One Night Accident

PINGSAN



PINGSAN

0Happy Reading.     
0

****     

Vano memandang putus asa ke arah Kakak iparnya, yang terlalu panik gara-gara Lizz yang tak kunjung sadar. Saking paniknya, Marco tak melakukan apa pun selain nyerocos tidak jelas dan mondar mandir bikin pusing kepala siapa pun yang melihatnya.     

Akhirnya, karena Vano merasa lebih waras dari kakak iparnya itu, dia memanggil dokter agar datang ke kediaman David. Kekhawatiran Marco sangat berlebihan. Hingga membuat seluruh penghuni rumah tak bisa tidur. Karena ia menggedor masing-masing pintu kamarnya dan meminta membangunkan Lizz.     

Percobaan pertama Ai menggunakan minyak kayu putih, nihil. Lizz tak mau bangun. Percobaan kedua, David memercikkan air ke wajah Lizz, juga gagal. Kedua mata Lizz masih terpejam. Percobaan ketiga, Duo WiBi menyalakan musik sangat keras. Hasilnya? Sama! Gagal juga. Percobaan keempat, Vano mengambil kaus kakinya yang sudah seminggu belum dicuci, membuat Lizz bergerak sedikit. Tapi tetap gagal. Lizz masih kuekeh dengan kepingsanannya.     

Dan percobaan kelima, membuat Marco langsung menendang si tersangka keluar kamarnya. Bagaimana tidak, si satpam yang dari pagi tak mandi, dengan penuh percaya diri menaruh tangannya diketiaknya sendiri dan hampir di letakkan diwajah Lizz. Beruntung Marco sempat mencegahnya. Kalau tidak, hidung Lizz sudah terinfeksi dengan aroma kematian milik Pak Satpam sontoloyo itu.     

Tetapi semua kehebohan itu nyatanya bukan tanpa alasan. Begitu dokter tiba dan memeriksa Lizz, ia hanya mengatakan, kalau Lizz tidak pingsan. Ia hanya tertidur karena terlalu kelelahan, stress dan kurang nutrisi. Dia hanya perlu istirahat dan makan teratur. Marco dan seluruh penghuni rumah benar-benar takjub dengan Lizz. Disaat semua orang menghawatirkannya, ternyata dia hanya ketiduran. Nggak laki, nggak bini, sama-sama tukang ngerjain orang!     

Akhirnya, pukul 02.00 dini hari, sekali lagi mereka membubarkan diri dari kamar Marco. Kembali ke kamar masing-masing.     

*****     

Liz terbangun karena merasa ada sesuatu yang berat menimpa perutnya. Dia merasa, mimpi aneh. Seolah-olah penghuni rumah ribut menghawatirkannya. Dia menengok ke belakang dan mendapati Marco yang sedang memeluknya.     

"Oh ... cuma Marco", batinnya.     

Sejenak kemudian, Lizz membalikkan badannya dengan kedua mata terbelalak lebar.     

"MARCOOO!" Lizz menjerit.     

Marco membuka matanya. "Morning, beb," ucapnya sambil mencium sekilas bibir Lizz.     

Sementara Lizz lantas mengerjapkan matanya berulang kali. Memastikan penglihatannya.     

PLAKK!!     

"Awww ... kok aku ditampar, Beb?"     

"Eh ... beneran Marco?" tanya Lizz masih tak percaya. Lalu dia mencubit tangannya sendiri.     

"Beb? Kok dicubit? Jadi merah tuh tangannya," ucap Marco sambil mengusap lengan Lizz.     

Mata Lizz berkaca-kaca. "Kamu beneran Marco? Aku gak lagi mimpi kan?"     

Marco tersenyum. Dia tahu, pasti istrinya masih mengira dia meninggal. "Aku masih hidup, Beb. Sehat jasmani dan rohani," ucapnya seraya memeluk erat istrinya.     

Lizz balas memeluk lalu menangis tersedu-sedu. Marco lantas mengusap kepala dan punggung Lizz dengan lembut. Berusaha menenangkan dan sedikit menghiburnya.     

"Aku takut ... takut kamu beneran ninggalin aku, "Lizz berucap lirih disela tangisannya.     

"Aku kan sudah bilang bakal kembali."     

