Laga Eksekutor

Empat Penguntit



Empat Penguntit

0Saat keluar dari kantor polisi, waktu sudah menunjukkan pukul tiga dan Mahesa tidak berencana untuk kembali ke perusahaan. Dia ingin mencairkan uangnya di bank, kemudian membeli ponsel lagi. Tiba-tiba terpikir olehnya bahwa dia harus menelepon Tania. Tidak ada kabar dari Mahesa selama beberapa hari, pasti gadis itu sangat khawatir.     
0

Setelah panggilan tersambung, Mahesa mendengar suara lembut dari Tania, "Halo?"     

"Ha… Halo."     

"Siapa ini? Kalau tidak segera bicara, aku akan menutup telepon." Setelah berbicara seperti itu, Tania menutup telepon.     

Hari-hari ini, Tania sangat tertekan. Dia tidak tahu bagaimana nomor teleponnya bisa tu bocor. Dia selalu menerima panggilan telepon dari orang yang tidak dikenal. Selain itu, orang-orang yang meneleponnya berusaha menjalin hubungan dan mengatakan sesuatu yang memuakkan.     

Namun, setelah menutup telepon yang sebenarnya dari Mahesa itu, Tania mengerutkan kening. Kenapa suara pria itu terdengar begitu akrab?     

"Ah! Itu Kak Mahesa." Kali ini Tania merasa bersalah karena benar-benar menutup telepon dari Mahesa. Dia kemudian merasa sangat menyesal. Sejak Mahesa menghilang malam itu, diam-diam Tania khawatir, tidak tahu apa yang terjadi padanya. Setiap kali dia menelepon, ponsel Mahesa selalu tidak aktif.     

Di sisi lain, Mahesa juga tertekan. Apa yang terjadi pada Tania? Kenapa dia benar-benar menutup telepon darinya? Setelah memikirkannya, Mahesa memencet nomor Tania lagi. Setelah panggilan tersambung, suara Tania terdengar lagi, "Apakah ini Kak Mahesa?"     

"Tania, beraninya kamu menutup telepon dariku? Hati-hati saja, ketika kita bertemu, aku akan memberi balasan." Mahesa tersenyum.     

"Kak… Aku tidak bermaksud begitu. Kupikir itu panggilan dari orang menakutkan. Kenapa kamu mengganti nomor teleponmu? Aku tidak bisa menghubungimu akhir-akhir ini. Ada apa denganmu? Bukankah kamu mengabaikanku? Jahat sekali." Nada suara Tania itu dipenuhi dengan rasa kesal dan kekhawatiran.     

"Ponselku rusak, jadi aku beli ponsel baru."     

"Oh, kalau begitu, aku akan menyimpan nomormu dulu." Beberapa menit kemudian, suara Tania terdengar lagi, "Kak Mahesa, aku…"     

"Ada apa?"     

"Aku merindukanmu." Tania tersipu. Namun, dia bisa menghela napas lega saat mengetahui bahwa Mahesa terdengar baik-baik saja.     

"Benarkah kamu rindu padaku?"     

"Apa aku perlu mengatakannya lagi?" Tania bertanya dengan malu-malu.     

"Oke, aku tidak akan menggodamu. Ngomong-ngomong, anak bernama Chandra itu tidak mengganggumu lagi, kan?" Mahesa tiba-tiba teringat anak itu.     

Terakhir kali Chandra benar-benar membuat Mahesa marah. Bajingan itu bahkan hendak memukul Tania. Dia memang sudah tidak ingin hidup lagi.     

"Tidak, sekarang Bima ada di sisiku dan Lisa setiap hari, jadi Chandra tidak berani mengganggu kami."     

"Oh, syukurlah." Mahesa masih memiliki kesan baik terhadap pria baik bernama Bisma. "Itu bagus, aku akan bertemu denganmu lagi dalam dua hari."     

"Baiklah, sampai jumpa!" Tania menutup telepon dengan enggan. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Di ujung lain, Mahesa sedang tersenyum. Dia sebenarnya selalu memiliki perasaan kasihan pada Tania. Perasaan inilah yang membuat Mahesa menyukai Tania.     

Mahesa menghentikan taksi, berencana untuk pulang. Dia ingin menunggu istrinya menyiapkan makanan, "Pak, tolong antar saja ke Citraland."     

Sopir taksi itu tersenyum. Meski sangat terkejut karena dia tahu bahwa orang-orang di kawasan Perumahan Citraland tidak mungkin menggunakan taksi. Namun, dia tidak bertanya lebih banyak.     

Ketika Mahesa masuk ke dalam taksi, tidak jauh dari sana, seorang pemuda membuang puntung rokok mereka secara sembarangan, "Sasarannya masuk ke dalam sebuah taksi barusan."     

"Kamu yakin dia adalah anak itu? Apa dia benar-benar orang yang menyinggung Pak Hamzah?" tanya pemuda di sebelahnya.     

"Berhentilah berbicara omong kosong, jangan tanya terlalu banyak. Aku yakin itu dia, pria bernama Mahesa. Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan."     

"Ayo segera bergerak, jangan banyak bicara."     

Van berwarna putih keperakan itu mengikuti taksi Mahesa dan melaju perlahan di jalan raya.     

