One Night Accident

MASIH FLASHBACK



MASIH FLASHBACK

0Happy Reading.     
0

****     

DUA TAHUN KEMUDIAN.     

"Dompet, bagi dompet."     

"Aduh Mas, jangan ya Mas. Hp ambil enggak apa-apa, tapi jangan dompetnya Mas, kasihan saya Mas. Ini bukan uang saya sendiri." Marco merasakan pelukan Emak yang semakin erat dan wajahnya pucat karena takut.     

"Bodo amat, cepet kasihin duit lo." Pria itu mulai merampas tas yang dibawa Emak karena tidak rela, Emak berusaha mempertahankannya, Marco yang melihat Emak mulai menangis, jadi merasa marah.     

Dengan sekali hentak, Marco lepas dari pelukan Emak dan langsung maju menerjang satu di antara dua laki-laki tersebut. Karena belum siap pria itu langsung terjengkang, saat melihat temannya terjatuh refleks pria satunya melepas tas milik emak, saat itulah Marco dengan cepat menendang tepat di kemaluannya.     

"Lari Makk." Marco menarik lengan emak dan mengajaknya berlari menjauh dari dua orang yang masih mengerang kesakitan itu, dia baru sadar bahwa jalan yang mereka lewati sangat sepi. Namun sayang, walau larinya cepat, tapi Emak tidak bisa secepat dirinya, alhasil tidak ada 5 menit, salah satu pria itu berhasil menangkap Emak.     

Emak memberontak, Marco berbalik dan mencoba menyerang mereka, satu pukulan, dua pukulan bisa mengenai wajah dan tubuh mereka, tapi dia hanya bocah 10 tahun tanpa kemampuan bela diri yang benar, hingga setelah pukulan kedua Marco bisa merasakan pipinya berdenyut merasakan bogem dari mereka, lalu dia hanya bisa merasakan sakit saat berbagai pukulan dan tendangan di arahkan padanya.     

Marco bisa mendengar Emak menangs histeris, tapi bahkan tenaganya tidak cukup untuk sekadar menengok melihatnya, samar-samar Marco mendengar suara mobil yang berhenti lalu suara perkelahian. Namun ... sebelum kesadarannya menghilang entah kenapa Marco seperti melihat wajahnya, wajah saudara kembar yang sangat dia rindukan.     

Apa ini tandanya dia akan mati? Entahlah! Yang Marco tahu, dia bahagia bisa melihat wajahnya lagi, walau hanya dalam halusinasi.     

"Daniel," bisik Marco sebelum akhirnya kegelapan menyelimuti.     

***     

Marco mengerang pelan saat merasakan tubuhku berdenyut sakit. Dia ingat Emak dibegal, lalu Marco di pukuli hingga pingsan, lalu bagaimana nasib Emak?     

Marco membuka matanya yang terasa berat, sepertinya salah satu matanya bengkak juga, pasti kena pukul, lalu dengan berat Marco berusaha bangun dan benar saja, rasanya luar biasa nikmat. Remuk redam tak terkira.     

"Kamu sudah bangun?"     

Suara ini, suara yang akan selalu Marco kenali di mana pun berada, suara yang akan selalu dia hafal walau tanpa melihat wajahnya.     

Suara dari Daniel Cohza Cavendish.     

Saudara kembarnya.     

Jantung Marco langsung berdetak dengan kencang karena bahagia.     

Dia duduk dan mendongak memastikan penglihatannya tidak salah.     

Dan benar, dia ada di sana, Daniel ada di hadapannya.     

Apa ini mimpi? Atau nyata?     

Marco bahkan menampar pipinya sendiri karena tidak percaya, dan sialnya rasanya semakin berdenyut sakit. Ternyata itu memang Daniel kakaknya.     

Daniel mengangkat sebelah alisnya heran melihat bocah kecil yang baru dia selamatkan malah memukul pipinya sendiri.     

Marco terlampau bahagia, terharu, entah apa lagi, semua bercampur baur. Sampai dia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya sendiri. Yang dia tahu, selama ada Daniel semua akan baik- baik saja sekarang.     

Banyak hal yang ingin Marco katakan padanya, rasa rindu, perasaan sayang, pengalaman hidup, semua ingin dia ceritakan, tapi sangking banyaknya Marco hanya membuka dan menutup mulut tanpa ada satu suara pun yang keluar dari sana. Seperti ada yang menyumbat tenggorokan hingga air mata ingin keluar. Tetapi Marco berusaha nenahannya, dia tidak mau terlihat cengeng lagi di depan Daniel.     

Daniel berdiri dari duduknya lalu memandang Marco dengan datar. Apa Daniel marah padanya? Kenapa ekspresinya terlihat dingin? Padahal biasanya Daniel selalu memandang Marco penuh kehangatan.     

"Mulai hari ini kamu menjadi anak buahku."     

