Cinta seorang gadis psycopath(21+)

PENGAKUAN



PENGAKUAN

0Sejak awal Axel berbicara, Iya nyaris tidak terlepas dari pandangan mamanya. Wanita itu memperhatikan gestur dan ekspresi Axel. Semua menunjukkan bahwa apa yang dikatakan adalah benar. Dia tidak berbohong untuk mencari aman.     
0

"Dasar bodoh Sudah berapa tahun sih usiamu? Apakah tidak cukup mama menyekolahkanmu, pengalaman hidup yang kamu lalui selama ini? Harusnya kamu itu bisa berpikir!" ucap Elizabeth dengan nada suara yang sedikit merendah.     

"Soalnya aku tidak tahu harus berbuat apa Ma. Aku mencintai Lina, tapi hatiku terbagi ketika melihat Chaliya. Karena aku sadar bahwa Lina adalah istriku, maka aku harus menjaga perasaannya dan membahagiakan dia ingin dia berpikir bahwa aku masih ada rasa cinta terhadap Chaliya," jawab Axel.     

"Benar kata orang memang di dunia ini tidak ada satupun yang sempurna. Jika kau mahir di bidang bisnis, tapi kok sangat minus bahkan bodoh di dalam urusan perasaan. Dengan kamu sudah bersikap baik dengan Rina tak usah kau menghina siapapun yang pernah singgah dalam masa lalumu di depannya. Cukup diam siapa dia dengan elegan seperti kau menyapa orang yang baru saja kau kenal atau teman lama yang sudah tidak lama berjumpa. Begitu saja cukup, dia tidak akan berpikir macam-macam. Apalagi istrimu dan Chaliya dulunya kan bersahabat. Sangat tidak nyaman sekali jika suaminya memperlakukan sahabatnya dengan tidak baik. Bahkan, di depan suaminya kau mempermalukan dia."     

"Maaf Ma. Aku juga sedikit ingin tahu seberapa besar cinta suaminya terhadapnya. Sebagai seorang laki-laki, bukankah sudah seharusnya melindungi pasangannya dari siapapun. Namun ketika melihat istrinya direndahkan dia juga diam saja tidak ada respon."     

"Itu terjadi karena istrinya sudah memberi kode keras supaya membiarkanmu. Katanya kamu tidak butuh bantuan Chaliya dalam mengatasi masalah terkait Rajatha. Apakah kau sudah menemukan seorang profesor yang bisa membantunya?"     

Axel langsung berdiri. Mengekspresikan keterkejutannya, dan menampol kepalanya sendiri, menunjukkan betapa payahnya dia. "Astaga Mama Bagaimana aku bisa melupakan itu?"     

"Emangnya apa yang kau ingat kita sudah dalam keadaan otak balank karena wanita? Sudah kau tidak perlu repot-repot tentang itu kemarin saat pertemuan di restoran bersebelahan dengan mu itu, kami menemui profesor yang bersedia membantu kita. Dia mengambil sampel darah Rajata untuk diteliti. Hasilnya akan keluar satu Minggu lagi.     

"Iya, aku akan mendoakan."     

****     

Semakin hari kondisi kakek hati semakin membaik. Bahkan sekarang dia sudah bisa keluar untuk jalan-jalan.     

"Papa kenapa love gajah aja tidak menunggu Elis yang menangani masalah Axel?" tanya Elizabeth saat menemani bapaknya berjemur di halaman belakang.     

"Nunggu kamu lama banget nggak datang-datang! Makanya papa bertindak sendiri, dan ternyata yang kamu katakan selama ini benar. Axel memang kurang ajar nggak ada otak itu anak," umpat kakek Hardi terus mengomel.     

"Kan, Elis sudah pamit sebelumnya kalau Elis ke rumah teman. 14 menelpon itu alis langsung pamitan buru-buru pulang. Bahkan jarak tempuh yang harusnya sampai 40 menit, Elis hanya memakan waktu tidak sampai 30 menit. Memang dasar papa saja yang tidak pernah mau bersabar."     

"Iya lah salah kan saja terus kamu yang sudah tua ini. Namanya orang tua kan selalu salah bagi kalian yang masih muda," jawab kakek Hardi. Kata-kata sikap dan kelakuannya jadi seperti anak kecil saja.     

