Cinta seorang gadis psycopath(21+)

AXEL



AXEL

0"Tok… tok… tok!"     
0

"Masuk!" jawab seorang pria dari dalam ruangannya.     

Gadis bertubuh jenjang itu masuk dengan membawa berkas yang diminta oleh bosnya sejak lima menit yang lalu.     

"Anda meminta saya membawakan laporan bulan lalu bukan, Pak?" ucap Reyna, sekertarisnya. Entah ap yang terjadi dengan dirinya saat ini. Dia yang selalu memakai pakaian seksi dan minim kini seolah berganti selera dalam memilih pakaian.     

"Chaliya?" gumam Axel yang tengah melamun. Mungkin karena sudah berhari-hai tidak makan minum dan tidak tidur sama sekali sehingga kosentrasinya turun. Setiap gadis yang memiliki tubuh tinggi dan langsing, selalu ia mengiranya adalah Chaliya. Padahal, nyatanya yang kini ada dihadapannya adalah Reyna.     

"Brug!"     

"Pak Max!" teriak Reyna bingung dan juga panik. Ia taj tahu apa yang harus ia lakukan. Menolong pria itu yang tiba-tiba terjantuh dari kursinya dan tak sadarkan diri atau ememinta bantuan. Saking paniknya dan ingin melakukan dua hal secara bersamaan, gadis itu hanya keluar masuk ruangan itu tanpa melakukan apapaun. Sehingga akhirnya, ia meletakkan berkas yang ia bawa ke atas meja dan berusaha mengangkat tubuh Axe. Tapi, sepertinya dia tidak kuat. Beberapa hari tak makan tetap saja tidak membuat berat badannya menjadi ringan.     

"Siapapun, tolong ada yang pingsan!" teriak Reyna akhirnya.     

Kebetulan, saat itu ada beberapa OB dan dua orang staf pria. Jadi, merekalah yang membawa Axel ke dalam mobil dan ke rumah sakit.     

Entah, sudah berapa lama dia pingsan, saat ia mendapatkan kembali kesadarannya. Saat ia mengedarkan pandangannya, yang nampak hanya putih. Tangannya juga sudah terdapat jarun infus dengan cairan yang mengalir lebih deras. Tentu saja, itu dilakukan dokter karena dia lama tidak makan dan juga dehidrasi.     

'Sudah kuduga, ini di rumah sakit,' batin Axel saat melihat seoang wanita duduk tegap di sebelahnya sambil membaca sebuah buku yang lumayan tebal. Kira-kira sekitar empat ratus lima puluh halaman.     

"Apakah ada Chaliya, Ma?" tanya pria itu begitu tersadar.     

Elizabeth memandang aneh ke arah putranya. Kemudan meletakkan buku di tangannya dan berdiri menhgampiri Axel. Untung saja dia ingat kalaun putranya sedang sakit. Atau, dia akan menjitak keras kepalanya.     

"Chaliya? Reyna yang membawamu ke sini. Katanya, kau tiba-tiba saja terjatuh dari tempat dudukmu dan tak sadarkan diri. tidak ada Chaliya di kantormu," jawab wanita itu dengan sebal.     

"Oh, apakah kira-kira ada masalah dengan mataku, Ma? Mungkin setelah menghbiskan satu botol infus kau bisa mengantarku ke sebuah optic mata?" jawab pria itu sambil melohat cairan infus yang sudah tinggal setengah.     

"Bukan matamu yang bermasalah Xel. Tapi, isi di dalam otakmu. Gak usak ke tukang optic. Tapi, datang saja ke spikolog. Nanti, semua akan normal. Kau, kenapa selama berhari-hari gak makan? Mau berubah jadi Zombie?"     

"Ma, tolong bantu aku, Ma. Pliis!" ucap Axel tiba-tiba saja dia memohon dengan penuh kerendahan hati.     

"Ap aitu? Katakana? Tapi, jika ada kaitannya dengan wanita lain, maaf. Mama tidak akan membantumu. Ingat, kau ini adalah seorang suami. Bukan pria bujang lagi yang bebas mau ngecengin gadis mana saja yang kau anggap cantik dan juga menarik."     

"Haaah! Aku hanya minta agar mama melakukan sesuatu supaya Chaliya mau kembali bekerja saja, sih Ma."     