Marco memandang Daniel bingung. 'Daniel ngomong apa     

sih?' batin Marco heran. Setelah lama tidak bertemu, kenapa dia mengatakan hal yang aneh?     

"Kamu ngomong apaan sih?" tanya Marco heran saat Daniel malah beranjak pergi, seolah keberadaannya tidaklah penting sama sekali.     

Daniel berbalik lagi dan menatap Marco datar. "Sepertinya lukamu lumayan parah, makanya kamu jadi bodoh."     

Daniel menoleh ke arah asistennya ."Jelaskan padanya siapa aku dan posisinya sekarang, aku harus pergi menjemput Joe."     

'Joe? Aku Jhonathan adikmu. Masa nggak kenal sih? Lagipula sejak kapan Jojo jadi Joe?' Marco berpikir keras.     

"Daniel tunggu," panggil Marco kesal, dia benar- benar mengacuhkannya. Heran deh, napa Daniel enggak kangen padanya?     

"Dari mana kamu tahu namaku? Aku ingat aku tidak menyebut nama Daniel di hadapanmu." Daniel melihat bocah itu curiga.     

"Pertanyaanmu kok semakin aneh sih?" Marco juga semakin merasa aneh saja, ada apa dengan saudaranya?     

Daniel menghampiri Marco lalu menunduk dengan tatapan tajam.     

"Panggil aku Jack, dan bersikap baiklah karena mulai hari ini aku adalah bosmu."     

Marco ingin tertawa, Jack? Kenapa Daniel malah memakai namanya? Marco menggeleng sambil meringis menahan rasa sakit di badannya.     

"Astaga, kamu itu ternyata ...." Marco tidak sempat menyelesaikan perkataannya ketika dia tiba-tiba terpaku. Ketika dia menoleh ke kanan di sana ada cermin dan Marco langung menganga tidak percaya.     

Marco melihat Daniel lalu melihat wajahnyasendiri.     

Mustahil, bagaimana ini bisa terjadi? Mereka kembar identik sangat identik hingga hanya Mommy dan Daddy yang bisa membedakan mereka lewat Warna mata Daniel yang lebih gelap daripada Jhonathan.     

Marco masih tidak percaya dengan apa yang dilihat, bukan karena wajah tampannya yang membiru karena babak belur tapi karena di sana wajah yang harusnya sama dengan Daniel kini sangat berbeda.     

Sekarang Marco sadar itu bukan wajah Jhonathan itu adalah wajah Marco.     

Daniel heran melihat tingkah bocah di depannya, sepertinya bocah ini rada gagar otak dan butuh istirahat.     

Dengan susah payah Marco turun dari ranjang lalu meraba wajahnya. Lalu dia terkekeh pelan, pantas Daniel tidak mengenalinya. Ternyata Jhonathan sudah menghilang, yang di sana adalah wajah Marco Abdul Rochim.     

Marco menyenderkan kening ke arah cermin, tertawa sekaligus menangis. Dia bingung bagaimana menjelaskan pada Daniel bahwa dia adalah Jhonathan jika wajah mereka saja berbeda.     

Sepertinya efek samping dari injeksi yang dulu diberikan kakek dan Mommy mulai bekerja.     

"Tuan sepertinya anda salah orang, anak ini mungkin mengalami gegar otak dan kehilangan kewarasan."     

Marco langsung menoleh ke arah si codet yang adalah asisten Daniel. Dia bilang Marco kehilangan kewarasan? Maksudnya gila gitu?     

"Tidak, aku yakin dengannya. instingku mengatakan dia orang yang akan bisa menemaniku latihan."     

Mendengar jawaban Daniel, Marco terdiam, bingung harus berkata apa. Sakit rasanya saat merindukan seseorang, tapi saat bertemu dengannya dia bahkan tidak mengenalinya sama sekali.     

*****     

Sebulan setelah Marco ditolong oleh Daniel, dia mulai menerima kenyataan bahwa Daniel menganggapnya orang lain. Tidak masalah yang penting Marco masih bisa dekat dengan saudaranya itu. Bagaimanapun juga darah lebih kental dari pada air.     

Hari ini adalah hari pertama Marco akan mengikuti latihan, dia semangat sekali. Sayang semangatnya yang tadi berkobar langsung musnah begitu melihat Joe.     

Marco tidak suka pada Joe, dia merasa Joe merebut semua perhatian Daniel dari dirinya. Marco kesal, Marco iri, sayangnya tidak ada yang bisa Marco lakukan untuk menjauhkan Joe dari Daniel. Karena adik Daniel sekarang adalah Joe, bukan Jhonathan apalagi Marco.     

"Kamu harus latihan keras agar tidak mengecewakan Tuan Jack, aku tidak mau dianggap tidak becus melatihmu."     

Marco mengangguk dan berlatih sebentar dengan asisten Daniel.     

"Sudah cukup pemanasannya," tiba-tiba Daniel menghentikan aksi latihannya.     

