Cinta seorang gadis psycopath(21+)

KABAR KURANG ENAK



KABAR KURANG ENAK

0"Tidak. Aku baru saja dari rumah tante Livia. Apakah ada masalah, Ma?"     
0

"Ya, ada. Masalah besar sekali." jawab wanita itu sambil merapatkan tubuhnya di atas sofa. Mungkin dia lelah karena sejak tadi dia terus saja mondar-mandir kesana kemari.     

"Sebesar apa sih, Mah? Biasa aja kali," jawab Axel dengan enteng.     

"Biasa aja kepalamu apa? Sistem keamanan perusahaan kita telah diretas. Mana mungkin mama bisa tenang Axel!" teriak Elizabeth dengan nada tinggi.     

"La terus aku harus apa? Dengan adanya kabar Ini Bisma pasti juga sudah tahu kan?" jawab Axel tidak membikin pusing permasalahan.     

"Ya, dia sudah tahu. Bahkan, dia juga yang kasih tahu mama."     

"Ya sudahlah, Mah. Bawa tenang aja, Mama seperti orang yang tidak tahu keahlian Bisma saja. Tidak lama lagi ya pasti juga akan datang membawa kabar baik."     

"Ting tong!"     

"Bibi... Coba lihat siapa yang datang. Jangan asal buka pintu!" teriak Elizabeth. Rupanya dia benar-benar tidak bisa tenang dengan kejadian ini.     

"Kenapa harus bibi? harusnya aku saja. Karena tadi pintu lupa tidak aku kunci," ucap Axel kemudian dia beranjak.     

Begitu akses membuka pintu ternyata benar Bisma yang datang. "Kau rupanya? Aku sudah menduga kalau itu kau. Apakah kamu membawa berita baik?"     

"Ya ada kabar baik sekaligus tidak. Di mana nyonya?" tanya seorang pria berusia tigapuluh lima tahun tersebut.     

"Itu ada di dalam. Masuklah!"     

"Bisma! Bagaimana?"     

"Identitas atas menuju pada Mr. Key. Dan satu kabar buruk lagi, bahwa di penjara tua Nicholas dan nyonya Miranda sudah tidak ada. Bagaimana?"     

"Bagaimana katamu? Kenapa kau masih bertanya padaku harusnya kau tahu kan apa yang harus kulakukan?"     

"Mamaku lagi pening. Kau jangan coba-coba cari masalah dengannya," bisik Axel sambil menginjak kaki Bisma.     

"Baiknya maafkan saya. Saya akan mengutip beberapa anak buah untuk mengatur kediaman rumah tuan Nicholas dan nyonya Miranda," jawab pria itu.     

"Nah begitu baru benar! Lakukan saja seperti yang sudah sudah."     

"Baiknya siap laksanakan!"     

***     

Tepat pukul satu dini hari Chaliya terjaga. Dan ini, dia terbangun yang keempat kalinya. Meskipun dia tahu, sekarang dia tidur di rumah mendiang Andra, dia tetap saja tidak bisa nyenyak seperti ada yang kurang jika dia tidak memeluk mayat Andra secara langsung.     

"Hhmmm! Masih jam satu, ya? Nunggu pagi kok lama banget, sih?" gumam Chaliya seorang diri. Dalam hati dia tiba-tiba merasa menyesal saja memiliki keputusan menginap di rumah calon mertuanya.     

Kini dia baru sadar kalau dirinya memang benar-benar tidak bisa jauh dari Andra. Sekalipun, dia tahu bahwa Andra yang dia simpan di bawah kolong tempat tidur sudah tak lagi bernyawa. Jasadnya tetap utuh karena adanya obat pengawet atau formalin.     

"Andra! Aku tidak bisa tidur. Kamu datang dong, ke sini," ucap Chaliya sambil berdiri di depan jendela.     

Tidak lama kemudian setelah gadis itu berkata demikian tiba-tiba angin berhembus lebih kencang.     

"Andra, itu kah kau yang datang? Aku sangat merindukanmu. Maafkan aku jika tidak pulang malam ini. Besok pagi, kan libur. Aku janji, akan dirumah terus tidak akan ke mana-mana. Karena aku tidak ada urusan apa apa di luar, untuk melakukan berjanji akan mematikan ponsel keseharian," ucap wanita itu kemudian ia beranjak ke tempat tidur dan memeluk guling.     

