Laga Eksekutor

Laporan dari Teman Lama



Laporan dari Teman Lama

0Di masa lalu, Mahesa tidak berniat ikut campur dalam hal-hal yang berantakan ini, apakah itu tentang gangster atau yang lain. Baginya, itu bukan masalahnya, dia hanya ingin hidup bahagia. Tapi sekarang berbeda, dan hatinya telah berubah banyak. Dia berani membunuh Pak Damas untuk Siska, lalu untuk Widya, dia juga berani untuk membunuh para pembunuh profesional.     
0

Pada hari ketika Mahesa menipu Yudi, dia mengucapkan apa yang ia inginkan. Dia mengetahui bahwa ayah dan anak dari keluarga itu tidak pernah bermaksud baik. Diperkirakan bahwa mereka berdua sedang membidik posisi presiden Jade International dan bermaksud untuk mengambil beberapa manfaat dengan melawan Widya.     

Kali ini setelah Yudi dan Pak Hamzah dikalahkan oleh Mahesa, bukan mereka berdua yang membalas dendam, tapi justru orang yang bernama Pak Aryo. Ini membuat Mahesa tahu bahwa mungkin kedua orang itu diam-diam berkolusi satu sama lain. Mereka semua pasti ingin mendapatkan keuntungan dari Jade International.     

Jika ini benar adanya, maka Widya tidak hanya menghadapi Yudi dan ayahnya, tetapi juga Pak Aryo yang didukung oleh geng besar di belakangnya. Untungnya, Mahesa tahu tentang masalah kali ini, jika tidak, dia tidak akan bisa membantu Widya melindungi posisinya dan perusahaan.     

"Pak Aryo, Pak Hamzah, tidak ada di antara kalian yang bisa melarikan diri," kata Mahesa sambil menyeringai. Kekuatannya sangat terbatas, jika ingin berhadapan dengan orang-orang ambisius ini, pasti tidak cukup dengan hanya membunuh. Dia harus mengandalkan akal cerdasnya.     

Oleh karena itu, sebelum kembali ke rumah, Mahesa meminta Naga Tersembunyi untuk mengirim sekelompok orang dari pusat agar mengawasi ketiga orang yang berbahaya tadi.     

Meskipun Beni adalah orang yang baik, dan kini pria itu ada di pihaknya, Mahesa merasa bahwa mengandalkan Beni saja tidak cukup untuk mengumpulkan informasi berguna dalam waktu singkat. Sekarang ini yang dibutuhkan olehnya adalah tenaga tambahan.     

Sebelum pulang, Mahesa membeli beberapa bahan makanan di supermarket dan menyiapkan makanan sambil menunggu istrinya pulang. Kadang-kadang ada baiknya memikirkan peran seorang ibu rumah tangga.     

Sambil menyenandungkan sedikit lagu, Mahesa tampak sibuk di dapur. Dia juga menggunakan celemek yang membuatnya terlihat seperti seorang juru masak. "Aku akan tunggu istriku pulang." Semua persiapan sudah selesai. Diperkirakan istrinya akan segera kembali.     

Begitu Mahesa melepas celemeknya, bel pintu berbunyi dari luar. Dia mengerutkan kening. Bukankah Widya membawa kunci rumah?     

Namun, ketika Mahesa membuka pintu, dia melihat wajah suram Pak Widodo. "Kamu? Kenapa kamu di sini?"     

"Apa? Ini rumahku. Ayah, kenapa aku tidak bisa ada di sini?" Mahesa bertanya dengan heran.     

Sejak menjadi suami Widya, Mahesa tahu bahwa Pak Widodo selalu berpikir bahwa hubungan antara dirinya dan Widya tidak baik, tapi apa itu cukup untuk membuat Pak Widodo berkata demikian? Dengan wajahnya yang muram, ini menunjukkan bahwa Pak Widodo sedang marah.     

Mahesa menduga ayah Widya ini seharusnya datang karena Pak Hamzah dan putranya yang dipukuli olehnya. Tetapi Mahesa bertanya-tanya mengapa dia tidak pergi langsung ke perusahaan untuk mencari Widya? Kenapa malah bergegas ke rumah?     

Pak Widodo mendengus dingin. Dia masuk dengan marah, lalu duduk di sofa, dan berkata dengan nada menghina, "Ini rumahmu? Kamu cukup berani rupanya. Ini rumah Widya. Kamu sedang tinggal di rumah putriku."     

Sebelumnya Pak Widodo terkejut saat menerima telepon dari Yudi yang katanya dipukuli di perusahaan. Bahkan, Pak Hamzah yang berusaha mencari keadilan untuk anaknya dengan pergi mencari Widya itu juga dipukuli. Setelah kemarahan dan keluhan Pak Hamzah, Pak Widodo mengetahui bahwa insiden ini terkait dengan putrinya yang berharga. Dan pria aneh yang merupakan suami anaknya itulah yang membuat Pak Hamzah dan anaknya babak belur.     

