One Night Accident

GELAP



GELAP

0Enjoy Reading.     
0

****     

FLASHBACK 22 TAHUN YANG LALU.     

Tempat ini sangat gelap, matanya yang sudah terbuka lebar tak mampu menembus setitik cahaya pun di sana. Apa dia buta? Jari tangannya terasa kaku saat digerakkan, mengangkat perlahan menyentuh kedua matanya. Tidak! Dia yakin matanya tidak buta. Dia bisa mendengar suara hujan di atasnya, walau sangat jauh dan pelan.     

Di mana dia? Apa dia masih diculik? Apa dia akan mengalami penyiksaan lagi? Ingatan itu membuatnya takut, semua perlakuan para penculik masih terasa jelas. Saat mata pisau yang tersayat pada tubuh, pukulan, tendangan, sulutan api tergambar jelas di kepala. Dia terus berteriak bahwa dia bukan Daniel, tapi mereka tak peduli. Mereka menganiaya tubuh kecilnya dengan gembira. Seolah teriakan kesakitan darinya, musik pesta di telinga. Mereka terus tertawa dengan kencang. Mereka mengejek, menghina dan terus memasang alat penyiksaan pada tubuh kecil itu.     

Dia memejamkan mata dan menggeleng pelan, berusaha menghilangkan bayangan mengerikan yang pernah Ia alami. Saat matanya terbuka, dia tahu harus segera pergi dari tempat ini. Tubuhnya terasa kaku tapi terus mencoba bergerak agar bisa duduk.     

Namun, baru setengah duduk dia merasa kepalanya membentur sesuatu. Dia meraba seluruh permukaan di sekitarnya. Dia berada dalam sebuah kotak yang sangat sempit. Lalu, dia mulai menyadari bahwa telah berada di tempat yang paling di takuti semua manusia di muka bumi ini.     

Peti mati.     

Dan kini, Dia yakin dia tengah di kubur hidup-hidup.     

Rasa takut yang tajam langsung mengalir di seluruh pembuluh darahnya.     

Tidak ... dia belum ingin matai, dia ... masih terlalu muda untuk mengalami ini.     

Tangan kecil itu meneliti setiap celah berharap ada tempat untuk keluar, tapi nihil. Dia hanya merasakan tempatnya berbaring yang mulai basah, karena hujan yang tak kunjung berhenti.     

Dia berpikir dan terus berpikir. Ah ... mungkin dia bisa menggali tanah dan keluar dari kotak ini. Namun dia kembali harus berpikir keras, bagaimana caranya agar dapat menyingkirkan kayu yang menjadi peti matinya ini?     

Tangan itu kembali meraba permukaan yang ada di sekitarnya. Dia bersyukur ketika mendapati kayu itu sepertinya tidak terlalu kuat lagi, seperti sudah agak lapuk.     

Dia meraba lehernya bersukur mendapati kalung pemberian pamannya masih menempel di sana. Kalung dengan liontin berbentuk pisau kecil. Di mana kalung itu memang bisa berfungsi layaknya pisau, dia hanya berharap pisau kecil itu lumayan tajam untuk mencongkel bagian samping peti mati.     

Kenapa dia tak mencongkel bagian atas dan langsung menggali ke sana? Karena butuh kekuatan ekstra untuk menembus ke atas. Belum lagi timbunan tanah yang terancam runtuh dan menguburnya langsung, jika dia menerobos ke atas.     

Maka, jalan terakhir adalah menggali ke bawah atau ke samping. Walau dia sanksi, apakah tubuh kecilnya akan kuat melakukan itu? belum lagi, kondisi oksigen yang pasti sangat rendah. Tapi dia akan berusaha, tak boleh menyerah dan harus percaya pada kemampuannya. Itulah pesan kakaknya Daniel. Tidak boleh menyerah sebelum mencoba.     

Anak itu mulai mencongkel papan kayu itu dengan serius, untung peti matinya lumayan besar, hingga dia bisa membalikkan tubuh menjadi tengkurap dan sedikit berjongkok. Dia terus berusaha, sampai berkeringat dan basah kuyup karena bercampur air hujan yang sudah merembes ke dalam peti mati.     