"Aku tahu ... tapi tetap saja aku takut. Vano ... Ai ... dan semua orang mengatakan kamu pergi. Bagaimana aku tidak sedih ... Aku sayang kamu ... Aku nggak mau kehilangan kamu ...." Lizz bicara di sela isak tangisnya.     

Aku ... sayang kamu. Enggak mau kelihangan kamu ...     

Hati Marco serasa meledak layaknya kembang api di tahun baru.     

Lizz sedang mengatakan cinta padanya.     

Marco senang, marco riang sampai-sampai ingin sekali dia lonjak-lonjak bahkan berguling-guling sampai antartika. Marco seketika terasa sejuk dan damai usai mendengar ucapan istrinya. "Sudah... Jangan nangis. Aku janji, pokoknya ... aku enggak bakal ninggalin kamu. Oke?"     

Lizz mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. "Terima kasih ... Karena kamu sudah kembali ... untukku ..."     

"Aku suamimu, Beb. Ke mana lagi aku akan kembali, kalau bukan padamu." Terlalu manis untuk dicerna.     

Namun sebagai wanita polos Lizz langsung tersenyum lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia menetapkan hati untuk jujur pada Marco mengenai perasaannya. "Marco ...."     

"Hmm??"     

"A ... a-aku ... sangat mencintaimu ..." ucap Liz cepat dan langsung menundukkan kepalanya karena malu.     

Marco sakau, marco kejang-kejang. Istrinya mengatakan mencintainya. Oh ... saat ini marco bukan hanya ingin berjingkrak-jingkrak dan bergulung sampai antartika, tetapi kali ini Marco ingin berguling sampai antariksa sangking bahagianya.     

Marco membuka mulutnya, inging sekali membalas ucapan cinta pada sang istri, tapi mendadak jantungnya berpacu dengan kencang. Keringat bercucuran. Ada apa dengannya?     

"Liz ..." Marco mengangkat dagu Lizz dan mendongakkannya. Membuat mata mereka saling bertukar pandang. Tapi mulutnya memang tak bisa diajak kompromi, setiap ingin mengucapkan 'I love you', lidah Marco terasa kelu. Bibirnya juga terasa kaku. Hingga akhirnya, karena terus diam dan merasa kelihatan bodoh, dia memilih mencium bibir Lizz sebagai balasan pernyataan cintanya.     

Lizz kecewa tentu saja. Dia sudah mengorbankan harga dirinya dan menyatakan cinta terlebih dulu pada Marco. Tapi Marco tak membalas ucapannya. Justru malah menciumnya penuh nafsu. "Mmmm ... Marco ..." "     

Hmm ...?" Marco menyahut di sela ciumannya.     

"Aku harus memassss-- akkhhh," Lizz mencoba protes walau akhirnya terengah pelan saat tangan Marco sudah meremas kedua bukit kembarnya. Bodohnya Lizz, dia bahkan tak sadar bahwa bajunya sudah di lepas Marco dari semalam.     

"Tidak perlu. Hari ini kamu libur. Kamu sedang sakit. Kamu harus banyak istirahat ...."     

"Tapi ... kalau begini ... bagimana aku bisa istirahat?"     

"Kalau cuma satu ronde kayaknya enggak apa deh, beb ...," ucap Marco tak mau mengalah dan mulai menurunkan celananya.     

"A-aahhhh ...." Lizz tak sanggup menjawab lagi karena tiba-tiba Marco sudah menyatukan tubuh mereka. Dan akhirnya, pagi itu Lizz dan Marco lalui dengan suara desahan lumayan panjang dan kencang. Mereka bahkan tak menyadari bahwa suara decakan dan desahan mereka terdengar sampai ke dapur. Dan orang tidak beruntung yang mendengar kemesraan mereka berdua adalah Vano.     

Niatnya untuk masak mie dicampur dengan telur, pupus sudah. Semua gara-gara suara laknat yang merasuki liang telinga kejombloannya. Benar-benar pasangan tidak memiliki naluri dan toleransi pada Jomblo.     

****     

Liz menggeliat malas. Dia berusaha bangun untuk memulai rutinitasnya yang biasa, tapi Marco menahan tubuhnya agar berbaring lagi. "Jangan pergi dulu. Ada yang mau aku tanyakan."     

"Tapi aku mau mandi, udah lengket rasanya." Lizz berusaha bangun.     

