Cinta seorang gadis psycopath(21+)

CURIGA



CURIGA

0Lina memandang ke arah Axel. Dia tersenyum. Kemudian menjawab, "Belum. Dia belum tidur. Dia hanya berhenti menangis saat berada dalam dekapanku."     
0

"Iya, dia bisa merasakan kasih sayang ibunya," jawab Axel. Ia bingung harus bagaimana lagi. Melarang Lina gila, khawatir nanti justru akan membuat dia semakin parah mentalnya. Namun jika mengikuti, Lina. Dia takut, lama-lama malah ketularan gila.     

"Ini, Nyonya susunya, untuk tuan kecil," ucap suster. Dia baru saja kenbali dari dapur dan membawa dot kecil berisi susu formula yang tidak penuh.     

"Terimakasih, ya Sus," jawab Lina dengan mata berbinar. Bahagia menerima botol tersebut.     

Axel terus pemerhati tingkah aneh istrinya. Untuk beberapa saat dia mencoba untuk diam. Sekitar 10 menit ketika suasana menjadi hening, kembali pria itu berkata, "Apakah putra kita sudah tidur?"     

"Iya, dia sudah tidur pelankan, suaramu!" jawab Lina lirih. Setengah berbisik.     

"Kamu pasti lelah, dan butih refreshing setelah melahirkan. Kita ke mall saja, yuk!" bujuk Axel.     

Rina terlihat senang namun dia bingung. Dia memandang ke arah Axel kemudian berganti pada gulungan kain yang ada dalam gendongannya. "Aku memang benar-benar sangat ingin jalan-jalan. Namun, Bagaimana dengan anak kita dia masih belum boleh jalan-jalan jauh. Kasihan nanti kalau dia sampai masuk angin."     

"Kita kan, bisa menitipkan pada suster."     

"Aku takut dia akan menagis," bantah Lina. Naluri keibuannya benar-benar muncul. Seolah yang di dekapnya benar-benar seorang bayi.     

"Dia kan sedang tidur pulas. Apalagi kenyang pasti dia tidak akan cepat bangun. Nanti, kalau dia bangun dan menangis biar suster menelpon kita. Kita segera kembali, bagaimana?" tanya Axel meminta persetujuan Lina.     

Awalnya dia tetap takut. Tapi, karena suster yang menjaganya juga ikut membujuk. Maka akhirnya Lina pun setuju.     

Selama perjalanan Lina tidak memandang ke arah aksial sama sekali. Dia malah sibuk memandang tepi jalan yang terdapat banyak bangunan bertingkat kios-kios kecil dan juga kendaraan yang lalu-lalang. Seperti orang yang tidak pernah keluar dan baru saja melihat seperti apa keadaan luar.     

"Apakah kamu senang?" tanya Axel.     

"Ya, aku senang bisa naik mobil. Tapi, kita mau ngapain di mall?"     

"Kita bisa belanja apapun yang kau mau," ucap Axel.     

"Aku tidak mau belanja apa-apa. Aku tidak tahu harus membeli apa," seketika wakah Lina menjadi murung. Lagipula, dia baru beberapa hari yang lalu melahirkan. Harusnya, dia tidak boleh telalu banyak bergerak dan jalan-jalan. Namun, karena rasa stres yang menekan mentalnya, ia pun meluakan hal itu.     

"Ya sudah kalau memang kamu tidak mau membeli apapun. Bagaimana kalau kita ke rumah sakit saja?" usul Axel.     

"Kenapa ke rumah sakit? Apakah kita akan menemui dokter?" tanya Lina seperti seorang yang benar-benar tidak tahu apapun.     

"Iya kita akan menemui dokter di sana. Kita akan konsultasikan kenapa ASI kamu tidak mau keluar. Apakah kamu tidak kasihan jika putra kita hanya diberi susu formula? Karena yang paling bagus bagi bayi itu adalah ASI," jawab Axel.     

"Ide bagus. Aku setuju denganmu."     

Axel pun merasa lega. Akhirnya dia bisa dengan mudah membawa keluar Lina dari rumah tanpa mengundang rasa penasaran pada perawat itu. Sebab, jika memang dia meletakkan sesuatu pada obat Lina secara diam-diam, bisa saja dia melakukan tindakan memalsukan data yang ada.     