Setelah sekian lama, usahanya membuahkan hasil, papan itu terlepas dan dia menyingkirkannya ke belakang. Anak itu mulai menggali pelan tanah di depannya, walau hanya bisa sedikit-sedikit karena menggunakan tangan kosong. Dia tak peduli dengan tubuhnya yang basah oleh keringat, air dan tanah. Dia hanya ingin cepat keluar dari sini.     

Awalnya dia merasa aneh karna walau seluruh tubuhnya basah dan kotor, tapi entah kenapa dia sekarang merasa bersemangat. Dia tak merasa dingin, bahkan luka disekujur tubuhnya tak terasa sakit sama sekali.     

Dia meraba seluruh tubuhnya saat mengingat siksaan itu. Badannya terasa mulus, tak ada jejak luka sama sekali. Dan entah kenapa semakin basah tubuhnya, dia merasa semakin terasa sehat. Seolah-olah dia habis disuntik suplemen penambah energi setiap kali kulitnya tersiram air.     

Dia tak tau berapa lama menggali, mungkin bisa menghabiskan banyak waktu bahkan hari. Dia tak peduli karena hanya mengikuti instingnya. Sempat tertidur beberapa kali dan melanjutkan penggaliannya setiap terbangun. Anehnya, dia tak merasa lapar dan haus sama sekali.     

Setelah lama menggali, dia menemukan setitik cahaya dari luar. Matanya yang sudah terbiasa dalam kegelapan, merasa silau dengan cahaya yang redup. Beberapa saat kemudian, tubuh kecilnya berhasil keluar dari dalam tanah yang menguburnya selama ini.     

Anak itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, dia berada dalam hutan. Dia berdiri dengan kaki gemetar seperti berbulan-bulan tidak berada di tempat tidur tanpa menggerakkan badan.     

Anak itu mulai berjalan ke arah batu nisan yang tertulis namanya. Dia menggali dan mencabutnya paksa, lalu melempar batu nisan itu ke lubang tempat dia keluar.     

"Aku masih hidup!" teriak bocah kecil itu sambil menengadahkan wajahnya ke atas dan tertawa lepas karna berhasil keluar dari maut. Lalu, dia menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya, seolah-olah hujan yang menjadi sumber kehidupannya.     

Setelah puas, anak itu berjalan meninggalkan makamnya tanpa menoleh, lalu berusaha keluar dari hutan ini. Dia akan segera pulang dan menyombongkan keberhasilannya selamat dari para penculik. Kakaknya pasti akan bangga padanya dan tak kan bisa lagi melarangnya jika dia melakukan sesuatu yang sedikit berbahaya.     

Karena sekarang dia lebih hebat dari kakaknya, batinnya sombong.     

Tubuh kecil itu berjalan dengan riang, walau tak tau ke mana arah pulang tapi yakin akan segera menemukannya. Jika ada orang yang melihat keadaan tubuh anak itu, pasti mereka akan mengira anak itu adalah hantu karena tubuh yang kotor dan penuh tanah. Kondisinya benar-benar mirip hantu yang baru bangkit dari kubur. Yah... walau kenyataan dia baru keluar dari dalam kubur, tapi masih hidup dengan napas dan jantung yang berdetak.     

Hampir lima hari bocah itu tersesat dalam hutan, dia memakan apa pun yang di temukan. Karena sadar tubuhnya kebal terhadap racun, jadi dia bebas makan apa saja. Dia sebenarnya heran dengan kondisi tubuhnya yang sekarang, karena tak merasa lapar, haus, lelah dan mengantuk dan lebih anehnya sekarang dia seperti bisa melihat berbagai warna berseliweran di depan mata. Apakah itu yang disebut aura? Entahlah ... yang jelas dia tidak terlalu suka dengan yang satu ini. Karena jika malam hari warna-warna mistis itu seperti mengejeknya.     

Anak itu bahkan awalnya takut, namun lama kelamaan dia terbiasa. Apa salahnya dengan hantu, asal dia tidak mengganggu mereka, pasti aura-aura itu juga tidak akan mengganggunya di hutan itu.     

Anak itu sangat merasa kesepian, bagaimanapun dia terbiasa yang paling banyak bicara di antara seluruh keluarganya. Sekarang dia hanya sendirian di tempat antah brantah yang bahkan tidak dia ketahui pasti lokasinya.     

