Cinta seorang gadis psycopath(21+)

MEMBABI BUTA



MEMBABI BUTA

0'Lihat saja, Alea. Kau sekarang sudah tidak akan bisa lolos dariku lagi,' batin Wulan sambil mengelus kamera kecil yang ia letakkan di bajunya.     
0

Wulan tahu, suaminya memang selalu datang lebih awal. Jika jam kerja di mulai pukul delapan pagi, maka pukul enam dia sudah berada di sana. Meskipun tidak setiap hari. Tapi, dia lebih sering demikian. dengan begitu, dia bisa tahu, petugas kebersihan mana yang rajin dan datang di awal.     

Seperti biasa, Wulan selalu menunggu Chaliya di tempat biasa, dari halte bus, dan dekat dengan pintu gerbang perusahaan.     

Chaliya tahu, kalau sudah ada yang menunggu. Tapi, kali ini dia sedang tidak mood bermain-main dengan nenek sihir itu. capek dia dikata dengan sebutan jalang lagi. Padahal, dirinya tidak benar-benar jalang. Buktinya, semalam dia juga bisa menolak dengan tegas dan melarikan diri saat suaminya hampir meninginkan dirinya.     

"Alea! Alea!" teriak Wulan.     

Namun, gadis yang dipanggil dengan nama itu masih saja terus berjalan. Sebab, itu bukanlah nama identitasnya sekalipu dia tahu, yang memanggilnya adalah nyonya boss dan jelas dialah yang dipanggil olehnya. Namun, itu rasanya mencurigakan. Gak mungkin Wulan memanggilnya seperti itu jika tidak menyiapkan perangkap sebelumnya untuk dijadikan bukti setelah kecewa dengan hasil penyelidikan terkait dirinya.     

"Heh! Apakah kau tuli?" teriak Wulan sambil menarik lengan Chaliya di depan umum. Sebab, banya pejalan kaki dari perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan suaminya dan, juga sebagian karyawan suaminya.     

"Nyonya Wulan memanggil siapa? Saya mendengarnya nama Alea,' jawab gadis itu pelan dan santun.     

"Jelas saja dirimu! Kau pernah katkan padaku, bukan kalau kau ini adalah Alea?"     

Chaliya diam, ia memasang ekspresi bingung. Meskipun dia diam, siapapun yang melihat wajah cantik nan polos itu, pasti akan menangkap jika dia bingung, Ale aitu siapa? Aku mengatakan bahwa dirki Ale aitu kapan?     

"Anda bicara apa saya tidak mengerti. Saya ini Chaliya Rose," jawabnya sambil berusaha tersenyum di tengah-tengah kebingungannya.     

"Kamu jangan berlagak bego! Dasar Jalang! Cepat akui bahwa dirimu Alea. Kau sengaja merubah penampilan dirimu menjadi seperti ini karena tidak terima ditinggal pak Max suamiku, kan? Kau ingin merebutnya dari ku bukan?"     

Chaliya sepintas melihat cayaha kecil warna merah dari pin daisy yang dipakai oleh Wulan pada bajunya. 'Oh, bawa kamera kecil di baju, ya? baik jika kau memang ingin gila! Ayo aku bantu,' batin Chaliya.     

Sementara di belakang mereka, banyak orang yang sudah mengelilingi mereka dan ikut menonton Chaliya dipermalukan oleh istri CEO mereka sendiri.     

"Apakah mereka saling kenal sebelumnya? Masa sih Chaca ada naksir sama pak Max? Kita semua tahu kan dia bukan type gadis ganjen dan suka caper pada siapapun?" ucap mereka saling berbisik namun nyaring sehingga, omongan itu bisa di dengar oleh Chaliya walau samar-samar.     

"Pak Max? Saya sedikit pun tidak ada pikiran untuk merebut dia dari anda, Nyonya. Anda berkata saya kan merebut dia kembali? Kalian ini orang baru bagi saya, bagaimana bisa?"     

"Plak!" sebuat tamoaran keras mengenai pipi Chaliya hingga memerah.     

"Sudah cukup sandiwara kamu, Alea! Aku muak, sekarang kamu akui kalau kau ini Alea bukan Chaliya. Kau adalah pembunuh yang kejam kau psikopat!" teriak Wulan membuat gadis di depannya memasang ekspresi takut sampai menitikkan air mata. Seolah dirinya telah difitnah dengan sangat keji.     

