Cinta seorang gadis psycopath(21+)

TERKUAK



TERKUAK

0Jevin tersenyum tipis seorang diri. ia beranjak dan meraih bend aitu dan terus menatap dan mengelus gambar adik satu-satunya yang sudah lama ini menghilang.     
0

"Prank!"     

Pria itu langsung menoleh ke belakang dengan cepat saat mendengar benda yang pecah. Itu tidak terdengar seperti barang jatuh. Melainkan sengaja di banting oleh seseorang.     

"Axel! Apakah itu kau?" tanya Jevin. sampai beberapa detik masih tidak ada jawaban. Pria itu meletakkan foto berbingkai kayu ukiran tersebut dan melangkah perlahan menuju ke sumber suara.     

Saat ia tiba di ruang tengah, ia dikejutkan oleh sosok Alea yang berdiri di sana dengan sebilah piasu dan menyeringai padanya. Ia bertambah kian seram dengan penampilannya yang bisa dikatakan berantakan tak seperti biasa. Rambut kusut, badan kian kurus dan lingkat mata di kedua kelopak mata bawahnya. Menampakkan sekali kalau hidupnya akhir-akhir ini begitu mengenaskan.     

"Alea?" Jevin kaget setengah mati. Ia berfikir, apakah Alea juga yang membanting sesuatu barusan? "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jevin. berusaha tenang meskipun sebnarnya takut karena gadis di depannya itu membawa pisau yang siap melukai dirnya jika saja dia mengayunkannya dengan cepat ke depan.     

"Ya, aku di sini. Akan membawamu bertemu dengan adik tersayangmu," bisik Alea nyaris tak terdengar.     

"Apa... apakah Intan yang kau maksud, Alea? Kau tahu, dia di mana?" tanya pria itu penuh harap. Ia yang terlalu berlarut-larut dengan rasa sedih dan rindunya sampai tidak dapat berfikir jernih. Sehingga, ia masih bisa berbinar penuh harap saat gadis yang membawa pisau perang itu berkata demikian.     

"tentu saja. Apakah kau sudah tak sabar?" tanya Alea sambil melangkah lebih dekat.     

"Ya, ayo bawa aku ke sana jika benar kau memang tahu keberadaan adikku Intan."     

"Jevin, Lari!" teriak Axel dari tempat persembunyiannya.     

"Maka, aku pun juga tidak sabar membawamu bertemu Intan. Pergilah kau ke Neraka!" teriak Alea dan menusuk perut Jevin dengan dalam sampai pria itu bersimbah darah dan tubuhnya ambruk.     

Alea menoleh ke belakang. Ia melihat Axel sudah tidak jauh dari tempatnya. Belum juga gadis itu berlari, Axel lebih cepat menangkap dirinya.     

"Lepaskan aku! Kau jangan ikut campur dengan ini!" teriak Alea sambil berusaha melepaskan diri.     

"Tidak. Apa yang kau lakukan?"     

"Hahahaha. Kau ini bodoh, atau idiot, Axel? Kejadian sudah di depan mata tapi kau masih bertanya apa yang aku lakukan?" jawab Alea sambil tertawa terbahak. "Karena sudah kepalang basah, dan kau juga sudah mengetahui itu, maka kukatakan. Intan tidak menghilang, tapi aku yang membunuhnya. Aku tahum kau dapat laporan dari Wulan terkait karya baruku itu, kan? Kau juga tahu, seseorang yang sudah mengetahui banyak hal itu pantas mati, kubuat kau dan Jvin segera menyusul Intan ke neraka!" Alea memberontakkeras sehingga ia berhasil melukai lengan Axel dan lolos.     

Axel yang memang tidak sendiri, di dalam pengawasan teman-teman satu timnya langsung mendapatkan pertolongan dari Levy.     

"Apakah ini sakit? Dasar keras kepala. Harusnya kau biarkan dia keluar melewati pintu utama. Kami akan menangkapnya," omel Levy.     

"Aku sakit butuh pertlongan Lev, bukan ceramah darimu. Kamu tolong saja Jevin!"     

"Apakah kau buta? Dia sudah dievakuasi dan di bawa ke rumah sakit," jawab Levy sambil menjahit luka di lengan Axel.     

"Argh… pelan-pelan! Apakah kau tidak memberikan bius?"     

