Cinta seorang gadis psycopath(21+)

PURA-PURA GILA



PURA-PURA GILA

0Tiba di depan kediaman keluarga Wijaya, anak buah Dicky memastikan kalau semuanya aman. Setelah tidak ada hal yang menjadi kendala, Chaliya sendiri masuk ke dalam sana, meletakkan bayi itu di depan pintu. Kemudian berlari melompat pagar dan menelfon Elizbath begitu dia sudah berada di mobil, dan sudah pergi dari rumah tersebut.     
0

"Halo, kau di mana sekarang, Chaliya?" tanya Elizbath begitu mengangkat panggilan.     

"Aku berada di jalan. Kau keluarlah. Cucumu berada di depan pintu," jawab Chaliya. Dia langsung memberi tahu pada Elizabeth. Karena dia takut, bayi itu akan masuk angin. Sebab, sore ini angin bisa dikatakan termasuk kencang. Tidak seperti biasanya.     

Elizabeth berlari. Ternyata benar. Bayi yang sama di sana. Hanya lebih montok dan lucu berbaring di dalam ranjang berselimutkan tebal yang hangat. Bahkan, bayi itu juga sudah memakai jaket dan topi.     

"Terimakasih sudah mengantarkan cucuku pulang sampai rumah. Katanya kita akan bertemu di suatu tempat. Kenapa kau membawanya ke sini?" tanya Elizabeth dengan suara melembut.     

"Aku mengambilnya dari rumah. Maka, aku harus mengembalikannya ke rumah itu juga. Walaupun, saat mengambilnya di dalam rumah. Tidak, masalah kan jika aku hanya mengantarkannya sampai depan pintu."     

"Terimakasih banyak. Mengembalikan dia dengan baik saja sudah cukup," ucap Elizbath kemudian menggendong cucunya masuk ke dalam.     

"Mama, apakah itu anakku?" tanya Lina saat ia baru saja keluar dari kamar.     

"Iya, Sayang. Lihatlah! Ini putramu," ucap Elizabeth sambil menyodorkan bayi tersebut kepada menantunya.     

Lina memandang ke arah bayi yang digendong oleh mertua nya. Dia tersenyum sambil menitikan air matanya atau kedua netralnya. Perlahan, gulungan kain yang ada di gendongannya pun terjatuh. Dina berlari menghampiri mertuanya dia menangis terharu sambil menggendong putranya.     

"Halo sayang anak-anak mama. Kamu dari mana saja? Kenapa kamu tiba-tiba pergi ninggalin mama begitu saja, Nak?" ucap Lina. Walaupun jiwanya bermasalah, dia masih bisa mengenali putranya.     

"Satu minggu kamu tidak di rumah. Tinggal di mana kamu, Nak? Lihatlah tubuhmu semakin untuk saja," ucap Lina.     

Saking bahagianya bertemu dengan putra yang baru saja hilang, dia sampai lupa tidak mengatakan terima kasih kepada Mama mertuanya. Lina berjalan cepat sambil menggendong bayi laki laki itu, kemudian berteriak pada Axel.     

"Axel! Sayang, kamu ada di mana? Coba kamu lihat, siapa yang aku bawa. putra kita sudah kembali," teriak Lina.     

Sebenarnya Axel mendengar teriakan istrinya. Namun dia sudah enggan dengan kelakuan Lina yang kian hari kian tidak masuk akal saja. Dia sendiri juga stress dan bingung, cara apalagi yang akan digunakan untuk bisa menemukan putranya kembali. bahkan informasi keberadaannya saja dia tidak tahu ada di mana.     

"Axel, Aku memanggilmu dari tadi di bawah sana. Kenapa kamu diam saja Apakah kau tidak kangen dengan putramu?" ucap Lina lirih saat mendapati suaminya tengah rebahan sambil membaca buku di kamarnya.     

"Oh! Kamu memanggilku, Sayang maaf aku terlalu fokus dengan buku yang kubaca, mungkin. jadi, aku tidak bisa mendengarnya," ucap pria itu mengelak kemudian meletakkan buku yang dibawanya dan memandang kearah Lina.     

Axel masih saja cuek. Mungkin dia berpikir bahwa yang bikin dong istrinya masih sama seperti yang kemarin-kemarin. Beberapa kain yang digulung menjadi besar hingga menyerupai seorang bayi.     