"Sebentar aja kok." Lizz mengembuskan napasnya pelan. Ia sudah hafal dengan karakter Marco, yang kalau sudah punya kemauan tak bisa diganggu gugat.     

"Tanya apa?" Lizz membalikkan badan menghadap Marco.     

"Kamu ... Mmm ... pengen punya anak gak?" tanya Marco ragu-ragu.     

"Pengenlah ... Emak juga udah ribut terus gitu. Tapi mau gimana lagi, itu 'kan itu rezeki dari Allah, dan sampe sekarang belum dikasih."     

Marco mengernyit bingung. Jawaban Lizz barusan, terdengar aneh di telinganya. "Kamu serius? Maksudku, kalo kamu belum siap aku enggak maksa. Beneran deh. Emak gampang, biar aku yang urus."     

"Kamu belum siap punya anak?" tanya Lizz seketikakecewa.     

"Tentu saja aku mau, pakai banget malah, tapi bukannya kamu yang belum mau."     

"Kok aku sih? Sudah jelas kamu kelihatan ragu. Apa jangan-jangan kamu punya cewek lain?"     

"Haissshhh ... kok malah ngelantur sih Beb."     

"Habisnya ... ucapanmu tadi ... aneh."     

Marco menggaruk kepalnya yang tidak gatal. "Beb ... aku enggak punya cewek lain. Aku mau kasih tau, kalo kamu udah siap punya anak ... kenapa kamu minum pil sialan itu?" Marco berujar to the point.     

"Pil apa?"     

"Pil KB."     

"Siapa yang minum Pil KB?"     

"Kamulah. Masa aku?"     

"Enggak kok ...."     

Marco memutar matanya. Lalu kembali menatap Lizz, "Terus ... pil berwarna putih berukuran mini di dalam tasmu, itu pil apa?"     

"Ooh ... itu suplemen dari Vano. Biar aku sehat terus, makanya dia rutin kasih aku pil itu."     

Marco " ..."     

"Dikasih Vano? Dia bilang suplemen?"     

Lizz mengangguk dengan polos."     

"Beb ... memang kamu enggak baca bungkusnya dulu sebelum meminumnya?"     

"Bungkus? Enggak ada bungkusnya kok, Vano kasih sudah begitu bentuknya."     

Marco geram. Lebih kearah gemas. Sempat terlintas pertanyaan, isterinya itu polos atau bodoh. Kenapa dia bisa dikibuli bocah berumur delapan belas tahun bernama Vano yang adalah adiknya itu. Marco tak bisa tinggal diam. Dia harus mengurusnya sekarang.     

"Okey ... jadi Bebeb sebenarnya mau kan punya anak sama aku?"     

"Maulah."     

Marco tersneyum lega. "Ya udah, Beb ... Kamu mandi dulu saja."     

"Udah boleh?" Lizz memastikan.     

"Tapi jangan lama-lama, nanti malam kita masih ada jadwal membuat keturunan."     

Lizz " ...." 'Sepertinya setiap bersama Marco memang cuma kegiatan itu yang mereka lakukan'     

"Oh iya, Beb. Jangan minum pil dari Vano lagi."     

"Kenapa?"     

"Pil itu memiliki efek samping. Pemakaian jangka waktu lama bisa membuat jerawatan dan bikin susah hamil. Entar aku beliin deh suplemen yang bagus dan lebih mahal yang enggak ada efek sampingnya biar kamu tetap mulus dan cepat hamil."     

"Seriussss?!" Lizz terlihat sangat terkejut. Matanya memicing saat melirik kearah tas miliknya itu. Dari caranya memandang, seolah ia baru saja diberitahu kalau pil itu adalah pengkhianat yang menghancurkan harapannya untuk segera memiliki momongan.     

Marco tersenyum kecil melihat ekspresi wajah isterinya, yang terlihat seperti tatapan Ibu Tiri di sinetron-sinetron. Ia lalu mendaratkan kecupan ringan di pipi Lizz.     

"Terima kasih ...." Lizz balas mencium pipi Marco, dan saat berjalan masuk ke kamar mandi ekspresi wajahnya sudah kembali ceria.     

Melihat istrinya sudah berada di tempat aman, Marco harus segera mencincang biang keroknya.     

"VANOOO!!!"     

****     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.