One Night Accident

GUGUP



GUGUP

0Happy Reading.     
0

*****     

"VANOOO!!!" teriak Marco setelah hampir sepuluh menit mencari, akhirnya melihat adiknya yang tengah memeriksa salah satu mobil David.     

"Kenapa, Bang?"     

"Maksud lo itu apa?" tanya Marco dengan berkacak pinggang.     

"Hah? Ada apa dengan kata 'maksud' itu, Bang?" Vano berdiri dan menatap kakak iparnya bingung.     

"Kenapa lo ngasih pil KB ke Lizz? pakai bilang suplemen lagi.Suplemen pala lo pitak!"     

'Mampus! Ketauan nih', batin Vano. "Gak maksud apa-apa, gue cuma belum pengen punya ponakan."     

Marco memandang Vano dengan kesal. "Eh ... yang kawin gue kenapa Lo yang repot. Punya anak juga gue yang urus bukan Lo." Kayak Vano yang bakal repot saja kalau dia punya anak.     

"Gara-gara Lo Gue dan Lizz yang pengen segera punya anak, jadi gagal Vano."     

"Terus?" Vano menyahut, tak peduli.     

"Stop kasih Pil KB ke Lizz. Kamu membuat calon potensialku tidak numbuh-numbuh, kasian bibit ungulku kalau terbuang percuma. Padahal mereka pasti akan jadi orang sukses. Dengan cowok yang setampan bapaknya, dan cewek secantik ibunya. Kamu mengacaukan jalur reproduksiku," ucap Marco dengan menggebu-gebu.     

"Kalo gue gak mau?"     

"Gue enggak lagi becanda, Vano. Mau lo gak siap punya ponakan gak pengaruh, karena gue mau punya anak dan Lizz setuju. Awas saja kalau gue lihat itu pil masih terus di kasih. Gue pecat jadi adek ipar."     

Vano melempar kunci di tangannya ke arah Marco begitu saja. "Gue juga kagak becanda!"     

Marco bingung saat melihat Vano, kenapa malah adik iparnya, yang tersulut emosi. Harusnya kan dia yang marah, bijimane sih.     

"Kakak gue udah cerita semua! Tentang lo yang perkosa dia, sampai akhirnya kalian nikah!"     

"Oh ... yang itu itungannya khilap, lagian Gue sudah tanggung jawab dengan nikahin dia. So, apa yang salah?"     

"Tapi lo sering ninggalin dia. Pergi nggak tau ke mana, nggak ngasih kabar pula. Gue, sebagai adiknya, enggak mau Kak Lizz hamil tapi elu mendadak raib nggak jelas rimbanya!!"     

Marco menghela napas sambil berkacak pinggang, lalu menatap Vano. "Jadi itu masalahnya? Lo tenang saja, karena mulai detik ini gue udah janji bakal selalu kasih kabar."     

Vano mendengus sebal dengan kedua tangan yang terkepal di sisi pinggangnya. "Bukan cuma itu! Lizz selalu bilang, Lo enggak pernah sekali pun bilang satu aja kata cinta ke dia! Di kepala lo itu cuma masalah kasur dan kasur melulu!"     

Marco mengulum senyumnya dengan kedua alis terangkat sambil menatap Vano, yang makin terlihat kesal dengan ekspresi wajahnya itu.     

"Well ... gue cowok normal. So ... wajar dong kalo udah lama nggak ketemu Lizz, yang terlintas di otak gue adalah mengajak ber-'cinta' dengannya. Lagian ... gue sama Lizz enggak monoton selalu main dikasur." Marco memberikan ekspresi wajah yang terlihat seperti sedang mengejek di dalam pandangan mata Vano.     

"Di kamar mandi, pernah. Di ruang ganti pakaian, di dekat kolam renang, pernah. Di kamar tamu sering. Di dapur, apalagi. Bahkan di ruang kerja David, juga pernah. Yang belum? Hmmm ... kayaknya ruang tamu belum deh sama halaman belakang."     

Seketika Vano tercengah. "Lo ...." manusia terlucknut di muka bumi.     

"Kenapa? Masalah buat kejombloan Lo?" Sindir Marco.     

"Elu itu emang parah!" Vano berseru sambil memukul kepala Marco, yang seolah tak peduli dengan perubahan warna di wajah Vano yang sudah merona merah. Malu sendiri membayangkan kakaknya di ... em ... ah ... otaknya bahkan tidak berani memikirkanya.     