"Anak kita sudah pulang, Xel!" lirih Lina.     

Axel diam. Ia sebenarnya sudah benar-benar lelah mengikuti permainan Lina. Dia tidak ingin ketularan gila seperti istrinya. Namun jika dia tidak menuruti, dia takut, Lina merasa tersinggung dan tidak dianggap.     

Lina terdiam. Sebenarnya dia tahu suaminya muak dengan dirinya yang bertingkah seperti itu. Namun demi menghargai dirinya sebagai istri sekaligus ibu dari anaknya terpaksa Axel mengikuti dirinya.     

Lina berjalan perlahan menunjukkan bahwa yang dibawanya benar-benar seorang bayi.     

"Ini anak kita," ucapnya lirih.     

"Axel terbelalak namun ia tetap menjaga ekspresinya supaya tetap tenang. Agar Lina tidak berpikir macam-macam tentang dirinya baru saja terkesan mengabaikan. Bukan kesan memang dia benar-benar mengabaikan panggilan Lina karena sudah muak dengan semua ini.     

Jika saja bukan saran dari suster untuk selalu menuruti apa yang jadi keinginannya, dia pasti juga tidak mau ikut-ikutan gila seperti Lina.     

"Bagaimana dia bisa kembali?" tanya Axel. Masih bergeming di tempatnya sambil menatap ke arah istrinya.     

"Mama. Aku tidak tahu, darimana mama menemukan Rajata," jawabnya. Langsung menyebut nama yang memang sudah disiapkan untuk anak mereka.     

Belum Axel menjawab apalagi bergerak, Lina seperti mengingat sesuatu ekspresinya terkejut.     

"Astaga Axel gimana, sih?" Ucap Lina secara refleks.     

"Kenapa?" tanya Axel bingung?     

"Tolong kamu gendong Rajata dulu. Aku lupa belum mengatakan terima kasih kepada Mama, yang telah menemukan bayi kita," ucap Lina.     

Perlahan akan menerima anaknya dari gendongan istrinya. Matanya langsung tertuju pada wajah anaknya, dia tidak peduli dengan Lina yang terus berlari keluar meninggalkan kamar.     

Pertama yang dilakukan, Iya membuka bedogan bayi itu, dan melihat tanda lahir di pundaknya. Sebab, tanpa melihat tanda lahir yang sama, dia tidak bisa percaya begitu saja kalau bayi itu memang benar adalah putranya.     

Tanda lahir sudah ditemukan, benar itu adalah putarannya namun, tetap saja hati aku merasa ragu. Pada saat itu juga dia ingin membawa bayinya ke rumah sakit untuk di tes DNA.     

Soal tanda lahir mungkin masih bisa ditiru. Namun tidak dengan hasil tes DNA. Sekalipun itu bisa dipalsukan, surat yang asli dan palsu masih bisa dibedakan bukan?     

Baru saja Axel berdiri dari tempatnya tiba-tiba mama, kakek dan juga istrinya datang ke kamarnya untuk melihat cucunya yang sudah sembilan hari ini hilang dan kembali.     

"Axel, akhirnya, anakmu sudah ditemukan. Kata mamamu, dia menemukannya di depan pintu rumah. Sepertinya penculiknya telah mengembalikan bayi itu pada kita tanpa meminta tebusan dan apa-apa," ucap kakek Hardi Wijaya nampak senang.     

"Aku akan membawa bayi ini ke rumah sakit. Karena apa yang dilakukan oleh penculik itu sangat mencurigakan, aku takut yang dibawa ke sini bukanlah anak kandung ku melainkan anak orang lain yang tidak tahu asal-usulnya."     

"Untuk apa ke rumah sakit, Xel?! Sebagai ayah Apakah kau tidak bisa merasakan kalau itu benar-benar putramu?" ucap Lina.     

Seketika asal menatap tajam ke arah istrinya. Dia memang tidak mengatakan apapun, namun dari ekspresi wajah dan tatapan matanya seolah ia berkata, kau saja gila kain yang kau gunung kau anggap anakmu. Bagaimana kamu bisa membedakan mana yang anak kandung atau bukan. Kau hanya terlalu bahagia saja, hingga akhirnya terlalu percaya pada lawan, jika ini memang anakmu!     