"Tidak Xel. Mengetahui itu Wulan akan sedih. Bagaimana jika dia sudah kembali lagi ke tanah iar dan melohat Chalia yang sudah resign kembali lagi bekerja di perusahaanmu dengan jabatan dan posisi bergengsi yang banyak diidam-idamkan semua staf terutama cewek?"     

"Ya gak baimana-bagaimana, Ma. Aku akan katakana kalau perusahaan butuh sosok seperti Chaliya."     

"Kau ini. Tidakkah kau berfikir kalau itu hanya akan membuat Wulan bisa hilang kepercayaan adamu dan membencimu, nanati?"     

Axel diam emmalingkan wajahnya. Dia tak ingin lagi berdebat dengan mamanya tapi, dalam hati ia bergumama kalau sedikitpun ua tidak peduli sama sekali dengan Wulan. Hilang kepercayaan dan bercerai mungkin juga akan lebih bagus. Setidaknya dia taka akan ada ikatan lagi saat mengejar Chaliya nanti.     

"Kapan Axel bisa pulang, Ma?"     

"Tunggu kondisimu stabil. Apakah kau makan sesuatu?" tawar wanita itu.     

"Tidak. Aku tidak lapar."     

"Meskipun kau tidak lapar, tetaplah makan. Apa yang ingin kau makan?"     

"Apapun asa mama mau membantuku."     

Wanita itu pun kesal. "Mama tidak pernah mengajarimu menjadi pria kurang ajar dan tidak setia terhadap pasagan. Jika memang kamu mau makan, minta lah bantuan pada Suster. Namun, jika tidak terserah. Mama tidak peduli sama kamu lagi." Wanita iru pun kerluar meninggalkan Axel seorang diri. sementara di dalam ruangan itu hanya tinggal Axel sendirian. Kebtulan sekali dia dirawat di kamar VVIP.     

Di ruar kamar inap putranya, Elizabeth mulai merasa gundah terkait permintaan putranya, ia mulai berfikir untuk mempertimbangkan apa yang Axel pinta demi kebaikannya. Bagaimana pun, dia adalah pewaris tunggal perusahaan dari kedua orangtuanya dan juga mendiang sang suami.     

Meras putus asa, Elizabeth pun pergi ke toko bunga, setelahnya ia membawa ke makam suaminya. Di sana, ia taruh satu buket bunga di depan batu nisan dan menyebar kelopak mawar dan melati di atas pusarannya dan mulai berbicara dengan batu nisan tersebut seolah batu itu adalah suaminya. Itu yang selalu Elizabth lakukan di saat ia mulai rapuh dan menyerah.     

"Leonel, lama sekali aku tidak datang mengunjungimu. Andai saja ada keajaiban yang bisa menghidupkan mu lagi, apakah kau bisa menerimaaku setelah kau lihat sendiri siapa yang benar-benar mencintaimu dan ada di saat suka maupun duka?" ucap Elizabeth sambil mengelus batu nisan tersebut.     

"Coba, aku tanya padamu, adakah kau datang untuk sekedar melihat seperti apa putramu? Dia benar-benar anakmu. Tidak hanya fisiknya saja yang mirip. Tapi kecerdasan dan keras kepalanya pun juga sama sepertimu. Sekarang, dia mencintai wanita lain setelah pernikahannya bersama Wulan lebih dari setahun setengah. Untuk kasus ini, aku tidak menyamakan antara kau dan dia tidak. Aku hanya ingin bertanya padamu, sebagai seorang ibu ynag menyayanginya, apa yang harus aku lakukan? Menemui gadis itu agar mau memberi kesempatan pada Axel, menerima menjadi yang kedua, atau membiarkan saja dia terkapar tak berdaya dengan selang infus di rumah sakit karena tak mau makan dan minum selama berhari-hari akibat ditolak cintanya?"     

Cukup lama Elizabeth duduk di sebelah pusaran suaminya. Banyak hal yang dia tumpahkan pada mendiang suaminya. Meskipun mungkin juga suaminya tak akan tahu jika dia berkata seperti itu. namun, ia yakin suaminya tahu dan mendengar semua yang dia katakan. Hingga ia pun lelah dan puas menumpahkan segala beban di hatinya. Ia pun memilih untuk pergi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.