Cinta seorang gadis psycopath(21+)

ADAKAH BUKTI?



ADAKAH BUKTI?

0"Ya, memang tidak ada bukti kalau dia adalah Alea. Tapi, kau percaya kan, kalau kebenaran itu akan tetap menang?" ucap Wulan.     
0

"Iya. Ya sudah, biarkan aku membersihkan badan dulu," ucap Axel kemudian beranjak ke kamar mandi untuk berendam air hangat.     

Pikiran pria itu melayang ke mana-mana. Hampir dua tahun membina rumah tangga dengan Wulan, rupanya ia mulai bosan dengan rumah tangga yang ia jalani. Ingin bercerai, tapi itu pasti akan menimbulkan masalah baru.     

"Xel, apakah kau lapar? Jika iya, mungkin aku bisa memasakkan kamu sesuatu," teriak Wulan dari luar.     

"Tidak. Kau jika mengantuk, tidurlah dulu. Aku lelah dan masih ingin berendam dulu," jawab Axel dari dalam. Padahal, itu hanya alasannya saja agar bisa mengulur waktu.     

"Baiklah."     

Setengah jam kemudian, Axel memutuskan untuk menyudahi berendam selain airnya sudah tak lagi hangat, kulitnya juga sudah putih pucat, dan kuku-kukunya nampak membiru. Dugaan Axel benar, Wulan sudah tertidur pulas.     

Axel mengambil gawainya yang tergelat di atas nakas kemudian ia keluar kamar dan turun ke lantai atas. Di halaman belakang, ia menelfon mamanya yang saat ini tengah berada di London. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Artinya, di sana juga jam dua belas. Hanya saja di sana masih siang. tepat sekali, jika mamanya engah berada di kantor, ini adalah jam istirahatnya.     

"Halo, Xel. Tumben kau menelfon mamamu ini. Apakah kau baru ingat jika masih memiliki seorang mama?" omel wanita itu dari seberang sana.     

"Ma, apakah jadi masalah? Jika aku misalnya bercerai dengan Wulan?"     

"Apa? Kamu biacara apa barusan? Oh, di sana sudah lewat tengah malam, ya? Cepatlah tidur. Kau pasti nglindur, kan?"     

"Aku tidak mengigau, Ma. Aku ini serius," jawab Axel meyakinkan.     

"Kamu ini bertanya apa, sih Xel? Kenapa kamu mendadak melantur begini? Apakah ada masalah?" tanya mama Elizabeth penasaran.     

"Mama cukup jawab saja. Iya, atau tidak?" jawab Axel seolah tak menerima basa-basi dari mamanya apalagi pengalihan topik.     

"Rupanya kau masih saja keras kepala. Jika masalah, oasti ada, Xel. Sekalipun tidak besar dampaknya dengan perusahaan, tapi yang jelas, hubungan mama dengan kedua orangtua Wulan yang akan renggang bahkan retak persaudaraan. Kenapa kamu bertanya demikian? Ada masalah apa sebenarnya kamu dengan Wulan sampai berfikir ke perceraian?"     

"Aku bingung, Ma harus memulainya dari mana dulu. Sudah tujuh bulan ini kami menjalani rumah tangga yang tak sehat," jawab Axel sambil mengusap wajahnya sendiri dengan tangan kanan.     

"Pertengkaran dalam rumah tangga itu biasa, Xel. Kalian hanya perlu saling lrbih mengerti satu sama lain saja. mama lihat, Wulan itu anaknya baik, kok. Masa iya, kamu mau cerai?"     

Axel diam. Dalam hati ia mengumpat, 'Kau hanya melihat luarnya saja, Ma. Dia memang santun terhadapmu karena dia memperlakukan dirimu sebagai mertua, pastil ah dia akan jaga image di depanmu. Lain halnya jika bersamaku, seperti apa dia sebenarnya aku tahu karena aku yang hidup bersamanya.'     

"Xel, kau juga sudah tahu, kan abagaimana rumah tangga mama dan mendiang papamu dulu? Mama hanya diam dan mengalah saja apa maunya. Memang sakit. Tapi, itu mama lakukan demi kamu, Sayang. Mama juga mengerti, dia tidak benar-benar mencintai wanita di luar sana. Karena, tidak ada satu pun dari mereka yang dinikahi. Papamu hanya butuh pengakuan bahwa dirinya hebat dan banyak dikagumi wanita lain selain mama saja."     

