One Night Accident

IMPOTEN 18



IMPOTEN 18

0Enjoy Reading.     
0

*****     

Zahra duduk dengan kikuk. Biasanya dia hanya naik bus. Dan kalau pun naik pesawat pasti hanya mampu yang kelas ekonomi. Tapi, sekarang baru naik saja dia sudah disambut. Baru duduk sudah ditawari ini dan itu. Belum lagi pramugari yang selalu tersenyum dan siap sedia kapan pun Jovan memanggilnya.     

Begini ternyata rasanya naik pesawat pribadi. Pelayanan nomer satu. Tempat duduk luas bahkan kata Jovan ada ranjang juga di dalam jika Zahra mau menghabiskan perjalanan sambil tiduran.     

Perjalanan hanya 40 menit. Yang ada baru nyenyak-nyenyaknya dia sudah dibangunin. Mending duduk anteng saja.     

"Kamu kenapa sih, kaku banget? udah pernah naik pesawat kan?" tanya Jovan melihat istrinya yang terlihat resah.     

"Itu, embaknya bisa suruh ke mana gitu. Jangan berdiri di sana terus, kasihan pasti capek berdiri." Zahra sebenarnya risih dilihat sama pramugari itu dari tadi.     

"Kamu nggak nyaman?"     

Zahra hanya diam saja.     

"Kalau nggak nyaman bilang, jangan diam saja. Istri Jovan harus berani. Nggak perlu malu-malu."     

"Ya sudah sih. Mbaknya suruh pergi kamu. Seneng banget ya ditungguin cewek cantik." Zahra melengos.     

"Kamu cemburu sama pramugari? di sini kan istri aku kamu, kamu dongk yang usir. Kan kamu nyonya Jovan. Kamu yang berkuasa." Lagian sebagai istri pertama Zahra harus berani mengatur. Kayak Queen gitu yang tegas, biar nanti bisa mengatur selir yang lain dan dikemudian hari tidak ada pertengkaran antar istri-istri setelah Zahra.     

Zahra kesal sekali. Kenapa dia malah disuruh-suruh. "Mbak, tolong ke belakang saja. Nanti kalau mas Jovan butuh. Kami panggil," ucap Zahra akhirnya.     

"Baik bu." Pramugari itu langsung menuju ke ruangan untuk kru pesawat.     

Jovan tersenyum. "Kamu panggil mas?"     

"Kata bapak. Aku kan dari jawa, masak malah panggil Aa. Katanya nggak cocok. Lagian dulu Om Marco walau wajahnya bule juga di panggil mas waktu tinggal di Jogja."     

"Mas Marco. Kok geli ya. Tapi ... mas Jovan. Cocok-cocok." Jovan mengangguk puas.     

Sama saja kali. Sama-sama aneh. Tapi, aneh nggak aneh biarlah. Masak Zahra mau panggil nama doang ke suaminya. Tidak sopan dong.     

"Dedek Zahra, deketan napa duduknya. Jauh amat. Kayak suami istri lagi berantem saja." Zahra mendekat.     

"Deketan lagi." Zahra diam.     

"Maunya dideketin ya." Jovan mepet ke arah Zahra.     

"Masss, masih luas kan di sana. Ngapain sih mepet-mepet." Jovan tidak perduli dan malah merebahkan kepalanya ke pangkuan Zahra.     

"Nanti kalau sudah sampai bangunkan ya." Jovan memeluk perut Zahra dan memejamkan matanya. Punya istri memang enak ya, bisa bermanja-manja.     

Ini baru satu. Kalau nanti selirnya sudah ngumpul sepuluh. Pasti senang. Ada yang ngelus-elus, ada yang mijitin, ada yang nyediain minum, ada yang nyuapin makan, ada yang mandiin. Terutama kalau malam. Pasti Anunya bisa puas dimanja-manja.     

Jovan langsung tertidur lelap sambil membayangkan kebahagiaannya.     

Zahra menegang saat Jovan mempererat pelukannya. Duh ... kenapa sih Jovan itu suka peluk dan cium sembarangan. Zahra kan bawaannya jadi deg-degan terus.     

Kalau lama-lama jantungan bagaimana.     

***     

"Selamat datang di keluarga kami," ucap Javier membuat Zahra bingung. Bukannya pernikahannya disembunyikan dulu sampai Jovan berhasil membatalkan perjodohannya dengan putri Inggris?     

"Nggak apa-apa. Javier tahu semuanya." Lagi pula mana bisa Jovan ngumpetin rahasia dari Javier.     

Mereka kembar bukan hanya pajangan. Mereka berbagi semuanya, rasa senang, kecewa, sakit bahkan rahasia-rahasia yang tidak diketahui orang tua mereka.     

"Terima kasih mas Javier," ucap Zahra kikuk.     

