Cinta seorang gadis psycopath(21+)

PENAWAR UNTUK RAJATHA



PENAWAR UNTUK RAJATHA

0"Loh baby sisternya raja tadi mana? Kalian kan bahwa kereta, jika memang Rajatha bisa ditaruh, biarkan saja dia makan bareng dengan kita," ucap Chaliya.     
0

"Mungkin tidak apa-apa setelah kita saja, Chaliya," sahut Lina. Dia merasa sungkan.     

"Kenapa? Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Bagi kami, kita ini semua sama saja," jawab Chaliya.     

"Sepertinya ada tadi dia keluar mengajak Rajata ke taman. Kalau begitu biar tante yang memanggilnya," jawab Elizabeth dengan cepat sebab, dia tahu seperti apa karakter Chaliya. Apa yang dia katakan, bukanlah sekedar basa-basi saja. Karena dulu dia juga pernah makan bersama dengan Pak Supri sopir yang mengantarkan Elizabeth ketika marah kepada Axel dan memutuskan untuk pergi dari rumah.     

Awalnya Susi menolak, dia tidak terbiasa juga merasa kalau makan satu meja dengan majikan itu sangatlah tidak sopan apa lagi, majikan pernah berkunjung di rumah salah satu rekannya.     

Karena terus di paksa Akhirnya dia pun menyetujui dan ikut makan bersama. Apalagi, Rajatha kembali tidur dengan pulas. Jadi, tidak ada yang mengganggu acara makan malam bersama.     

"Cha, tante kok merasa badan kamu makin berisi, ya? Apakah timbangan kamu naik?" tanya Elizabeth. Sebab, sejak tadi dia memperhatikan lingkar pinggang, kedua lengan dan pipi wanita itu nampak begitu berisi dan padat.     

"Iya, Tante. Timbangannya ke kanan terus," jawab Chaliya sambil tertawa.     

"Oh, pantesan," jawab Elizabeth sambil tersenyum canggung.     

"Sekarang, tidak perlu menjaga berat badan seketat dulu ya, Cha? Kan sudah pensiun dari dunia modeling," goda Lina.     

"Karena, dia berbadan dua. Makanya, bodynya tidak setipis dulu," timpal Dicky, sambil melirik istrinya.     

"Astaga...! Chaliya, selamat, ya?" ucap Lina dan Elizabeth hampir bersamaan. Namun, Lina langsung beranjak menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya setelah memberikan ucapan selamat dan doa terbaik untuk Chaliya, dan Dicky.     

****     

Dicky memperhatikan istrinya yang tengah membaca buku kesehatan ibu dan anak yang ia dapat dari rumah sakit tempat mereka memeriksakan kandungan. Dia nampak serius.     

"Sayang, apakah kau sibuk?" tanya pria itu, sangat hati-hati.     

"Tidak, kok. Aku cuma baca buku saja. Ada apa?" tanya Chaliya. Meletakkan buku warna merah muda tersebut di atas meja kemudian pandangannya terfokus pada Dicky yang duduk di sebelah.     

"Jadi bisa ya kita bicara dulu sebentar?"     

"Tentu saja. Kenapa tidak?"     

"Oh, iya." Dicky nampak tidak tenang. Terlihat dari duduknya saja seperti ada hal yang susah untuk diutarakan kepada istrinya.     

"Kamu mau bicara apa sih? Ngomong saja enggak usah takut. Karena aku tidak akan menggigit mu," ucap Chaliya, sengaja melemparkan candaan agar suasana menjadi tidak kaku. Karena melihat suaminya sepertinya sangat tegang begitu.     

"Ya... Aku mau bicara. Tapi, tunggu dulu. Kamu berjanjilah untuk tidak marah padaku," ucap Dicky.     

"Kenapa aku harus marah sayang? Selama kamu tidak meminta izin untuk nikah lagi aja,"jawab Chaliya sebab dari gelagat Dicky itu sangat mencurigakan.     

Dicky tertawa kecil. Kemudian kembali dia bertanya, "Kenapa memangnya jika aku meminta izin supaya boleh nikah lagi?"     

"Aku akan memotong mu!" Chaliya menatap tajam ke arah suaminya, dan meniru gaya memotong menggunakan tangannya di atas meja.     

