One Night Accident

INI TIDAK MUNGKIN



INI TIDAK MUNGKIN

0Baper reading.     
0

****     

"Jadi, bagaimana?" tanya Ai pada Vano.     

"Aku tak tahu," ucap Vano sambil menunduk.     

"Harus ada yang memberi tahunya," ucap Ai dengan wajah sedih.     

"Tapi, Aku tak tega mengatakannya," ujar Vano dengan lemah.     

"Apalagi aku, baru menatap Lizz saja aku sudah ikut sedih," kata Ai mulai meneteskan air mata.     

Vano menyugar rambutnya ke belakang karena bingung. Kakaknya Lizz itu terlalu lembut, terlalu perasa dan rapuh. Apa yang akan terjadi dengannya kalau tahu suaminya sudah meninggal. Membayangkannya saja Vano ikut merasa sesak dan sedih.     

"Kenapa, Marco harus pergi? Padahal mereka baru menikah selama enam bulan pasti lagi mesra-mesranya. Nasib Liz sungguh malang. Hiks ... baru merasakan cinta, hiks ... sekarang dia malah menjanda hiks …" ucap Ai dengan air mata yang bercucuran. Tak sanggup lagi menahan kesedihan, melihat Maid sekaligus teman satu-satunya mengalami nasib yang sangat mengenaskan.     

Vano memijit pelipisnya merasa pusing, sejak mendapat kabar kematian kakak iparnya beberapa jam yang lalu. Dia tidak berhenti khawatir, selalu mengecek keadaan Lizz yang belum mengetahui apa pun keadaan Marco. Tapi firasat seorang istri sangat kuat, sejak kemarin Lizz mengatakan pada vano hatinya merasa resah dan tak tenang. Bahkan, Lizz terlihat melamun sehingga menjatuhkan berbagai barang yang sedang dibersihkan.     

"Sekarang hiks ... bagaimana? Apa aku suruh mereka saja yang bilang?" tanya Ai menunjuk Willy dan Billy. Marco memang kadang menyebalkan, bertingkah seolah dia bukan pengawal tapi seperti dialah bosnya. Tapi ... bagaimanapun Juga Marco itu baik dan sering berguna di saat yang tepat.     

Vano menggeleng. "Aku yang akan mengatakannya, terasa lebih menyakitkan kalau dia tahu dari orang lain."     

"Tapi, kapan kamu akan kasih tahu?" tanya Ai kembali menangis.     

"Aku lagi berusaha mencari kalimat yang tepat. Tak mudah mengatakan hal yang bisa menghancurkan hati orang terdekatmu."     

"Tapi mau sampai kapan, Vano? Lizz harus segera tahu, sebelum tubuh Marco dibawa pulang. Jangan sampai dia shok nanti."     

"Iya, aku tahu! aku hanya takut Lizz kenapa-napa. Makanya kamu diam dulu, aku berpikir gimana caranya kasih tahu kakak, kalau Marco sudah meninggal."     

Prangg ..!     

Mendengar suara benda yang pecah, Vano dan Ai sontak menoleh ke belakang. Lizz terlihat berdiri dengan nampan dan gelas yang jatuh dan berhamburan di bawah kakinya.     

"Ka ... kak?"     

"Lizz?"     

Vano dan Ai berucap serempak dengan wajah pucat pasi.     

"Apa maksudnya Marco meninggal?" tanya Lizz memandang mereka secara bergantian.     

Vano berdiri lalu menghampiri kakaknya "Kak ..." Vano menatap wajah Lizz dengan raut penyesalan.     

"Apa maksudnya, Vano?" tanya Lizz, tidak mempercayai pendengarannya.     

"Kakak yang sabar ya. Vano dapat kabar dari Alex, Kak Marco meninggal saat membantu menyelamatkan Sandra dari penculiknya," ucap Vano mengelus bahu Lizz berusaha menenangkan.     

Lizz menepis tangan Vano, "Kamu bercanda jangan keterlaluan, nyawa orang bukan mainan!" kata Lizz sambil menatap tajam adiknya.     

Vano memandang kakaknya sedih, "Kakak yang kuat ya. Walau nggak ada kak Marco, masih ada Vano, Ai, David, Billy dan Willy yang bersama kakak."     