"Mas?" Javier mengangkat sebelah alisnya dan menatap Jovan.     

"Dek, kamu panggil mas ke aku saja. Ke Javier panggil kakak. Oke."     

Zahra mengangguk.     

"Masuk kamar gih, istirahat dulu. Kamarnya yang itu." Jovan menunjuk kamarnya.     

Zahra menarik kopernya dan masuk ke dalam kamar yang ditunjuk oleh Jovan.     

Begitu Zahra masuk Javier langsung merangkul Jovan dan menariknya menjauh. "Kamu beneran nikahin Zahra? Gila kamu ya?"     

Javier memang ingin Jovan berubah tapi begitu melihat Zahra dia jadi kasihan. Pernikahan kok buat mainan.     

"Kalau aku nggak nikahin Zahra. Impotenku nggak bakalan sembuh. Buktinya begitu menikah baru lihat betisnya Zahra saja Anuku langsung cenat cenut pengen dielus."     

"Tapi anak orang jangan buat mainan dong. Pernikahan bukan hal sepele Jov. Jangan seenaknya kawin cerai."     

"Siapa yang mau kawin cerai. Aku nikahin Zahra serius, nggak bakalan aku cerai. Kecuali dia nggak mau dipoligami trus minta cerai. Bukan salahku dongk."     

"Memang nggak bisa ya nggak usah poligami?"     

"Nggak bisa dongk. Itu kan sudah jadi cita-citaku. Aku bahkan sudah ngincer cewek Korea buat jadi selir kedua. Mungkin yang selanjutnya bisa India atau Afrika. Biar keturunanku berfariasi. Dari rambut pirang, hitam. Mata biru sampai coklat. Kulit putih, hitam. Semua harus ada. Biar adil dan merata."     

Javier menatap saudaranya takjub. Terserah sajalah. Yang penting dia bahagia. "Ya sudah, aku pulang saja. Males di sini. Paling nanti malam kamu berisik."     

"Kakakku memang paling pengertian." Jovan tersenyum lebar.     

"Jangan lupa hubungi om Marco. Aku males kalau di tanya-tanya." Javier keluar dari apartemen Jovan dan masuk ke apartemennya sendiri.     

Melihat Javier sudah keluar Jovan langsung menepuk jidat. Ia lupa belum laporan sama pamannya itu. Bisa heboh nanti kalau Jovan tidak segera menghubungi. Jovan mengambil ponselnya dan mendial nomor Marco. Pada deringan pertama langsung diangkat.     

"Tumben sigap banget paman ngangkatnya?" tanya Jovan heran.     

"Kamu sudah kembali ke Jakarta? Zahra ikut?"     

"Iya, baru saja sampai. Zahra lagi istirahat di kamarku."     

"Zahra ngapain di kamarmu? Jangan macam-macam kamu ya? Zahra itu sudah paman anggap anak sendiri. Awas kalau kamu usilin."     

"Zahra kan tinggal di apartemen Jovan Paman, bagaimana sih."     

"Kenapa Zahra tinggal di apartemenmu? Apartemen paman kenapa? barang-barang dia juga masih ada yang di apartemen lama. Balikin Zahra sekarang. Jangan kamu modusin."     

"Paman yakin mau membiarkan Zahra tinggal di apartemen lama? Yang sebelahan sama Junior dan Queen? Sudah siap kalau Zahra di jahatin Junior lagi? Atau di jambak-jambak sama Queen karena di kira masih berharap jadi mantunya Paman?"     

"Benar juga ya. Ya sudah kamu pindah ke apartemenku biar Zahra tinggal di apartemen kamu."     

"Jovan mah santai Paman. Bisa pulang ke rumah bisa tidur di apartemen Javier. Banyak tempat ini. Lagian gara-gara pergi ke Jogja, Jovan sekarang akrab sama keluarga Zahra. Makanya paman jangan kaget kalau nanti Zahra panggil Jovan mas. Soalnya keluarga Zahra sudah nganggap Jovan anak sendiri."     

"Benarkah? Baguslah, berarti Eko benar-benar sudah maafin aku. Dan karena sekarang kamu akrab jadi paman tugaskan kamu yang jaga Zahra mulai sekarang. Jangan sampai lecet. Jangan sampai ada yang nyakitin."     

"Beres Paman. Serahkan semua pada Jovan."     

"Ya sudah kalau begitu. Sebagai hadiah paman lulusin masa koasmu. Jadi, segera masuk kampus untuk ambil spesialisasi."     

"Serius Paman? Wah ... Paman Marco emang paling pengertian."     

"Hallo Paman? Yah di matiin." Jovan menaruh ponselnya begitu saja.     

Sudah sore. Lebih baik dia mandi terus bisa ngerasain perawan berhijab.     

Yessssss.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.