One Night Accident

PATAH HATI



PATAH HATI

0Happy Reading.     
0

****     

Sementara di kediaman David.     

"Lo berdua emang parah! Gue beneran nggak nyangka kalian senista ini!" Vano ingin sekali memukul Marco hingga babak belur. Sayanganya perasaan Lizz yang sekarang paling utama. Dengan menatap kecewa Marco dan Ai, Vano membalikkan badan, mencoba mengejar kakaknya.     

"Marco, kok lo diam saja sih?" tanya Ai bingung melihat reaksi Marco yang terlihat santai.     

"Terus gue musti gimana?"     

"Kejar! Istri lo lah, LIzz itu salah paham."     

Marco menatap Ai malas. "Ngapain? Sudah ada Vano yang mengejar."     

"Kok Lo bego banget sih! Kalau gara-gara ini istri lo minta cerai bagimana?" tanya Ai khawatir.     

"Kalau Lizz minta cerai ya ... berarti salah lo," jawab Marco santai dan malah duduk lagi di sofa.     

"Kok salah gue? Ya salah lo! Elo yang selingkuh!"     

"Siapa juga yang selingkuh? Elo yang peluk dan cium gue. Gue mah kagak ngapa-ngapain."     

"Gue 'kan nggak sengaja. Lagian ngapain itu muka pake acara noleh segala? Gue tadinya cuma mau cium pipi sebagai ucapan makasih udah ngehibur gue yang lagi sedih. Elu malah noleh, jadi kena bibir!"     

Marco berdecak. "Bilang aja lo emang seneng bisa nyium bibir gue. Udah biasa gue dapet cewek modus kayak gitu. Bibir gue kan emang cipokable banget."     

Ai memandang Marco seperti ingin muntah. "Bibir cipokable? Yang ada gue harus bersihin bibir gue pake kembang tujuh rupa gara-gara udah nempel ke bibir lo!" ucap Ai dongkol dan langsung pergi ke kamar atas sambil menghentakan kakinya.     

Ai yang awalnya merasa bersalah karena menjadi penyebab kesalah pahaman Lizz, sekarang jadi tidak mood sama sekali. "Bodo amat mereka mau cerai juga. Justru bagus kalau Lizz cerai sama Marco. Kasihan Lizz dapet laki nggak peka kayak gitu. Kalo perlu, Ai bakal cariin Lizz cowok yang lebih kece badai dari pada Marco!" ucap Ai ngedumel sendiri.     

Sementara itu, Marco hanya duduk diam sambil memijat pelipisnya. Sebenarnya bukan dia tidak cemas. Tetapi dia sengaja tak mengejar Lizz karena pasti istrinya itu masih marah saat ini. Marco hanya memberi waktu agar Lizz tenang dulu sebelum dia menjelaskan. Percayalah wanita tidak bisa diajak bicara ketika emosi. Biar redam dulu baru dihampiri.     

Marco sebenarnya sudah merasa bersalah karena sebulan ini dia menjauhi Lizz. Marco hanya tak ingin khilaf dan menubruk Lizz secara tiba-tiba. Karena tubuhnya selalu tak bisa mentolerir itu. Walau begitu, dia tetaplah seorang suami yang harus menafkahi istrinya. Bukan hanya lahir tapi batinnya juga. Makanya Marco sudah menyiapkan cuti selama seminggu akhir bulan ini. Biar bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami. Yaitu menyetorkan kecebong aktif ke arah sel telur istimewa milik istrinya.     

Tujuannya tentu saja menyenangkan istrinya, baik di luar maupun di ranjang. Marco tak peduli jika setelah itu tubuhnya akan kesakitan. Setidaknya dia akan mengusahkan itu tiap sebulan sekali agar memiliki keturunan.     

*****     

"Kak ... sudah dong nangisnya? Malu. Entar dikira aku ngapa-ngapain Kakak," Vano berusaha membujuk Lizz yang masih betah jongkok menangis di pinggir jalan.     

"Marco jahat ... hiks! Ai ... hiks! Juga jahat!"     

"Iya, mereka emang jahat. Entar kita sunat bareng-baren deh. Sekarang pulang dulu yuk. Boleh nangis lagi kok kalau udah di rumah. Sepuasnya malah."     

"Tapi Van. Aku nggak mau Marco di sunat lagi. Entar kita nggak punya anak dong .... hiks!! Eh ... tapi sunat sajalah, ngapain juga punya suami kayak dia. Burung menclok ke mana-mana sedang sarangku sendiri di biarkan begitu saja. Huaaaa ... Aku benci mereka." Lizz kembali menangis histeris.     