Saat ini Mahesa sedang berbaring di kursi belakang taksi dengan santai. Setelah menyimpan nomor telepon Siska dan Zafran, dia mengeluarkan sebatang rokok dan menghisapnya, "Pak, mau rokok?"     

Melihat rokok di tangan Mahesa, sopir taksi itu kembali terkejut. Apakah pria ini benar-benar tinggal di area Perumahan Citraland? Kenapa merokok dengan rokok murahan seperti itu?     

Tapi tentu saja sopir taksi itu masih mengambil rokok yang diberikan Mahesa dan mengendus dengan hidungnya, "Saya juga suka rokok ini. Saya telah merokok lebih dari sepuluh tahun dan rokok ini adalah favorit saya."     

"Wah, aku juga suka merek ini, pak!" seru Mahesa. Saat berbicara dengan sopir taksi, ada kilatan cahaya yang tiba-tiba menarik perhatian Mahesa. Dia melirik van putih di belakangnya, mencibir, dan sepertinya tahu siapa yang ada di dalamnya. Itu pasti orang yang dikirim Pak Hamzah.     

Setelah pergi dari jalan raya, dan memasuki ke kawasan perumahan yang dibatasi pepohonan, Mahesa menghentikan sopir taksi itu, "Pak, turun di sini saja. Rumah saya tidak jauh dari pintu masuk ini."     

"Anda yakin, tuan?"     

"Ya." Mahesa mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya kepada pengemudi, "Tidak perlu kembalian."     

"Ini…" Melihat Mahesa turun dari mobil, pengemudi itu tertegun, merasa sangat aneh.     

Saat tahu bahwa Mahesa turun dari taksi, van putih itu melambat. Keempat pemuda di dalamnya menjadi lebih waspada, "Mengapa anak itu turun di sini? Apa dia menemukan keberadaan kita?"     

"Diamlah, kita berempat, dia sendirian. Kita bisa mengalahkannya, tidak perlu panik," kata pemuda yang memegang rokok di tangannya.     

Setelah taksi berbalik arah, van itu melaju kencang dan mengejar ke tempat Mahesa yang baru saja turun. Kemudian, keempat orang yang ada di dalamnya buru-buru turun dari mobil dan mengikuti Mahesa.     

Mahesa tersenyum tipis, sedangkan keempat orang itu masih terus mengikutinya. Namun, ketika mereka memasuki area taman di perumahan tersebut, mereka menemukan bahwa Mahesa hilang.     

"Sial! Anak itu sudah pergi!" pekik salah satu dari keempat pemuda itu.     

Mereka berempat dengan hati-hati melihat sekeliling, tetapi masih tidak menemukan sosok Mahesa. "Aneh, ke mana perginya anak itu?"     

"Permisi, izinkan aku bertanya, apakah kalian sedang mencariku?" Di belakang mereka berempat, suara Mahesa tiba-tiba terdengar. Mereka kaget, dan kemudian segera berbalik sambil menunjukkan ekspresi keheranan, "Wah, kamu sudah tahu kami mengikutimu?"     

"Bagaimana menurutmu?" Mahesa memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dan memandang keempat orang itu dengan tatapan merendahkan.     

"Karena tahu kami akan membalasmu, jadi kamu lari ke dalam taman, ya? Apa kamu cari mati?"     

Mahesa mengulurkan tangannya dan menggelengkan kepalanya, "Kurasa tidak. Kalian yang sedang cari mati. Tapi sebenarnya aku punya pertanyaan untuk kalian."     

"Apakah kamu ingin tahu siapa kami?"     

"Benar."     

"Jangan pikirkan tentang itu, teman-teman, ayo bunuh dia!" Setelah perintah ini dikeluarkan, keempatnya bergegas melemparkan pipa baja di tangan mereka.     

Mahesa tidak bergerak, tapi sosoknya langsung menghilang dari mata mereka. "Apa? Dia hilang."     

"Apa dia hantu? Kenapa tiba-tiba tidak terlihat sekarang?" tanya pemuda yang memakai pakaian serba hitam.     

"Mana ada hantu di dunia ini? Cepat, cari dia!" Sang pemimpin berteriak, "Nak, aku menyarankanmu untuk keluar dengan patuh, biarkan kami memberimu pelajaran, lalu kita akan pergi dengan bahagia."     

Tidak ada yang menjawab. Sang pemimpin berkata lagi, "Tidak ingin keluar?"     

"Seharusnya kalian tidak datang." Mahesa muncul dari samping. Dia menggelengkan kepalanya.     

"Bunuh dia!" teriak sang pemimpin.     

Pada saat ini, Mahesa tidak ragu-ragu. Tinjunya sudah siap, dan detik berikutnya, mereka berempat jatuh ke tanah dengan wajah yang penuh darah. Ada juga yang memegangi perut sambil melolong seperti serigala.     

"Jika kamu tidak ingin mati, katakan, apakah Pak Hamzah memanggilmu ke sini?" tanya Mahesa     

"Tidak, kami tidak tahu itu. Pak Aryo yang memanggil kami untuk datang." Sang pemimpin menjelaskan. Dia tidak menyangka bahwa Mahesa bukan lawan yang mudah.     

"Pak Aryo?"     

"Ya, Pak Aryo, teman Pak Hamzah."     

"Oh." Mahesa tersenyum, menunjukkan senyum jahat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.