One Night Accident

IMPOTEN 48



IMPOTEN 48

0Enjoy Reading.     
0

***     

Javier menghela nafas pasrah. Dia sudah mengakui semuanya pada Zahra.     

Tapi tidak ada respon apa pun darinya. Zahra tetap setia dengan kebungkaman dirinya.     

Javier sudah mengatakan  bahwa apa yang terjadi pada Zahra tidaklah 100% kesalahan Jovan. Tapi juga dirinya yang ikut andil di semua rencana hidup Jovan. Jadi wajar kalau Jovan merasa di kerjai dan di rugikan.     

Keinginan Javier yang mau Jovan bertobat hingga tercetus ide gila Alxi tentang Jovan yang impoten. Di tambah dukungan Javier terhadap pernikahan Jovan dan Zahra. Padahal Javier sendiri tahu pasti seberapa Bejad adik kembarnya itu.     

Semuanya dia ceritakan tanpa ada lagi yang di tutup-tutupi.     

Tapi ... Percuma. Sepertinya Zahra sudah tidak mau mendengarkan siapa pun lagi.     

"Zahra aku pergi dulu," ucap Javier setelah menunggu hampir setengah jam tapi Zahra masih diam saja. Padahal dia sudah membuka semua dosanya.     

"Sekali lagi Aku minta maaf."     

"Bukan hanya Aku tapi Alxi, Junior dan Jovan. Semoga bisa kamu maafkan."     

Jovan berdiri dan mengembalikan kursi ke pojok ruangan.     

"Jika kamu membutuhkan sesuatu. Katakan saja. Aku akan berusaha mengabulkannya."     

Hening.     

"Aku ... Pergi. Maaf sekali lagi." Javier berbalik dan berjalan menuju pintu.     

Cklekkk.     

"Aku mau pulang."     

Deggg.     

Javier menghentikan gerakan tangannya yang membuka handle pintu. Dia berbalik melihat Zahra yang duduk di atas ranjang.     

"Aku mau pulang ke Jogja."     

Javier mendekati Zahra. "Aku akan meminta izin ke Mom dan Daddy agar kamu bisa pulang."     

"Aku mau pulang sekarang. SEKARANG JUGA." Zahra benar-benar sudah tidak tahan berada di Cavendish.     

Semenit di sini terasa sangat menyiksa. Apalagi jika teringat bahwa semua yang ada di Cavendish telah menipunya.     

"Baiklah. Aku akan mengantarmu pulang. Tapi, setelah kondisimu cukup baik melakukan perjalanan panjang." Javier membujuk. Khawatir jika Zahra memaksa melakukan perjalanan dalam keadaan sakit akan membahayakan bayi di dalam perutnya.     

"Aku mau sekarang ya sekarang. Kamu bilang akan mengabulkan keinginanku. Mana?" Zahra sudah menangis lagi.     

"Aku harusnya tahu. Kamu enggak mungkin menuruti keinginanku. Dan harusnya aku juga tahu keluarga Cavendish itu pintar merayu dan menipu. Semuanya PEMBOHONG." Zahra mengusap air matannya dengan kasar. Lalu kembali merebahkan tubuhnya dan langsung memunggungi Javier.     

Javier tahu Zahra menangis lagi dari gerakan bahunya yang terlihat gemetar.     

"Zahra ... Aku akan mengantarmu pulang jika memang itu yang kamu inginkan. Tapi sebelumnya izinkan aku  atau dokter memeriksa keadaanmu agar lebih setabil sebelum naik pesawat."     

"Aku tahu kamu marah, kecewa dan sakit hati. Tapi kamu juga harus ingat bahwa di dalam perutmu ada bayi yang harus di perhatikan." Javier mendekati ranjang Zahra.     

"Apa kamu memang berniat membuat bayimu terluka karena naik pesawat puluhan jam tanpa pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu?"     

Mendengar itu Zahra langsung berbalik menatap Javier kesal. "Aku tidak jahat seperti kalian."     

"Makanya sekarang kamu makan lalu minum obat. Jika besok pagi demammu sudah turun dan kondisimu setabil. Aku akan membawamu pulang." Javier mengambil nampan di meja dan menaruhnya di pangkuan Zahra.     

"Apa kamu mau makan yang lain?" tanya Javier menawarkan.     

Zahra menggeleng. "Aku mau pulang." Kekeuh Zahra.     

"Iya. Aku pasti mengantarmu pulang. Sumpah deh. Sekarang makan ya. Nanti aku kasih vitamin dan obat penguat kandungan." Javier memperhatikan Zahra sebentar. Memastikan dia benar-benar makan sebelum keluar dari kamarnya.     

"Bagaimana keadaan Zahra?" Ai langsung menghampiri Javier yang baru keluar dari kamar Zahra.     

"Dia sudah mau makan."     

"Syukurlahhh. Bayinya baik-baik saja kan?"tanya Ai khawatir.     

Javier mengangguk. "Zahra minta pulang ke Indonesia."     

Ai membuka mulutnya dan menutupnya lagi. "Kalau itu yang dia mau. Kabulkan. Pasti dia hanya akan menderita di sini," ucapnya sedih.     