"Tidak, sayang. Aku tidak pernah berfikir untuk berpoligami. Papaku, mengajarkan untuk setia dengan satu istri saja," jawab Dicky sedikit gugup. Ia terlihat dengan bayangan masa lalu, saat dia dan Chaliya akan menikah.     

"Aku gak mau meninggalkan rumah ini, Dick. Bagaimana pun, aku akan tetap tinggal di rumah ini. Yang kecil sederhana. Tapi, penuh cinta. Namun apabila kamu ingin tinggal di rumah sendiri, aku tidak keberatan. Dan di sini juga selalu terbuka untukmu kapan saja kau datang silakan."     

Dulu kali ya sangat kekeh dengan pendiriannya. Mempertahankan rumah yang dia huni sejak pertama kali dia pindah di Bandung. Lalu bagaimana dengan sekarang Dicky juga tidak tahu. Namun apabila dia tidak berubah pikiran atau mau sedikit saja mengalah, Apakah tidak lucu jika pasangan suami istri tinggal di rumah yang terpisah? Apalagi istrinya sekarang tengah mengandung.     

"Begini, sekarang kan kamu sudah hamil dan sebentar lagi pasti juga akan melahirkan, kan? Aku berpikir nanti seandainya kita menyewa 1 baby sister, dia kan tidur di mana? Sedangkan di rumah ini ada kita Chris Dwi dan bi Ina aja seperti ini Bagaimana jika bertambah dengan satu orang lagi? Kamu kan juga tahu, bayi itu memerlukan banyak oksigen. Jadi dia butuh tempat yang luas untuk banyak penghuni apabila hanya ada kita berdua Dan satu baby sister dan bi Ina itu masih tidak masalah. Tapi karena ada Christie dan Dwi... Ini terasa penuh, sayang."     

"Jadi, maksudnya kamu tidak mempermasalahkan tinggal di sini selama di tempat kita tidak ada banyak orang? Lalu bagaimana dong? Aku terlanjur mengatakan pada mereka bahwa mereka boleh tinggal di sini kapan saja selama mereka mau. Apabila tiba-tiba kita meminta mereka untuk tinggal di asrama atau di luar rumah ini, aku takut nanti mereka akan tersinggung."     

Dikit juga bingung sebenarnya, tidak masalah hanya saja dia merasa sangat risih dengan Dwi akhir-akhir ini. Tapi jika hanya mengembalikan salah satu dari mereka ke asrama, khawatir akan terjadi cemburu sosial yang berdampak buruk untuk persahabatan mereka berdua.     

"Atau begini saja, kalau kamu mau, kita beli rumah yang lebih besar dari ini yang hanya ditempati oleh kita berdua 3 dengan bibi untuk mengurus rumah. Nanti satu lagi suster yang bertanggung jawab untuk bayi kita?" usul Dicky.     

Chaliya diam tidak langsung menjawab. Dia mencoba menyelam ke dalam pikiran suaminya. Tidak lama kemudian dia mendapati sesuatu yang tidak beres. Sepertinya bikin memang risih dengan dua gadis itu. Entah apa alasannya dia tidak tahu pasti namun, demi menjaga sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi, Akhirnya dia pun memilih patuh pada suaminya.     

"Ya udah terserah kamu aja. Sepertinya kamu memang tidak ingin ada wanita lain yang tidak bekerja di rumah ini. Untuk mengusir mereka juga tidak enak maka aku akan ikut ke manapun kamu pergi walaupun ke rumah besar mu itu aku juga tidak akan keberatan,"jawab candi Ya sambil menatap Dicky dengan bibir tersenyum meyakinkan suaminya bahwa dia ikut dengannya tidak dalam keadaan terpaksa.     

"Apakah kau serius, Sayang?" tanya Dicky nyaris tak percaya.     

"Kapan aku pernah tidak serius? Apa Kau pikir aku ini sedang bercanda atau sekedar nge prank kamu? Aku tidak suka dengan tindakan itu," jawab Chaliya santai.     

"Terima kasih banyak ya sayang. Lalu kapan kamu mau berpindah ke sana?" tanya Dicky kegirangan.     

"Kamu maunya kapan terserah deh aku nurut ya sama kamu."     

"Ya sudah, lebih cepat lebih baik," ucap Dicky sambil mengecup pipi Chaliya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.