Cinta seorang gadis psycopath(21+)

TIKUS GOT



TIKUS GOT

0Tepat pukul sepuluh malam Chaliya menyelesaikan syuting iklan pertamanya setelah kematian Andra setelah beberapa kali menerima tawaran dari client hanya berupa foto saja tanpa video.     
0

"Sudah selesai?" tanya Axel setelah Chaliya masuk ke dalam mobilnya.     

"Iya, Nih. Jika belum, mana mungkin aku akan keluar dari lokasi?" jawab gadis itu sambil bersandar di kurisi di samping kemudi.     

"Tadi, siapa yang mengangkat telfon?" tanya Axel tanpa menoleh ke samping.     

"Kapan?" Chaliya seperti berusaha mengingat sesuatu. Lalu kumudia, "Oh, itu? Dia madam Vina. Tukang mekap," jawab Chaliya sambil sedikit tertawa.     

"Suara kaya cowok, sih?"     

"Iya, dong. Kan bencong." Chaliya membuka gawainya dan mulai bermain dengan game yang ada di sana.     

"Oh, banci ya? Coba sini lihat hp kamu!" ucap Axel sambil terus fokus mengemudikan mobil.     

"Kenapa memang?" tanya Chaliya bengong. Namun tetap saja memberikan gawainya, padahal, dia lagi seru-serunya main game. Hanya saja dia memang tidak terlalu maniak yang harus berusaha mati-matian untuk menang. Ini hanya game biasa di mana pemenang tak dapat apa-apa dan yang kalah juga tak dirugikan apapun.     

Axel menggenggam benda pipih berwarna rose gold tersebut dan mengambil ponselnya sendiri. Tak lama kemudian berdering ponsel Chaliya dan muncul nama tikus got dengan foto pria tampan bermata biru keabu-abuan.     

"Apa ini, Cha? Bisakah kau menjelaskannya?" ucap Axel sambil menunjukkan bahwa di memanggil nomornya, serta nama kontak pemanggil dari layar ponsel Chaliya.     

Seketika kedua mata Chaliya terbelalak kaget. 'Oh, my good! Kenapa aku bisa lupa mengganti Namanya? Tapi, bukankah baru tadi, aku merubahnya, dan kenapa dia tiba-tiba saja meminta ponselku dan melakukan hal konyol ini?' umpat Chaliya dalam hati.     

"Apa-apaan ini Chaliya? Kenapa, Ketika aku menelfonmu yang muncul nama tikus got? Fotonya juga fotoku," ucap Axel sekali lagi.     

"Itu, ya? Karena aku… " Chaliya kali ini nampak kikuk. "Karena aku ingin. Memangnya, kenapa? Dengan menamai kontakmu seperti itu,  tidak membuat salah satu organ tubuh hilang, kan?"     

"Chaliya…. Kau!" Dengan gemas Axel langsung menerkan tubuh Chaliya, dengan berani dia menggigit bibir gadis itu sampai gadis yang di bawah cengkramannya kehabisan napas.     

"Hey, kau apa yang kau lakukan?" teriak Chaliya setelah berhasil mendorong tubuh pria itu.     

"Apa yang aku lakukan? Ya tentu saja hal yang aku inginkan," jawab Axel sambil terkekeh.     

"Ini sangat tidak lucu." Chaliya menyapu kasar bibinya bekas bibir Axel. Ia masih merasa jijik jika harus berciuman dengan pria lain selain Andra. Sekalipun sekarang yang dia cium hanyalah sebujur mayat. Itu lebih baik baginya.     

"Jika kau memang buru-bur mau pergi, kenapa gak bilang sama aku saja? Aku kan bisa ninggalin kantor lebih awal juga dan mengantarkanmu ke  sana," ucap Axel.     

"Aku berfikir, kalau lebih baik kau mengantarkan Lina pulang saja. Dia pasti akan lebih merasa senang melebihi kesenangannya saat makan siang bersama di cafetaria tadi."     

Axel memandang gadis di sebelahnya bicara. Melihat dari gelagatnya, dan juga nada bicaranya, dia seperti gadis yang tengah cemburu. "Tapi, aku lebih ingin membuatmu bahagia dan senang saat bersamaku," goda Axel.     

"Kamu ini bicara apa? Belum kering tanah kuburan istrimu kau berani-beraninya."     

"Sebelum kematiannya, aku dan dia sudah resmi bercerai. Buktinya, akua da akta cerai. Kalau kau tak percaya, ayo ke rumah kutunjukkan padamu."     