'Kenapa aku tiba-tiba jadi teringat dengan Alea, ya? Dia pernah melakukan hal ini pada ayahnya. Dia taku... Alea memang sudah mati. Lalu, bagaimana jika ada Alea baru dan lebih banyak walau tidak sesadis Alea yang dia kenal dulu.     

Karena sebelumnya akses sudah melakukan janji terlebih dahulu dengan dokter yang berada di bagian laboratorium. Maka, begitu dia tiba, Lina langsung ditangani. Takut, terjadi pemalsuan, maka dia memaksa, agar dirinya bisa mendapatkan hasilnya secara langsung. Tidak nanti, atau besok. Jika bisa dalam waktu satu jam sudah selesai dan dia mengawasi jalannya pemeriksaan.     

Ternyata, hasilnya benar-benar Lina tidak ada mengkonsumsi depresan. Yang membuat dirinya menjadi depresi dan gila.     

"Hasilnya, dia banyak mengkonsumsi obat penenang akhir-akhir ini. Tapi, karena tingkat stress yang tinggi, dia terkena gangguan mental yang cukup parah. Ini untung, masih ada minum obat penenang. Jika saja tidak... " ucap dokter itu tidak melanjutkan kalimatnya.     

"Bagaimana jika tidak, Dokter? Apakah dia bisa lebih depresi?" tanya Axel yang melihat Lina duduk di tempat yang jauh dengannya. Namun, mereka masih tetap dalam satu ruangan.     

Supaya tidak mendengar apa yang diperlukan dengan dokter, Axel meminta tolong pada salah satu perawat untuk melakukan pengalihan. Mengobrol sesuatu seputar ASI. Karena dia mengajak istrinya ke sini mengarahkan supaya bisa konsultasi pada dokter dan mendapatkan tips supaya asi-nya keluar lagi seperti sebelumnya.     

"Lebih dari itu. Bahkan dia bisa seperti orang gila yang di jalanan. Merupakan identitas dirinya sendiri, dan hanya memikirkan putranya. Saya turut berduka atas hal buruk yang menimpa keluarga anda pak Axel. Semoga keberadaan putra anda segera ditemukan dalam keadaan sehat tanpa kurang apapun," ucap dokter itu. Yang memang sudah kenal akrab dengan keluarga Wijaya.     

"Terimakasih, dokter. Karena semua sudah jelas, sekarang saya lega. Terimakasih, Dok." Axel pun beranjak berjabatan tangan dengan dokter tersebut, kemudian menghampiri istrinya yang masih terus berkonsultasi menanyakan terkait aslinya yang tiba-tiba saja berhenti. Padahal sebelumnya mengalir sangat deras. Sehingga, bayinya tidak mengkonsumsi susu formula.     

"Sayang apakah Kau sudah selesai konsultasinya?" tanya Axel. Dia berdiri di belakang istrinya sambil memegang kedua pundaknya.     

"Aku masih ada banyak hal yang harus aku tanyakan kepada suster, Xel," jawab wanita itu penuh permohonan.     

"Mau tanya tentang apa lagi, sih? Sejak tadi sudah ngobrol terus. Kasihan susternya capek jika terus-terusan ngomong," bujuk Axel, seperti bicara dengan bayi berusia 5 tahun.     

"Oh jadi suster capek ya? Maaf, ya Sus. Saya banyak bicara. Makasih ilmunya," ucap Lina dengan santun. Membuat suster dan dokter yang melihat seperti apa keadaan wanita itu menjadi merasa sangat iba, berharap supaya dia bisa kembali normal lagi.     

"Dok, Apakah kira-kira tidak ada hal yang bisa menyembuhkan Nyonya Lina selain bertemu dengan bayinya?" tanya suster itu mengawali percakapan.     

"Kita sebagai manusia, meskipun profesi kita adalah seorang dokter. Manusia hanya bisa berencana dan berusaha. Namun, seperti apa hasil akhirnya tetaplah Tuhan yang menentukan. Jika dilihat dari upaya yang sudah keluarga Widjaja lakukan pada Nyonya Lina, sepertinya memang tidak ada jalan lain selain mempertemukan dia dengan bayinya. Tanpa adanya terapi, dan mengkonsumsi obat penenang, dia juga akan sehat dan berangsur-angsur membaik dan normal dengan sendirinya," ucap dokter tersebut.     

suter itu hanya menghela napas. menatap pinggung mereka hingga lenyap dari pandangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.