucap Qia yang juga menatap Kenan.     

Qia pun segera melepaskan pegangan tangannya dengan Kenan dan mereka berdua pun menjadi salah tingkah. "Ah, aku harus kembali bekerja," ucap Kenan dan Qia bersamaan untuk menghilangkan kecanggungan yang tiba-tiba saja terjadi. Mereka saling tatap dan tidak lama mereka berdua tertawa bersama.     

"Bisa bareng gitu ya?" tanya Qia yang sudah meredahkan tawanya.     

"Hum, jodoh," jawab Kenan membuat Qia hanya memutar malas bola matanya.     

"Ya sudah, Kak Ken. Eh, maksudnya Pak Kenan keluar saja terlebih dahulu, nanti baru saya. Saya enggak mau ada gosip yang aneh-aneh."     

"Panggil aja seperti biasanya, Ta,"     

"Enggak enak sama karyawan lain, apalagi saya hanya seorang OG. Jadi, saya panggil pak saja."     

"Kalau berdua kamu panggil Kak saja, aku merasa tua kalau kamu panggil Pak."     

"Oke, siap. Tapi, bisakah Kak Ken panggil aku Qia saja?" tanyanya dengan wajah serius.     

"Kenapa?"     

"Aku tidak ingin mengingat masalalu Kak. Panggilan itu mengingatkan aku dengan Kak Nathan dan kedua orang tuaku. Jadi, kalau bisa Kakak panggil aku Qia saja."     

"Baiklah, aku akan memanggilmu Qia."     

��Makasih, Kak."     

"Untuk apa kamu berterimakasih, kamu enggak perlu ucapan terimakasih dari kamu sama sekali," ucap Kenan seraya tersenyum.     

"Sering-seringlah tersenyum kak, karena senyum—"     

"Senyumanku membuatku semakin tampan," ucap Kenan memotong ucapan Qia. Qia memutar malas bola matanya mendengarnya, tetapi apa yang di katakana Kenan memang benar. Jika ketampanan Kenan semakin terlihat ketika ia tersenyum.     

"Pede banget!" ketus Qia seraya bersedekap.     

"Kan, kamu dulu sering bilang begitu. Kakak ganteng kalau senyum, Tata suka deh," ucap Kenan bermaksud menggoda Qia.     

"Itu dulu, sekarang udah enggak!" ucap Qia sambil melihat entah kemana. "Lagian, inget sama umur kak, udah bukan abegeh lagi!" ucap Qia mengingatkan.     

"Umurku masih dua puluh tujuh. Lagi pula semakin dewasa umur laki-laki aura matangnya itu lebuh berasa gerr!" ucap Kenan seraya tersenyum.     

"Buah aja kalau kematengan banget gak enak di makan," ucap Qia tidak mau kalah dengan kesombongan Kenan. Ia merasa perkataan Kenan itu begitu sombong.     

"Aku belum kematengan ya, tapi baru mau mateng. Kalau buah mangga itu masih mengkel-mengkelnya," ucap Kenan yang sengaja membuat Qia kesal. Ia bisa melihat wajah kesal Qia yang sepertinya tidak suka dengan perkataannya.     

"Ya, terserah anda saja. Yang muda ngalah aja sama yang tua!" ketus Qia seraya memutar malas bola matanya.     

"Enak aja aku di bilang tua!" ucap Kenan tidak terima.     

"Ah, udah lah, lebih baik Pak Kenan cepat keluar dari ruangan ini. Mentang-mentang bos bisa berkeliaran kemana saja di jam kerja begini!" ucap Qia menatap malas Kenan.     

"Iya, dong. Kalau jadi bos itu terserah mau ngapain aja. Toh, untuk apa ia memperkerjakan karyawan kalau apa-apa masih harus mengerjakan sendiri?" tanya Kenan dengan wajah menantang.     

"Tapi, tanpa karyawan, mana bisa anda di sebut bos? Tanpa karyawan mana mungkin anda punya uang banyak? Semua yang anda miliki saat ini juga ada usaha dari karyawan-karyawan anda. Jadi, jangan berkata seperti itu!" tegas Qia dengan tatapan mata tegas dan menatantang ke arah Kenan.     

Satu hal lagi di diri Qia yang ternyata masih belum berubah, ia pandai menjawab apa saja perkataan lawan bicaranya. Tetapi di balik itu semua terkadang Qia akan menangis merenungi apa yang lawan bicaranya katakan. Namun, untuk perdebatan semacam ini tidak akan membuat Qia menangis.     

"Ya, ya, ya. Tapi, sebagai karyawan bukankah sudah tugasnya untuk bekerja, bukan malah mengobrol seperti ini?" tanya Kenan membungkukkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Qia.     

Qia mendorong tubuh Kenan kemudian ia keluar terlebih dulu dari gudang penyimpanan peralatan kebersihan tanpa menjawab ucapan Kenan. Ketika keluar, ia tidak sengaja menabrak Raka.     

"Pak, Raka!" ucap Qia terkejut. Kenan yang tadinya akan keluar menghentikan langkahnya ketika Qia menyebut nama Raka sedikit keras. Mungkin Qia sengaja melakukannya agar Kenan tidak keluar dari dalam gudang.     

"A, ada apa ya, pak?" tanya Qia tergagap.     

"Ah, apa kamu melihat Kenan?" tanya Raka dengan raut wajah berantakan. Keringat sudah membasahi wajahnya.     

"Sa, saya enggak melihat Pak Kenan," jawab Qia tergagap. "Memangnya ada apa, Pak?" tanya Qia seolah-olah tidak tahu.     

"Tidak ada! Ya sudah, saya mau mencari Kenan kembali," ucap Raka kemudian ia berlalu pergi tanpa mendengar jawaban Qia.     

"Iya, pak," jawab Qia walau mungkin Raka tidak mendengarnya.     

Qia menghembuskan napasnya lega ketika Raka sudah tidak terlihat lagi. Ia tadi begitu terkejut karena ketika keluar ia malah bertemua Raka. Untung saja tadi ia tidak membuka pintu lebar-lebar dan menutupnya kembali ketika keluar. Ia bukan bermaksud jahat berbohong pada Raka. Hanya saja ia tidak mau jika Raka sampai berpikir yang macam-macam.     

Bukan apa, tetapi ia ingat sekali ketika teman-teman kakaknya menggodanya. Ketika dirinya menemani Kenan yang istirahat di belakang sekolah di bawah pohon beringin tetapi ada kursi yang terbuat dari semen dan mejanya berbentuk bundar yang juga terbuat dari semen. Teman-teman kakaknya berkata, "Hayo, habis nagapain aja di belakang sekolah?" ada juga perkataan. "Enak itu dibawah pohon beringin anginnya sepoi-sepoi buat ngilangin gerah habis main panas-panasan." Saat itu perkataan seperti itu ia tidak mengerti. Tetapi ia pun akhirnya mengerti dengan perkataan teman-temannya ketika kakaknya memperingati teman-temannya untuk tidak mengajarkan adiknya hal-hal laknat seperti itu.     

Ah, betapa bahagianya saat itu. Kini semua hanya sebuah kenangan saja. Ia tidak pernah bertemu dengan teman satu tim basket kakaknya semenjak mereka lulus sekolah. Mereka ada yang melanjutkan pendidikan, bekerja dan juga ada yang masuk ke angakatan. Ia merindukan moment-moment itu dan kini ia hanya bisa mengingatnya sebagai kenangan manis.     

TBC...     

Dududud... Jangan lupa Koment, Love dan Power Stonenya naikin lagi ya guys...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.