"Kamu jangan melantur, Vano!" ucap Lizz.     

"Lizz! Marco memang sudah meninggal, kamu yang kuat ya," ucap Ai lalu menutup mulutnya dan terisak pelan.     

"Ai? kamu bersekongkol dengan mereka?" tanya Lizz mulai berkaca-kaca dan terasa sesak di dada.     

Ai menggeleng dengan air mata bercucuran.     

"BERCANDA KALIAN NGGAK LUCU!" teriak Lizz tanpa sadar air mata sudah mengalir di pipinya.     

"Please, kak. Aku tahu ini berat tapi--"     

"DIAM! kamu pasti lagi ngerjain kakak 'kan? Kamu juga 'kan Ai? Sekarang di mana Marco? Pasti dia juga ikut ngerjain aku! Di mana Marco sembunyi?" Lizz tidak percaya ini, mana mungkin hal seperti ini terjadi. Pasti Marco sedang mengerjainya, dia kan suka usil.     

"Lizz … hiks .…"     

"Marco! Keluar!" teriak Lizz. Dia berjalan ke setiap ruangan mencari keberadaan Marco.     

"Marco! aku nggak bakalan tertipu, cepet keluar! ini nggak lucu!" Liz terus berjalan dengan air mata yang sudah membanjiri pipi, masih terus mencari, tak memedulikan panggilan Vano dan tatapan hancur yang Ai perlihatkan.     

"Marco! Aku hitung sampai tiga, kalau kamu nggak keluar, aku enggak akan biarkan kamu masuk kamarku, akan aku rkunci dari dalam," ancam Lizz.     

"Kak ..." Vano mulai mendekati Lizz.     

"Satu ... dua ...." Lizz memperhatikan sekelilingnya berharap Marco keluar dari persembunyiannya.     

"Kakak .…" ucap Vano.     

"Vano, diamlah! sebentar lagi Marco akan muncul. Dia 'kan paling takut aku mengunci dirinya diluar kamar," ucap Lizz disela tangisnya.     

"Tiga ...." Lizz membuka pintu kamarnya, berharap Marco sudah duduk diranjang, menunggu ia selesai membereskan makan malam seperti biasa.     

Tetapi kamar itu kosong, hanya ada kertas di meja yang berisi pesan dari Marco kemarin malam yang memberi tahu bahwa dia akan pergi beberapa hari dan segera kembali. Lizz mengambil kertas itu dan membacanya berulang kali, masih tulisan yang sama.     

"Kakak ..." ucap Vano mendekap tubuh Lizz dari belakang.     

"Kamu bohong! kamu penipu! Kamu-- hiks ... bilang akan kembali. Kamu udah janji, tapi hiks ... kenapa kamu malah hiks ... ngerjain aku kayak gini?" Lizz memandang foto pernikahan mereka, Dimana wajah Marco tersenyum sedang Lizz masih terlihat kaku karena habis diperkosa.     

"Marco … huhu ... kamu masih hidup 'kan? Aku tahu kamu nggak mungkin pergi meninggalkanku. Aku … hiks ... sayang dan cinta sama kamu." Lizz menangis tergugu sambil memeluk kertas di tangannya.     

Vano membalik tubuh Liz dan memeluk dengan erat. Tak tahan melihat kakaknya yang hancur dalam kesedihan.     

"Vano! kamu pasti berbohong 'kan? Marco pasti kembali! Dia sudah berjanji. Dia akan segera pulang 'kan?" ucap Lizz penuh harap. Vano hanya sanggup mengelus punggung Lizz dengan tatapan miris.     

"Vano? Jawab! kenapa kamu cuma diam saja?" teriak Lizz.     

Lizz memukuli dada Vano bertubi-tubi. Vano memeluk Lizz semakin erat, hanya diam dan membiarkan kakaknya menangis untuk menyalurkan semua rasa sakit dan kesedihannya.     

"Vano tahu kakak pasti kuat dan hebat, harus ikhlas dengan kepergian Bang Marco. Dia sudah bahagia disisi Tuhan," ucap Vano terus berusaha menegarkan hati sang kakak dan menenangkannya.     