"Wadaw! Durhaka lo, berani mukul kepala Abang ipar sendiri!!"     

"Bodo amat! Itu biar otak lo bisa lebih bener!"     

"Yang salah itu bukan otak gue, tapi Lo yang kelamaan Jomblo." Marco bersungut-sungut sambil mengusap kepalanya yang sedikit benjol.     

"Terserah Lo mau bilang apa. Intinya, Kakak gue itu ngerasa kayak wanita murahan, yang dicari cuma untuk ditiduri! Makanya, gue enggak rela, dia punya anak dari lo, biang mesum! Baru nikah aja Kakak gue sering elu sakitin, gimana kalo udah punya anak?!"     

"Apaan maksudnya itu? Gue tuh nggak pernah ada niat nyakitin Lizz. Gue sayang dan cinta dengan Lizz."     

Sebuah jitakan gemas, sekali lagi mendarat sempurna di kepala Marco.     

"Vano ... berani jitak gue sekali lagi, Habis Lo!"     

"Habisnya punya abang ipar tolol. kalau cinta sama kakak gue, ngapain bilang ke gue?!" Vano berseru gemas. "Bilang langsung ke Kakak gue kalau berani!"     

Marco terdiam. Bahkan sampai lupa kalau benjolnya bertambah. Dia tak mungkin mengatakan pada Vano, kalau selama ini, tubuhnya selalu gemetar dan hatinya gentar setiap kali akan mengucapkan kata cinta. "Pokoknya gue cinta ama Lizz. She's the only one for me! Jelas?!" Marco berseru dengan suara agak meninggi dan tak menyadari kalau ....     

"Kamu cinta ... aku?" tanya Lizz yang entah sejak kapan sudah berada di belakangnya dengan mata berbinar-binar. Bahkan, Lizz langsung memeluk Marco dengan sangat erat. Lalu memandang wajah Marco dengan senyum lebar terhias di wajah cantiknya.     

"Aku cinta banget sama kamu, Marco. Tolong ... ulangi kalimat yang tadi kamu ucapkan." Lizz memandang Marco dengan binar-binar penuh harap menggunakan puppy-eyes andalannya.     

Disisi lain, Vano tersenyum penuh kemenangan memperhatikan Marco yang mati kutu dengan wajah merah menahan malu.     

"Marco ...." Lizz berujar penuh harap. Sementara Marco sendiri masih gelagapan dan mendadak tergagap dengan kalimat yang tak jelas.     

krik, krik, krik.     

(One year later)     

Keheningan yang janggal melingkupi ketiganya. Vano sampai mengorek telinganya sendiri, mengira ada yang salah dengan gendang telinganya. Sementara Liz, hanya bisa menatap Marco dengan bingung karena tidak mengerti perkataan suaminya.     

"Ng ... ya udah. Mmmm ... aku mandi dulu, Beb." Marco mendaratkan kecupan ringan, lalu ngeloyor pergi dengan menahan malu. Andaikan ada sebuah lubang, ia ingin sekali mengubur kepalanya di lubang tersebut detik itu juga. Sumpah! Dia malu setengah mati.     

Sepeninggal Marco, Vano langsung terpingkal-pingkal. Dia sekarang tahu alasan Marco tak pernah mengucapkan kata cinta secara langsung ke Kakaknya. Bukan tak mau, tapi karena dia terlalu malu.     

'Aseeekkk ... Ada bahan buat ngegodain nih,' Vano membatin senang.     

"Vano ...! Kok malah ketawa?"     

"Gak apa, Kak. Pokoknya Bang Marco sebenarnya cinta kok sama Kakak."     

"Iya ... aku seneng banget sekarang."     

"Udah iihhh ... Masakin ayam goreng dong. Kan lagi seneng. Adek yang imut ini lagi laper. Belum makan apa pun dari pagi, tauk ...?!"     

"Uuuhhh ... kaciannnnnnn. Ya udah, tunggu sebentar yaaa." Lizz membalas gemas dan wajahnya terlihat sangat berbahagia.     

Vano mengacungkan jempolnya. Dia bahagia melihat Lizz bahagia. Tak menyangka pancingannya berhasil dan membuat Marco mengakui cintanya. Walau secara tak langsung, tapi lumayan bikin Kakaknya percaya dan semakin bahagia.     

Semoga Lizz akan selalu bahagia bersama Marco.     

Cukup kisah cintanya yang tak jelas, jangan kisah cinta kakaknya juga tak jelas.     

****     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.