"Mommy tenang saja. Javier akan memastikan dia selamat sampai rumahnya."     

Ai memeluk Javier sayang. "Jaga Zahra ya. Mom percaya padamu. Katakan padanya mom minta maaf karena anak mom sudah membuatnya kecewa." Ai melepas pelukannya.     

"Berikan apa pun yang Zahra mau. Bahkan jika dia minta berpisah dari Jovan." Ai mendesah sedih. "Mom tidak tahu harus bagaimana lagi. Tapi mom bangga punya anak sebaik dirimu dan betapa beruntungnya Jovan karena menjadi saudaramu."     

"Aku tidak sebaik itu." Bantah Javier.     

"Kamu tidak sempurna. Tapi momy tahu kamu lebih dewasa dan mengerti dari pada saudaramu yang lainnya."     

"Jadi kapan kalian berangkat?" tanya Ai memastikan.     

"Besok pagi kalau kondisi Zahra sudah memungkinkan."     

"Hati-hati ya. Mom mungkin tidak bisa mengantar kalian ke bandara karena harus mengusir Jovan dari dekat Zahra."     

Javier mengangguk lagi.     

"Selamat malam. Mom menyayangimu." Ai mengecup pipi Javier sebelum kembali ke kamarnya.     

"Aku juga sayang mom," bisik Javier lirih.     

:lizard::lizard::lizard::lizard::lizard::lizard::lizard::lizard::lizard:     

"Apa kamu merasa mual?" Javier melihat Zahra yang duduk dengan gelisah.     

Javier sudah memeriksa kesehatan Zahra sebelum berangkat dan semuanya baik-baik saja. Kenapa sekarang Zahra terlihat tidak nyaman.     

Zahra tidak mual, tidak juga merasa tidak enak badan. Zahra hanya ingin sesuatu. Dan entah kenapa itu tidak tertahankan.     

Apa ini yang namanya ngidam.     

"Zahra? ada apa?" Javier menatap wajah Zahra bingung saat melihat matanya berkaca-kaca.     

Zahra menunduk dan malah menangis.     

"Zahraaa? Apa ada yang sakit?" Javier jadi khawatir.     

Zahra menggeleng.     

"Terus kenapa menangis?" Javier bingung. Dia kan belum pernah ngurus wanita hamil.     

"Aku mau rujak," ucap Zahra masih menangis. Tahu pasti tidak akan ada rujak di pesawat.     

Javier menelan ludahnya susah payah. Rujak. Kenapa harus rujak. Ini bayinya Jovan nggak bisa ngidam pas ada bapaknya apa ya.     

Javier menghela nafasnya. Dia lupa, kalau Jovan membuang Zahra yang jadi bapaknya itu bayi kan dia. Jadi mending Javier turuti dari pada calon anaknya ileran.     

"Kamu mau rujak? Okee aku akan bikinkan rujak. Buahnya apa saja boleh kan?" tanya Javier memastikan. Semoga Zahra tidak minta buah yang langka.     

Zahra mengangguk. " Apa saja, yang penting rujak."     

Javier bernafas lega. "5 menit dan rujaknya akan ada di hadapanmu. Jadi jangan nangis lagi. Oke." Javier langsung melesat ke arah pramugari yang bertugas dan menyuruh mereka menyiapkan buah dan cabai karena Javier akan membuat rujak.     

Untung ada cabe di sana.     

"Rujak apel sudah siap." Javier menaruh rujak buatannya di depan Zahra. Karena hanya ada buah apel di sana. Jadi ya rujak apel sajalah. yang penting kan rujak.     

"Enak?" tanya Javier sambil tersenyum saat melihat Zahra menikmati rujak buatannya.     

Zahra yang asik makan langsung menoleh ke arah Javier. Dan dia terpaku.     

Senyum Javier kenapa harus sama dengan senyumnya Jovan. Wajah mereka juga sama. Kenapa sih Jovan harus punya kembaran.     

Gara-gara lihat Javier kan Zahra jadi ingat Jovan terus.     

Dan setiap mengingat wajah Jovan, terasa ada yang menyangkut di tenggorokan Zahra. Matanya kembali berkaca-kaca. Dadanya sesak tidak terkira.     

"Tidak enak ya?" Javier salah tingkah lagi melihat air mata Zahra kembali menetes.     

"Zahraaa."     

Zahra memalingkan wajahnya. "Pergi, jangan dekat denganku. Duduk sana di pojokan yang jauh. Aku benci lihat wajahmu," ucap Zahra dengan air mata kembali bercucuran.     

Kenapa berat sekali melupakan orang yang dia cintai. Kenapa sakit sekali jika teringat Jovan.     

Zahra tidak mau mengganggu kebahagiaan orang lain demi kebahagiaan dirinya.     

Jovan hanya akan bahagia dengan putri Ella dan Zahra harus rela melepaskannya.     

Lagi pula untuk apa menahan orang yang jelas-jelas tidak menginginkan dirinya.     

Sakit.     

tapi Zahra bisa apa?     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.