Seketika Lina pun melempem. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Ekspresinya yang tadi dampak kuat gini juga melemah.     

"Maafkan aku sel mungkin selama ini kau sudah mengira aku ini benar-benar gila. Tapi jika seandainya benar aku kemarin gila karena kehilangan putraku, naluri seorang ibu itu tidak pernah bisa berbohong. Dia bisa mengerti mana yang anaknya ataupun bukan. Maaf jika selama ini aku merepotkanmu dengan kelakuanku yang sangat tidak masuk akal, bahkan sangat mirip seperti orang tidak waras. Oke tidak masalah jika kau tidak menyukainya. Kamu sengaja aku melakukan itu agar, aku dapat mengalihkan kesedihanku. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menghibur diriku sendiri. Aku juga bosan terus-terusan meminum obat tidur yang nantinya justru akan mempengaruhi kinerja otak ku Aku tidak mau menjadi bodoh," ucap Lina panjang lebar.     

Mendengar penjelasan Lina, tiga orang dewasa yang berada dalam ruangan itu pun seketika menganga. Terkejut dan nyaris tidak percaya.     

Bersamaan dengan itu suster yang mengawasi Lina pun datang.     

"Suster Apakah kau tidak memberikan obat penenang pada Lina?" tanya Elizbath.     

Wanita berusia 29 tahun itu nampak bingung. Harus memberi jawaban apa. Jujur salah berbohong pun jauh lebih salah. Untuk meminta pertimbangan akhirnya Kanita itu melirik kearah Lina.     

Bila memang tidak berkata apa-apa, namun suster itu bisa menangkap kode apa yang diberikan oleh eh pasien yang dijaga selama lebih dari seminggu ini.     

"Maafkan saya. Emang di sini Saya bekerja untuk anda dan anda yang menggaji saya. Namun, karena pasien yang saya jaga adalah nyonya Lina, saya juga harus menghargai apa pendapatnya. Dia mengatakan kalau dirinya tidak mau terus-terusan minum obat tidur. Tidak masalah terus-terusan terjaga merasa tersiksa atas kehilangan bayinya. Tidur hanya akan membuat otak nya menjadi rusak hatinya beku dan mati, yang akhirnya kelak dia tidak akan bisa mengingat lagi tentang putranya. Sementara dia sama sekali tidak menginginkan itu. Jadi, Nyonya Lina melipat kain, hingga menyerupai bayi, dan memperlakukannya seperti layaknya seorang bayi. Hanya demi menghibur dirinya."     

Elizabeth langsung menutup mulutnya sendiri. Dia menyesal telah berburuk sangka pada Chaliya.     

Sementara Axel, tidak peduli walaupun dia seorang pria sekalipun. Di depan kakek dan 2 wanita yang berarti dalam hidupnya, dia menitikkan air mata penyesalan. Ternyata selama ini apa yang dia pikirkan tentang Lina adalah salah. Lina adalah sosok yang kuat dan benar-benar tangguh melebihi yang dia kira. Seperti itu hanyalah sebuah kesengajaan. Mungkin selain menghibur diri, dia juga ingin menguji seperti apa dirinya menanggapi Lina yang tiba-tiba bermasalah ah mentalnya ketika anak mereka hilang.     

"Lina, maafkan aku, selama ini aku telah berburuk sangka padamu, Lin. Maaf," ucap Axel.     

Lina pun tersenyum. Namun, buliran bening tetap mengalir di kedua ujung netranya. "Tidak apa-apa. Aku sudah memaafkanmu jauh sebelum kamu minta maaf padaku. Dengan begini setidaknya aku juga tahu kalau kau menyayangiku dan sudah bisa menerimaku sepenuhnya. Terima kasih Axel atas cinta dan ketulusan yang kau berikan."     

Tidak hanya Axel dan Lina saja, yang terharu sampai mengeluarkan air mata. Tapi, Elizabeth, kakek Hardi dan suster yang ikut membantu rencana Lina pun juga ikut menangis. Dia tidak menyangka, akan menyaksikan hal seperti ini.     

"Bagaimana aku tidak mencintaimu? Kau adalah ibu dari putraku," jawab Axel. Ia pun melangkah, mendekati Lina kemudian memeluknya dengan satu tangannya. sementara, tangannya yang lain ia gunakan untuk menggendong Rajata.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.