Guling yang dia peluk bahkan terasa lebi hangan dan nyaman dari sebelumnya. Bahkan, pipinya juga terasa seperti ada yang membelainya dengan lembut.     

Sehingga wanita itu merasa bahwa kehadiran atlet benar-benar nyata dan ada.     

Sejak saat itu Chaliya bisa tidur dengan pulas. Alhasil, dia pukul tujuh pagi baru terjaga di saat semua rumah sudah bersih dan rapi. Sarapan juga sudah siap tertata rapi di atas meja.     

Soal malu, jangan ditanya lagi. Seumur-umur setelah kematian Andra baru kali ini dia menginap. Tapi, malah mengajak dengan bangun terlalu siang. Sebagai calon menantu meskipun calon mempelai pria yang sudah tiada, harusnya dia bangun lebih awal sebelum ibu mertua. Dia membereskan rumah dan menyiapkan sarapan. Tapi, kenapa ini justru malah sebaliknya? Apalagi namanya juga bukan memalukan?     

"Ibu, selamat pagi. Maaf, aku tidur terlalu nyenyak sampai-sampai jam tujuh aku baru bangun," ucap Chaliya sungkan.     

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lembut melihat Chaliya yang wajahnya nampak pucat. "Syukurlah kalau kamu tidurnya nyenyak. Tidak masalah bangun kesiangan. Jadi masalah itu jika kamu tidak bisa tidur artinya kamu tidak betah di sini. Udah nggak perlu minta maaf anggap ibu ini ibu kandung kamu sendiri." jawab Livia dengan sabar dan lemah lembut.     

"Ah, ibu memang yang terbaik," ucap Chaliya manja sambil memeluk wanita itu. "Oh, iya. Arabella ada di mana, bu?"     

"Dia keluar bersama teman-temannya sejak setengah jam yang lalu. Kamu cepatlah sarapan mumpung masih hangat. Ibu membuat nasi goreng keju kata mendiang Andra itu adalah kesukaanmu.     

"Iya Bu. Chaliya sangat menyukai itu," jawab gadis itu.     

Akhirnya gadis itu pun duduk di kursi meja makan dan mulai menikmati sepiring nasi goreng keju buatan Livia.     

"Oh iya sudah sejauh mana hubungan kamu bersama Axel? Jika ibu lihat sepertinya dia juga baik. Bentuk sudah saatnya bagi kamu, melupakan Andra dan belajar membuka hati untuk Axel."     

"Untuk itu saya sudah berusaha Bu. Tapi perlu saya akui, ini sangat sulit dia yang menemani saya di saat saya belum memiliki apa-apa, dalam keadaan terburuk di letak paling bawah yang ada untuk memberi semangat hanyalah Andra bukan yang lain. Disaat yang lain pergi dan hanya bisa mentertawakan Andre yang merangkulku sampai seperti ini. Jadi, jangan salahkan aku jika aku sulit melupakan mendiang Andra, Bu."     

Mendengar ucapan yang terucap dari Chaliya, Livia pun menjadi terharu. Tanpa terasa, Air matanya pun ikut mengalir. Keduanya pun berpelukan.     

"Yang sabar, kamu ya Cha. Sudah kamu jangan sedih lagi. Biarkan dia tenang di alam sana. Ingatlah apa yang jadi pesannya dulu, agar kau tetap melanjutkan hidupmu dengan baik."     

Chaliya diam tak menjawab. Sendok dan garpu di tangannya lolos begitu saja. Tatapan matanya pun juga kosong.     

'maafkan aku, Ibu. Sudah berapa kali aku berusaha keras melupakan Andra. Apa yang kudapatkan? Bukan hari-hari yang lebih baik. Melainkan aku menjadi seperti orang yang mau gila saja. Sampai kapanpun, aku akan tetap mencintai Andra. Aku tidak akan menikah dengan siapapun. Termasuk Axel. Jika sudah tiba saatnya nanti, dia benar-benar jatuh cinta padaku, aku akan meninggalkan dia,' ucap Chaliya dalam hati.     

"Ibu yakin, kelak bersama nak Axel kau juga bisa bahagia. begitupun Andra. dia pasti juga akan senang melihatmu bisa tetap melanjutkan hidupmu dengan baik," imbuh Livia lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.