"Lepaskan semuanya," kata Daniel membuat Marco bingung.     

"Aku tidak pernah latihan menggunakan pengaman, jadi singkirkan semuanya."     

"Bagaimana kalau kita terluka?" tanya Marco.     

"Ada dokter yang siaga, lagi pula kalau kamu tidak pernah merasakan luka, kamu akan ceroboh dan tidak waspada."     

"Yey, Jack kerennnnn." Joe bersorak dengan kedua tangan ke atas.     

Marco memandangnya semakin kesal, dia itu cowok apa cewek sih, sudah imut, cantik berisik lagi.     

"Jack, aku mau latihan juga, siapa tahu Marco butuh contoh." Tiba- tiba Joe sudah berada di sampingnya.     

'Whatt? Diberi contoh dari bocah yang tingginya hanya sampai bahunya. Mending netek dulu yang bener deh ini bocah, nggak usah sok keren,' batin Marco esmosi, em ... emosi maksudnya.     

"Minggir dulu." Sialnya Daniel malah mendukungnya, Marco semakin lemas dan tidak bersemangat.     

"Marco, lihat yaa, kalau memukul seperti ini, lalu bla, bla!" Marco memandang Joe kesal, sumpah ingin sekali dia seret itu bocah kembali ke habitatnya, kalau mau pukul, pukul saja sih, kebanyakan gaya.     

Dan setengah jam kemudian Marco hanya duduk melihat Daniel dan Joe latihan saling pukul dan banting, tentu saja tanpa luka sedikit pun karena serangan Joe tidak bisa mengenai Daniel, sedang Daniel tidak ada niat memukul Joe sama sekali, hanya menghindar dan menjegal Joe atau membantingnya pelan.     

"Sudah, aku capek, haus ah." Joe menyerah setelah bantingan entah yang keberapa. Marco ingin tertawa, dasar bocah sok ngajarin tapi dia sendiri saja payah.     

Daniel memandang Marco, memberi isyarat untuk menggantikan Joe yang sudah pergi mengambil minum.     

"Serang aku."     

Marco ragu, selama ini dia belum pernah bertengkar dengannya, apalagi adu jotos, bagaimana kalau Daniel terluka? Tapi melihat wajah seriusnya pada akhirnya Marco memukulnya dengan setengah hati. tentu saja langsung ditangkis dengan mudah.     

"Payah, memukul itu seperti ini." Dan belum sempat Marco mengelak satu bogem mendarat di wajah membuatnya langsung terjengkang jatuh.     

Marco melotot terkejut dan memegang pipi yang berdenyut sakit.     

Daniel memukulnya?     

Seumur hidup, Marco tidak akan pernah menyangka akan datang hari di mana Daniel akan melakukan kekerasan pada adiknya sendiri.     

"Bangun, dan jangan cengeng, aku tidak suka kelemahan."     

Marco mengusap air mata yang ternyata sudah membasahi pipi, dia masih shok dan itu memang sakit.     

Sakit saat Daniel tidak tega memukul Joe tapi tanpa berkedip sanggup menghajar Marco.     

Sakit saat Daniel menatap Joe sayang sedang menatap Marco dingin tanpa perasaan.     

Marco berdiri tapi tetap menunduk menahan rasa sesak di dadanya.     

Sakit karena pukulan masih bisa dia tahan, tapi sakit karena disingkirkan itu tidak tertahankan.     

Apa Jhonathan benar-benar sudah dilupakan?     

Marco menegarkan diri dan mulai menyerang lagi, tapi ... Marco bukanlah tandingan Daniel, dia terkena pukulan, tendangan, bantingan dan kuncian yang menyakitkan.     

Daniel sama sekali tidak memberi kesempatan untuk melawan, Marco terus dihajar tanpa jeda hingga akhirnya dia tidak tahan dan langsung pingsan.     

Malam itu, Marco meringkuk, menangisi tubuhku yang remuk redam karena dihajar saudaranya sendiri.     

Begitulah hari-hari selanjutnya, latihan dan latihan. Tidak ada kelonggaran, tidak ada keringanan, tidak ada libur lebaran apalagi cuti melahirkan.     

Anak buah hanyalah kata formal yang diharuskan untuk mendeskripsikan keberadaannya. Marco adalah samsak berjalan untuk Daniel Cohza Cavendish.     

Babak belur, sudah pasti. Patah tulang sudah langganan. Berdarah- darah sudah biasa. Tapi jangankan minggu biasanya dia hanya di beri waktu beberapa hari untuk pulih lalu di smack down lagi.     

Daniel tidak suka kelemahan, tapi bagaimana pun Marco manusia juga, masih bisa merasa sedih masih bisa merasa sakit. Dan saat Marco merasa tidak bisa menahan semuanya, Marco hanya akan menangis diam di dalam kamar tanpa pelukan dan penghiburan.     

****     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.