"Jika aku bertahan, demi siapa, Ma? Anak kami belum punya."     

"Ya sudah, pelan-pelan kamu cerita, ya sama mama. Sebisa mungkin mama akan bantu kamu pecahkan masalah ini, oke?" ucap mama Elizabeth.     

Axel tersenyum tipis. Ia merasa lega. Memang, tidak ada orang lain yang bisa mengerti dirinya jauh lebih baik daripada mamanya. Dia tidak akan menghakimi dirinya secara bebas dan memandang sebelah mata. Ia akan bertanya dulu, penyebab dan akar permasalahannya, barulah setelah itu ia akan memutuskan siapa yang salah dan tidak. Namun, tetap saja, ia tidak akan pernah memojokkan yang salah. Bagi Axel, mamanya adalah satu-satunya wanita yang terhebat di dunia ini.     

"Sejak tujuh bulan terakhir ini, hubungan rumah tanggaku dengan Wulan mulai tidak baik-baik saja, Ma. Tepatnya kapan Axel lupa yang jelas, semenjak kedatangan seorang dari Thailand itu, dia berubah aneh dan mengada-ngada."     

"Mengada-ngada bagaimana maksud kamu, Xel?"     

"Dia marah-marah gak jelas, katanya, gadis bernama Chaliya itu adalah Alea. Pokoknya dia aneh banget, Ma. Mana mungkin dia Alea? Wajah bentuk badan dan tingginya saja tidak sama."     

"Xel, Wulan berkata demikian dengan penuh keyakinan pasti ada sesuatu. Gak mungkin semua terjadi secara instans dan begitu saja, kan?"     

"Memang, Ma. Singkatnya jadi begini, katanya, Chaliya berbicara dengan Wulan seperti suara Alea, dia juga mengakui bahwa dia adalah Alea. Entah gimana dia bisa sampai separno itu. mama jangan anggap Axel hanya diam tanpa melakukan apapun, Axel sudah menyelidiki dia dan mencari informasi terkait dirinya di Thailand sana. Dia memang benar-benar Chaliya sejak lahir. Tidak ada Riwayat keluar negeri. Ke sini ikut pacarnya."     

"Atas dasar apa, Wulan yakin meskipun demikan, Xel?"     

"Y aitu tadi, Ma. Sekarang dia bawaannya ribut melulu. Kami juga sudah melakukan pemeriksaan pada ahli bedah plastic. Dia natural, gak pernah oprasi plastic katanya. Sekarang malah cemburu dan menyebut Chaliya wanita jalang."     

"Ya sudah, kamu kirim foto dan data dirinya. Mama akan coba selidiki ulang," ucap Elizabeth, sebelum mengakhiri panggilan dengan putra semata wayangnya.     

Axel menghela napas. Meskipun tidak semua beban di hatinya ia tumpahkan pada mamanya, setidaknya itu sudah membuat dirinya menjadi lebih baik karena beban di hatinya sudah banyak berkurang.     

Tidak seperti biasanya, saat Axel terjaga, ia sudah melihat Wulan sudah berpakaian rapi. Bahkan, baju dan keperluan kantornya juga sudah dia siapkan di atas laci kamar.     

"Selamat pagi, Xel. Kamu sudah bangun? Cepat mandilah, aku akan menunggumu di meja makan," ucap gadis itu dengan ceria.     

Axel diaam sambil beberapa kali mengusap wajah dengan kedua tangannya. "Kenapa sekarang Wulan jadi labil gini, ya? Dia sangat moody. Cepat sekali berubah-ubah?" gumam Axel seorang diri. kemudian ia memaksakan dirinya agar bangun dan segera bersiap.     

"Tumben sekali, jam segini sudah rapi?" tanya Axel saat di meja makan.     

"Iya, aku akan berangkat lebih awal. nanti, kita makan siang bareng, ya?"     

"Boleh, di mana?"     

"Terserah kamu saja. tapi, apa sebaiknya aku ke kantor mu saja apa, ya? Tidak masalah kan buat kamu kalau aku ke sana?"     

"Tentu saja. perlu kujemput?"     

"Tidak, aku akan berangkat sendiri."     

Axel melihat ke arah dada Wulan. Ada sebuah pin kecil berbentuk bunga Daisy dan Mutiara. Itu adalah pin yang ada kamera kecilnya yang ia berikan pada Wulan beberapa hari. Kini, wanita itu telah memakainya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.