Pak Widodo awalnya ingin pergi langsung ke perusahaan untuk menanyai putrinya apa yang terjadi. Tetapi berpikir untuk menghindari kekacauan lebih lanjut pada perusahaan, Pak Widodo memutuskan untuk bergegas ke tempat putrinya tinggal. Dia ingin memintanya untuk menjelaskan apa yang terjadi hari ini. Sayangnya, ketika Pak Widodo tiba di rumah Widya, bukan putrinya yang membuka pintu, tetapi si penyerang yang mengaku sebagai suami putrinya ini.     

Malam itu, setelah mendengarkan bujukan Yudi dan beberapa teman lama, mereka semua percaya bahwa Widya telah membuat keributan dan dengan sengaja menemukan seseorang untuk bertindak sebagai tamengnya dengan mengatakan bahwa itu adalah suaminya. Dan orang itu adalah Mahesa.     

Namun, jika semuanya sudah beres, kenapa Mahesa tidak kunjung menghilang dari hidup Widya? Dan yang lebih menyebalkan adalah dia masih tinggal di rumah putri Pak Widodo. Bukankah pernikahan mereka palsu? Apakah memang ada sesuatu di antara mereka? Apa mereka benar-benar sudah menikah?     

Perasaan Pak Widodo menjadi sangat campur aduk saat ini, penuh dengan kemarahan dan keraguan. Dia ingin tahu jawabannya.     

"Ayah, aku sudah menikah dengan Widya, jika aku tidak tinggal di sini, apa aku harus tidur di jalan?" Mahesa tersenyum getir sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.     

"Jangan pura-pura menjadi suami anakku. Jika kamu ingin menjadi menantuku, kamu tidak memenuhi syarat!"     

"Tidak masalah. Aku tahu ayah berubah karena insiden pemukulan hari ini. Pasti kedua anjing itu telah menelepon ayah. Sebenarnya aku hanya memukul mereka dengan ringan, mereka saja yang terlalu lemah." Mahesa tidak ragu untuk menjelaskan.     

"Oh, bagus sekali!" Wajah Pak Widodo penuh dengan amarah. Dadanya naik turun. Dia semakin marah saat mendengar bahwa Mahesa tidak menyadari kesalahannya, tapi justru menunjukkan sikap tidak peduli.     

Apa Mahesa tidak tahu siapa orang yang dipukuli? Itu adalah teman lama Pak Widodo yang memulai bisnis dengannya. Persahabatan mereka sudah terjalin selama lebih dari dua dekade. Jika bukan karena bantuan teman lamanya itu, tidak akan ada Jade International saat ini.     

"Ayah, tahan amarahmu." Mahesa mengangkat tangannya, "Karena sudah di sini, mari kita makan malam dulu. Kebetulan aku memasak banyak malam ini. Kita bisa makan malam sambil menunggu Widya kembali." Setelah berbicara, Mahesa tidak peduli dengan ekspresi cemberut Pak Widodo. Dia pergi ke dapur dan bersenandung lagi.     

Sepuluh menit kemudian, aroma wangi keluar dari dapur. Mahesa tersenyum dan berjalan keluar dengan beberapa piring. Dia berkata sambil tersenyum, "Ayah, wajahmu tidak begitu baik, apakah kamu lapar? Oh, jangan khawatir, aku akan segera menyiapkan semuanya. Widya juga akan segera pulang."     

Pak Widodo menghela napas. Dia memegang erat sofa yang didudukinya untuk menahan agar tidak marah. Bahkan jika dia ingin marah, dia harus menunggu sampai Widya pulang.     

Di sisi lain, saat ini meja makan sudah diisi dengan lima piring dan satu mangkuk besar berisi sup. Mahesa mengeluarkan tiga set piring dan alat makan. Pada saat yang sama, Widya kini bergegas masuk ke rumahnya.     

Dalam perjalanan pulang tadi, Widya menerima pesan teks dari Mahesa yang mengatakan bahwa ayahnya ada di rumah. Widya tahu bahwa Pak Widodo pasti mencarinya karena urusan hari ini. Dia tidak berharap ayahnya itu akan datang begitu cepat. Widya tahu persis siapa Mahesa. Dia terlihat seperti orang biasa, tapi dia sangat kejam. Bagaimana jika dia menyakiti ayah Widya?     

Meskipun hubungan antara Widya dan ayahnya kurang baik, tapi bagaimanapun mereka memiliki hubungan darah. Widya tidak ingin melihat ayahnya celaka.     

Namun, hal aneh terpampang di depannya ketika Widya membuka pintu. Dia tidak melihat pemandangan yang menakutkan. Dengan begitu, hatinya yang cemas pun perlahan menjadi tenang. Dia melihat makanan panas di atas meja dan tiga set peralatan makan. Kenapa situasinya jadi begini? Kenapa tidak ada kekacauan sama sekali?     

"Istriku, apa yang kamu lakukan dalam keadaan linglung? Cepat cuci tangan dan bersiaplah untuk makan, ayah sudah kelaparan." Mahesa mengoceh seperti suami yang cerewet.     

Widya meletakkan tasnya, menatap Pak Widodo dan berbisik, "Ayah…"     

"Ayah? Apa aku masih ayahmu?" Pak Widodo berdiri dan menunjuk ke hidung Widya sambil berteriak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.