Melihat ketidak adilan di depan mata, salah satu teman baik Chaliya berlari ke dalam. Ia melapor pada pak Max kalau bu Wulan istrinya tengah membuat keributan. Mendnegar akan hal itu, pria tersebut langsung meninggalkan pekerjaan dan ikut berlari ke depan melihat apa yang terjadi.     

"Wulan! Apa yang kau lakukan?" teriak Axel saat melihat Chaliya di hadapannya dihajar habis-habisan oleh Wulan tanpa perlawanan. Sementara orang-orang yang berkerumun hanya diam dan menonton, seolah itu adalah tontontonan yang asik dan seru.     

Wulan tidak mau berhenti, terakhir yang ia lakukan sebelum suaminya datang melerai, ia menendang tepat di muka Chaliya hingga gadis itu pun tak sadarkan diri dengan darah yang banyak mengalir dari hidung dan ujung bibir.     

"Wulan! Kau ini apa-apaan, sih? Kau bisa dikenai pasar sebagai pelaku kekerasan," ucap Axel kesal sambil memegangi istrinya.     

Sementara orang-orang yang sebagaian besar adalah karyawannya, hanya diam mematung di tempat tidak ada yang bergerak.     

"Hey, kalain! Apakah tidak lihat, Chaliya tak sadarkan diri? Panggil ambulan cepat! Tahu ada kejaian seperti ini hanya menonton saja, tidak mau melerai," teriak Axel, marah.     

"Karena bu Wulan mengancam kami, siapapun yang akan melerai atau menolong Chaliya akan dipecat secara tidak terhormat," teriak salah satu staf yang tadi menyusul Axel.     

"Wulan, kau ini… " Axel merasa kesal tak meneruskan lagi kalimatnya.     

"Kenapa? Apakah kau tidak terima, jalangmu aku perlakukan seperti ini, hah?" ucap Wulan penuh kebencian.     

Axel diam. Ia mengambil kamera kecil pemberiannya yang Wulan kenakan untuk melihat kejadian sebenarnya. Tentunya, itu pun juga tanpa Wulan sadari. "Ayo, ikut aku ke kantor!" ajak pria itu sambil menarik istrinya. Sementara orang-orang yang tadi berkerumun telah buyar dengan sendirinya tanpa Axel minta.     

"Apakah kau kurang puas dengan hasil dari semua penyelidikan kita kemarin, Wulan? Dia itu bukan Alea ataupun orang lain. Tapi, ya memang Chaliya, sama seperti kau yang sejak lahir adalah Wulan," ucap Axel.     

"Terserah, aku yang akan membuktikannya agar kau tahu kalau dia adalah gadis spikopat itu, Xel!"     

"Melihat karaktermu yang begini, aku malah taku, kalau kau yang nanti jadi psicopath, Wulan. Ayo, aku antar kau ke psekiater!" ucap Axel. Dia tidak kesal. Tapi, benar-benar khawatir dengan keadaan istrinya.     

"Apa kau bilang? Apakah kau sudah tidak waras? Tega kau, Xel berkata seperti itu, hah?" ucap Wulan merasa terdozlimi.     

"Kamu percaya apa tidak kalau aku melakukan ini juga demi kebaikanmu?" ucap Axel.     

"Bai kapa, Xel? Dengan kau berkata demikian saja kau sudah meragukan kejiwaanku," ucap Wulan. Kemudian ia pergi meninggalkan ruangan suaminya dengan menggebrak pintu.     

Axel hanya diam dan mengelus dada saja. tak lama kemudian, sebelum dia memulai lagi pekerjaannya yang sempat tertunda, sebuah panggilan di nomor pribadinya berbunyi. Dia pikir siapa, ternyata mamanya.     

"Halo, Ma. Ada apa?" tanya pria itu dengan suara lelah. padahal, ini masih pagi. belum saatnya untuk selelah itu.     

"Xel, mama sudah menyelidiki Chaliya dari akar. Mama tahu semuanya," jawab pria itu.     

Seketika, Axel langsung meluruskan posisi duduknya dan bertanya pada mamanya dengan penuh harap. Seperti apapun dia, rasanya tak ingin melihat Wulan yang sebelumnya ia anggap sebagai adik menjadi salah satu pasien di rumah sakit jiwa. "Iya, Ma. Apakah kau menemukan kejanggalan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.