"Sudah. Kau diam saja!"     

"Kau melakukan ini sangat buruk! Dokter macam apa kau ini?"     

"Aku bukan dokter. Tapi, koas. Harusnya kau memaklumi, dan cukup katakana saja terimakasih atas bantuanku ini. Sudah selesai," ucap Levy dengan bangga.     

"Argh!" kembali Axel meringis. Karena keadaan darurat, Levy melakukan tindakan di saat obat bius yang ia pasang belum bekerja sepenuhnya.     

"Halo, lapor. Kami kehilangan jejak Alea!"     

"Terus waspada dan lakukan pencarian. Minta pada komandan Soeseno untuk mengirim pasukan menjaga tante Yulita dan juga Wulan. Mereka berdua dalam keadaan yang tidak aman. Karena, kita tidak tahu, ke mana Alea pergi dan melakukan serangan mendadak!" ucap Levy.     

***     

Alea kembali berjalan normal setelah melepaskan hodie hitam dan celana jeans panjangnya. Sekarang, ia hanya memakai kaus pres body warna pink bergambar tikus dan celana pendek sebatas lutut saja. ia berjalan layaknya orang biasa yang lalu lalang. Dalam hati ia tersenyum menertawai pasukan Axel yang kehilangan jejaknya.     

"Hemh, sekelompok manusia tidak berguna. Jadi, ternya Axel itu adalah seorang Intel yang menyamar? Elit sekali, samarannya, sebagai CEO. Apakah sengaja Wulan melapor pada Axel agar menangkapku? Awas saja, kau Wulan!" runtuk Alea.     

Merasa pulang bukanlah tempat yang aman dan pilihan bagus, Alea memutuskan untuk bersembunyi ke tengah hutan saja. dia sudah sering keluar masuk ke sana. Jadi, taka da hal yang perlu dikhawatirkan. Apalagi, di sana di antara dua pohin beringin terdapat sebuah gubuk tua yang dihuni oleh nenek tua yang pernah memberinya the melati saat ia prustasi dengan pertengkaran sang ayah dan ibu. Ide baik jika dia sembunyi di sana.     

Tiba di gubuk itu, Alea mengangkat tangannya hendak mengetuk pintunya. Namun, belum juga pintu diketuk, sudah terdengar sahutan seseorang dari dalam yang sudah tidak lagi asing di telinga Alea.     

"Masuklah, Cu!"     

Alea tersenyum tipis. Merasa kedatangannya memang sudah di sambut, tanpa ragu-ragu gadis itu pun membuka pintu dan masuk ke dalam. Di sana, ia nelihat seorang nenek bungkuk dengan tongkat di tangan kiri dan secangkir teh yang masih mengepulkan asab di tangan kananannya tersenyum memandang ke arahnya.     

"Nenek? Apakah anda tahu kalau saya akan datang?"     

"Kenapa tidak? Kita sudah saling terhubung sejak beberapa tahun silam. Duduklah! Hawa di luar cukup dingin. Nenek ada the melati hangat untuk kau minum."     

Dengan patuh Alea duduk di kursi tersebut dan mulai menyeruput teh tersebut. Baru seseruput ia meminumnya, ada reasksi aneh dalam dirinya. Pikiran tenag dan yakin, ia bisa menghadapai masalah yang ia hadapi saat ini. Sesulit apapun itu. rasa yang akrab, yang dulu pernah ia rasakan juga Ketika Ia datang kemari.     

"Kau adalah buronan para polisi, benar?" tanya nenek itu, mem=ngawali pembicaraan.     

"Nenek tahu segalanya?" tanya Alea dengan mata masih memandang teh dalam genggamannya.     

"Sudah nenek katakana, kalau kita sudah saling terhubung satu sama lain. Apa yang kau pikirkan sampai harus datang lagi ke sini setelah bertahun-tahun lamanya kau tidak datang? Nenek lah yang menuntunmu datang kemari, Cu."     

Alea diam sesaat. Diam-diam, ia memuji sekaligus mengagumi kesaktian yang nenek ini miliki.     

"Karena kondisinya seperti ini, kau istirahtlah dulu. Di sini aman, tidak aka nada yang melukaimu. Besok, saat tenagamu sudah pulih, lanjutkan kembali dendammu pada Wulan, dan juga Axel. Bunuh sekalian Jevin dan papamu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.