Vano menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kakaknya ini sedang patah hati, tapi masih sempat berpikir memiliki anak. Kalau cewek lain diselingkuhinya, langsung mikir minta cerai. Sementara Kakaknya malah mikir anak. "Terserah Kakak aja Marco mau di apain entar Vano bantuin deh. Yang penting, sekarang pulang. Vano nggak mau bonyok dihajar massa," kata Vano saat melihat orang-orang disekitar mereka mulai memperhatikannya.     

"Janji?!"     

"Iya. Janji. Pulang yuk, Vano anterin .Entar sampe rumah, Vano masakin Spaghetti deh," bujuk Vano.     

"Beneran Vano mau masakin Spaghetti?"     

"Iya, pulang yuk." Lizz mengangguk semangat dan langsung menggandeng Vano.     

Sementara Vano cuma geleng-geleng kepala. Baru kali ini dia lihat Kakaknya menangis sampai ngesot dipinggir jalan kayak bocah.     

Bujukannya juga sepele. Cuma Spaghetti. Cewek memang gudangnya misteri.     

****     

Lizz sudah berhenti menangis begitu mereka sampai di rumah. Seperti janjinya Vano segera membuatkan kakaknya spageti sesuai yang dia inginkan.     

Lizz yang tadi sempat menangis sesenggukan sekarang baru merasakan efek lelahnya, setelah selesai makan dan merasa kenyang Lizz memilih kembali ke kamar dan mandi.     

Vano tidak mencegah karena tahu kakaknya butuh waktu sendiri. Namun Vano juga tidak akan meninggalkan Lizz di saat seperti ini. Vano duduk di ruang tamu, siap sedia jika kakaknya membutuhkannya sewaktu-waktu.     

Lizz mandi sambil melihat pantulan tubuhnya di cermin. Dia merasa tubuhnya tidak kendor maupun keriput. Dadanya bulat dan kencang, pinggulnya ramping, pahanya juga mulus. Tetapi ... memang tidak sebanding dengan body goal yang dimiliki Ai.     

Mengingat penghianatan Marco, Lizz kembali menangis hingga matanya terasa membengkak.     

Lizz merasa lelah. Tanpa repot-repot memakai bra, Lizz menarik salah satu kemeja milik Marco dan mengenakannya. Kalau di film-film wanita memakai kemeja pria terlihat sexy dan menggoda. Namun ... kenapa Lizz merasa biasa saja.     

Ah ... kepala Lizz menjadi pusing karena kesedihan. Semakin memikirkan suaminya itu, Lizz semakin sakit hati. Akhirnya Lizz memilih berbaring dan tidur. Ingin melupakan sejenak kemelut rumah tangganya.     

****     

Bugh ...!     

Marco langsung mendapat bogem mentah dari Vano begitu memasuki rumah di mana Lizz berada. "Apa-apaan lo?" tanya Marco sambil memegang wajahnya yang berdenyut karena pukulan Vano.     

"Elo udah bikin Kakak gue nangis, dan sekarang masih nanya apaan?" Benar-benar lelaki menyebalkan, batin Vano semakin kesal.     

"Ck! Itu cuma salah paham."     

"Lu kira gue bego? Gue juga lihat pake mata kepala sendiri."     

"Terserah! Kalo nggak percaya, tanya Ai sendiri. Lagian gue nggak butuh ngejelasin apa pun ke lo. Karena Gue mau ngomong langsung Lizz." Marco hendak naik ke lantai atas di mana Marco yakin Lizz ada di kamar mereka.     

"Kalo gue nggak izinin?" tanya Vano sambil menghalangi jalan Marco.     

"Lo nantangin gue? Yakin lo berani?" Wajah garang Marco seketika membuat Vano deg-degan.     

"Emang kenapa?" tanya Vano berusaha tak kenal takut.     

"Dari segi manapun gue lebih unggul. Elo nantangin gue? Mau mati?" tanya Marco dan langsung menyingkirkan tubuh Vano dari hadapannya.     

"Demi Kakak gue, mati pun gue jabanin!" teriak Vano dipunggung Marco yang sudah berlari ke arah tangga.     

Marco tidak mempedulikan ucapan Vano dan memilih segera menemui istrinya.     

Sementara Vano hanya bisa menatap Marco dengan rasa marah tanpa bisa tersalurkan. Kenapa Vano punya kakak ipar bodyguard sih. Mau menghajarnya jadi mikir-mikir sendiri kan. Ah ... sialan.     

*****     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.