Sekitar pukul 01.00 dini hari, dia akhirnya menemukan rumah penduduk dan mendengar suara debur ombak dari kejauhan.     

Anak itu merasa aneh dengan tempat itu, terasa sangat asing, karena seingatnya di kerajaan Cavendish tak ada rumah dengan bentuk seperti ini. Memang ada satu pantai di sana, tapi dia hafal lokasinya. Jadi ... di manakah dirinya berada?     

Anak kecil itu sudah melepas sepatu dan bertelanjang kaki. Jas yang robek sudah dibuang , hanya menyisakan kemeja putihnya yang sudah berubah menjadi coklat, serta celana bahan yang sudah dia robek sampai lutut. Karena tak menemukan seorang pun untuk bertanya, dia hanya duduk di depan sebuah rumah yang terlihat sederhana tapi bersih.     

Dia harus sabar menunggu hingga pagi, agar bisa bertanya arah pulang. Menunggu dalam diam sangat membosankan apalagi dengan hujan yang masih mengguyur, akhirnya dia memilih tidur agar malam cepat berganti.     

Dia terbangun dan melihat wajah khawatir seorang wanita muda yang menatapnya, berbicara dengan bahasa yang aneh dan tidak dia mengerti. Di sebelahnya ada laki-laki yang kelihatannya suami dari wanita itu. Mereka terlihat berdebat akan sesuatu. Lalu, dia merasa kaosnya di tarik seseorang.     

Kaos? Siapa yang menggantikan baju? batinnya. Sejenak dia memandang sekeliling dan baru menyadari dirinya bukan di luar, tapi dalam sebuah rumah dengan dinding kayu yang terlihat sederhana.     

Nampak empat orang anak laki-laki yang berusia sekitar 2 sampai 7 tahun menatapnya penasaran. Kelihatan sekali mereka bersaudara, tapi umurnya sepertinya hanya selisih satu sampai dua tahun saja.     

Wow ...! produktif sekali keluarga ini.     

"Kakak? Siapa? Kakak dari mana?"     

"Kakak ganteng," ujar ketiga anak kecil itu bergantian Sedangkan yang paling kecil cuek dan asyik mengemut ibu jarinya.     

"Marcell, Misell, Miko dan Milo, jangan ganggu kakaknya," gertak wanita yang tadi berdebat dengan suaminya.     

"Le, namamu siapa?" tanya wanita itu. Anak yang sebenarnya adalah putra mahkota kerajaan Cavendish alias Jhonathan Cohza Cavendish itu mengernyit bingung. Tidak mengerti perkataan wanita itu.     

"Saya Rina dan suami saya Ridwan. Ini Marcell, adiknya lagi Misell, Miko dan yang kecil Milo, kamu sendiri siapa?" tanya wanita itu lagi. Jhonatan makin bingung karna tak mengerti ucapan wanita itu sama sekali, tapi saat dia melihat wanita itu menunjuk mereka satu persatu dan menyebutkan satu kata, dia tahu bahwa itu nama mereka.     

"Pak!" Ibu Rina memanggil suaminya.     

"Apa tho, Buk?"     

"Ini anak kayaknya bisu Pak, dari tadi diam saja waktu saya ajak ngomong," tebak Ibu Rina.     

"Mungkin dia masih shock atau malu kali, Bu. Ya sudah bapak tak ke kantor polisi dulu, siapa tau orang tua anak ini sudah melaporkan kehilangannya?"     

Ibu Rina mengangguk dan kembali memperhatikan bocah dengan wajah western nan tampan di depannya. Karena bingung, akhirnya beliau memilih berbicara dengan bahasa isyarat dan untungnya Jhonathan mengerti akan hal itu.     

Begitulah awal hidup baru Jhonatan, karna dia yang hanya diam membisu tak mau bicara pada akhirnya Emak Rina memanggilnya "Marco"     

Hingga beberapa waktu berlalu, tapi tak ada seorang pun yang melaporkan kehilangan anak. Padahal foto Marco sudah di pajang di surat kabar juga, namun tetap tak ada yang mengakuinya.     

Akhirnya Emak Rina dan suaminya mengadopsi Marco secara hukum.     

Jadilah Marco Abdul Rochim.     

Anak pertama dari lima bersaudara Rochim.     

****     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.