Lizz menggelengkan kepala tanda tak rela dan mencengkeram kaos yang dipakai Vano dengan erat. Lizz masih menangis tanpa henti. Walaupun sudah menghabiskan banyak air mata, tak cukup membuat hati Liz lega. Namun, semakin merasa sesak dalam dadanya, perih dan menyiksa.     

Lizz lebih memilih ditinggalkan Marco berbulan-bulan tanpa kabar seperti dahulu, setidaknya Marco masih kembali dan memberi penjelasan. Tetapi sekarang ... Lizz malah ditinggalkan untuk selamanya.     

Lizz tidak rela.     

****     

Tiga hari kemudian Rumah David yang tadi penuh dengan pemuda dari masjid terdekat, mulai nampak lenggang. Para jamaah yang ikut Yasinan sudah pulang dari beberapa waktu yang lalu. Tapi masih ada seorang wanita dengan baju serba hitam, yang masih tak beranjak. Sudah tiga hari berlalu, Marco dikabarkan meninggal dan Lizz seperti mayat hidup. Tak lagi menangis tapi kebisuannya justru membuat anggota keluarga jadi takut.     

Lizz hanya terdiam, bahkan untuk makan jika bukan Vano yang menyuapi maka tak akan ada asupan apa pun yang masuk ke dalam tubuhnya. Kantung hitam dibawah matanya bukti bahwa dia tak bisa tidur. Vano sampai harus memberi obat tidur agar Lizz bisa terlelap. Walau hanya beberapa jam, tapi lumayan dari pada tidak sama sekali.     

Keluarga Marco belum diberitahu, perihal kematiannya. Karna keberadaan mayat Marco yang masih dalam pencarian dan belum ditemukan.     

"Kak, Istirahat yuk," Vano merangkul Lizz dan mengajak masuk ke kamarnya. Sampai di depan pintu kamar Vano berhenti, "Kakak masuk dulu ya, Vano haus mau ambil minum dulu," ucap Vano pelan.     

Lizz hanya mengangguk dan masuk ke kamarnya. Vano berbalik ke arah dapur, dia tidak haus tapi membuat teh hangat kesukaan Lizz dengan campuran obat tidur. Rutinitas yang dilakukan Vano selama ini. Berusaha membuat kakaknya agar bisa beristirahat.     

Lizz menutup pintu di belakangnya, dia berjalan menunduk karena tak sanggup jika melihat bayang-bayang Marco yang masih terngiang di pikirannya. Selama tiga hari, Lizz seperti dihantui wajah Marco. Dia selalu terbayang pada ruang tamu, dapur, kamar mandi, halaman depan dan sekarang, Lizz bahkan melihat Marco duduk di pinggir ranjang , seolah sedang menunggunya seperti biasa.     

"Beb ... Kok lama banget!" Marco terlihat merajuk.     

Lihat! Bahkan ekspresi dan kata-katanya sama persis dengan yang diucapkan Marco setiap malam.     

Lizz ikut duduk di pinggir ranjang, memandang wajah Marco yang terlihat keheranan. Lizz menelusuri wajah Marco dengan tangannya, mulai dari dahi turun ke mata lalu hidung dan terakhir bibirnya. Berharap bisa membuat Marco menjadi nyata.     

"Beb ... Kamu mancing ya?" geram Marco.     

Lizz mulai menangis lagi, kenapa Marco terasa nyata? Bahkan tingkahnya sama persis. Jangankan menyentuh bibir, melihat Marco lebih dari lima detik saja, Marco akan selalu menganggap lizz menggodanya.     

"Hey ... kenapa menangis? kamu kangen banget ya?" ucap Marco lalu memeluk Liz.     

Bukannya diam, Lizz semakin menangis makin kencang, semua aroma tubuh, kehangatan dan pelukannya terasa nyata. Membuat Lizz tidak bisa menahan kesedihannya lagi.     

Lizz memeluk erat bayangan Marco, tak rela melepasnya. Tak peduli jika nanti bayangan itu berubah menjadi guling, bantal, kaos atau apa pun itu. Lizz hanya ingin merasakan sesaat berada dipelukan Marco. Karena kesedihan yang menumpuk dan tubuh yang semakin lemah, oleh kurangnya asupan membuat Lizz merasa lemas dan pusing. Dia masih bisa merasakan dekapan Marco yang semakin kuat, sebelum tubuhnya jatuh pingsan.     

****     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.