"Pa... Siapa sih ya nyalahin papa. Tuliskan cuma bilang papa nggak bisa sangat sedikit saja untuk bersabar. Kalau bapak emosi selalu gini darahnya naik."     

"Oke baiklah mulai dari sekarang papa akan belajar ilmu sabar!"     

"Nyonya Elizabeth. Ada beberapa kali panggilan di ponsel Anda. Saya sudah mencari anda ke mana-mana, tapi baru ketemu di sini," ucap salah satu pelayanan yang bekerja di rumah papa Elizabeth.     

"Siapa yang menelpon Bi?" Tanya wanita itu dengan santai sambil melihat kearah ponselnya yang tidak berdering sama sekali. Bahkan layarnya pun juga sudah gelap.     

"Saya tidak tahu, Nyonya. Mengambil Ini saja juga memberanikan diri untuk mengantarkan kemari," jawab pelayan itu dengan sangat santunan.     

"Terima kasih ya, Bi?" jawab Elizabeth sambil tersenyum saat menerima benda pipih itu dari tangan wanita yang memakai setelan baju pelayan berwarna pink tersebut.     

"Tidak perlu mengatakan itu. Karena ini memang tugas saya harusnya saya meminta maaf karena telah lancang mengambil benda pribadi milik anda tanpa seizin, dan perintah dari anda."     

"Tidak masalah."     

Elizabeth membuka pertanyaan kemudian melihat siapa yang tengah menelponnya ternyata itu adalah Chaliya.     

Dia nampak semangat baru saja mulai hendak menelpon kembali ponselnya berdering dari pemilik nomor yang sama.     

"Halo, Cha. Maaf jika baru bisa angkat 3 kali kamu manggil tante berada dibelakang menemani papa tante. Sementara ponsel berada di dalam kamar. Barusan pipi yang mengambilkannya dan mengantar ke mari," jawab yang dicapai dengan sungkan karena dia telah membuat orang yang berniat baik menolong dirinya menunggu, dan mengulang-ulang panggilan hingga beberapa kali.     

"Tidak masalah tentang namanya juga manusia di rumah pasti ada aja kesibukannya. Bagaimana kondisi papa Tante? Apakah beliau sehat?"     

"Yah begitulah, untuk saat ini dia kondisinya sudah membaik," jawab Elizabeth dengan ragu-ragu sambil sesekali melirik kearah kapalnya yang tengah duduk di atas kursi roda sambil memperhatikan dirinya yang berbicara.     

"Barusan tante bilang kondisinya sudah mulai membaik, Apakah beliau baru saja sakit?" ucap Chaliya, menunjukkan betapa pedulinya dia terhadap seluruh keluarga Elizabeth.     

"Ya begitulah namanya juga orang tua sudah penyakitan, pakai emosi marah-marah segala?" Jawab Elizabeth sekali lagi dia melihat ke arah papanya.     

"Hai kamu bocah nakal apa yang kamu katakan padanya? Kau bilang bahwa aku ini penyakitan? Aku hanya mengidap hipertensi dan itu kambuh karena ulah putramu," ucap kakek Hardi. Tidak terima jika dirinya dijelekkan seperti itu di depan Chaliya.     

"Oh, jadi kita yang mudah harus pinter-pinter menjaga emosi beliau supaya tetap stabil dan tidak kambuh-kambuh lagi, Tante. Pola makan juga harus benar-benar diperhatikan."     

"Iya kali ya kamu benar. Untuk pola makan dan emosinya sepertinya kami sudah benar-benar sangat memperhatikan nya. Tapi mau gimana lagi namanya orang tua ya salah sedikit yang mudah juga pasti sudah naik darah jadinya ya seperti itu," jawab Elizabeth sambil tersenyum seolah mengejek papanya. Sebab saat berbicara dia sambil melirik kearah kabarnya yang sejak tadi terus memperhatikan dirinya.     

"Hei kamu Elis apakah kau ingin menjadi anak durhaka?"     

Elis tersenyum tipis sambil meletakkan jari telunjuk kanannya di depan bibir. Memberi isyarat supaya papanya tenang agar penyakit hipertensi nya tidak lagi kambuh. Atau nanti dia akan pingsan dan masuk ke rumah sakit.     

Melihat betapa liciknya Elizabeth, kakek Hardi pun diam dan kembali duduk dengan tenang di atas kursi rodanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.