"Aku tidak mau tahu."     

"Nikah, yuk! Mau sampai kapan kau akan berstatus lajang?"     

"Bukan urusanmu!" cetus Chaliya kesal.     

Lagi-lagi Axel tertawa. Hingga akhirnya mereka pun sudah tiba di rumah Chaliya.     

"Karena ini sudah malam, anda jangan mampir, ya Pak?" ucap Chaliya santun sambil melepaskan kaitan sabuk pengamannya.     

"Ya sudah, jangan lupa, besok pagi aku akan menjemputmu," teriak Axel.     

Mendengar hal itu, Chaliya berbalik arah, ia membungkuk mengintip ke dalam jendela sambil berkata, "Jangan harap!"     

Axel tersenyum miring. Ia semakin penasaran dan tertantang saja untuk mendapatkan hati Chaliya. Meskipun belum mengakui, ia yakin dari cara Chaliya bersikap, jelas kalau sebenarnya dia sudah ada rasa. Hanya saja, dia enggan mengakuinya, entah enggan atau malu saja karena kata-katanya.     

"Ingat, aku akan berusaha keras mendapatkan cintamu Chaliya. Perkataan mu hanya akan membuat diriku tertandang saja," gumam Axel seorang diri setelah gadis itu masuk ke dalam pagar.     

Cukup lama Chaliya menunggu Axel pergi. Setelah di rasa aman, gadis itu memesan tax online dan segera pulang ke rumahnya. Senagaja dia tidak membawa mobil milik mendiang Andra. alasannya agar Axel tidak tahu di mana Chaliya sebenarnya tinggal.     

Seperti biasa, setiap kali Chaliya datang ke rumah, dia selalu menjumpai Andra yang baginya hidup. Gadis itu duduk bersila di samping kasur, dan melipat kedua tangannya di tepi ranjang Andra dan meletakkan dagu di atas kedua punggung tangannya.     

"Halo, Sayang, apa kabar kamu? Apakah harimu cukup menyenangkan hari ini? Aku ceritakan sesuatu sama kamu, kuharap kau suka dan tidak cemburu, oke? Tadi, aku menggoda kakakmu, Axel.  Kurasa kau tahu seperti apa ekpresiku tadi, kan? Aku yakin dengan begitu, dia pasti mengira kalau aku sudah benar-benar jatuh cinta padanya. Karena, wanita jaim akan malu-malu mengakui perasaannya. Dia hanya akan bersikap suka marah-marah tanpa sebab saja. tapi, intinya, aku hanya memancing agar dia lebih keras berjuang dapatin hatiku. Meski sebenarnya hanya ragaku yang dia dapat."     

Jenazah itu tetap diam seperti biasanya. Dengan mata terpejam kulit putih pucat, dan tentu saja tidak bergerak sama sekali.     

"Oh, iya. Aku lupa belum memberikan suntikan padamu. Aku tidak mau kau sampai sakit dan kenapa-napa. Pokoknya, kamu harus sama aku selamanya, sampai akhir hayatku," ucap Chaliya. Kemudian, dia beranjak mengambil jarum suntik dan vormalin cair berwarna putih bening dan menyuntikkan ke beberapa titik tubuh Andra seperti yang sudah dokter rencanakan.     

"Sudah, ya sayang, kau pasti lelah. istirahatlah. Aku juga mau tidur. Besok aku harus bekerja lagi," ucap gadis itu, kemudian bersiap berbaring di sebelah jenazah Andra dan memeluknya.     

Saat chaliya mulai terlelap, benda pipih yang ia letakkan di kasur atas, tempat tidurnya saat ada orang lain dan tak berani membuka di bagian kolong, berdering cukup kencang dan memekakan terlnga. Chaliya mengucek sebelah mataynya dengan tangan kiri dan mengumpat tak jelas.     

"Kau lihat! Siapa orang yang tak punya etika telfon semalam ini?" ucap Chaliya. Tentu, dia tujukan pada jenazah yang kini dalam pelukannya.     

Takut itu adalah panggilan yang menawarinya pekerjaan endorse, dengan berat karena sudah sangat mengantuk diraihnya ponsel itu dan melihat si pemanggil.     

"Riki? Kenapa dia menelfonku setelah sekian lama tidak ada menghubungiku?" tanya Chaliya yang ditujukan pada dirinya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.