One Night Accident

PENGHIANAT



PENGHIANAT

0Happy Reading.     
0

*****     

Marco celingukan mencari keberadaan istri tercintanya, yang waktu ia tinggalkan tadi masih bersama Ai. Tapi sekarang, tak tahu entah di mana. Istana ini terlalu besar untuk berkeliling mencarinya. Marco memasuki Istana semakin dalam hendak menghubungi Lizz dan mencari tahu keberadaannya. Lalu diarah berlawanan, ia melihat Ratu, Petter, Pete dan Mr Vicky berjalan ke arahnya.     

Marco menyingkir, memberi akses jalan pada mereka sambil menunduk hormat. Tapi bukannya berjalan melewatinya, Ratu malah berhenti di hadapannya. Membuat Marco menegakkan tubuhnya, tapi kepalanya masih menunduk.     

"Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia Ratu?" tanya Marco.     

"Vicky apa orang ini yang kamu maksud?" tanya Ratu pada asistennya dan mengabaikan pertanyaan Marco.     

"Benar, Ratu."     

"Kalau begitu tunggu apa lagi, Tangkap dia dan masukkan ke penjara. Introgasi dan cari tahu motifnya, jika dia berslah Pastikan dia mendapat hukuman setimpal karena berani menyelundup ke Cavendish."     

"Baik Ratu."     

Marco masih terkejut dengan ucapan Ratu, hingga saat sadar kedua tangannya sudah di borgol oleh Vicky, dan diseret menuju penjara.     

"Pete, kamu boleh mengurus pengkhianat itu jika dia tidak bekerja sama dengan baik," Ratu berpesan Pete.     

Mendengar itu wajah Pete yang tadi muram langsung semangat, dia menyeringai senang lalu melenggang mengikuti Vicky ke arah penjara. Baru beberapa detik yang lalu dia merasa bosan di istana karena tidak melakukan apa-apa. Namun ... sepertinya dia bisa bersenang-senang sedikit sebelum kembali menghadapi perjamuan yang membuatnya ingin segera pulang.     

***     

Marco membuka matanya. Ia terkejut saat dirinya disiram dengan air super dingin untuk membangunkannya. Dia sudah lupa berapa lama di sana. Mungkin satu atau dua jam. Atau malah, sehari. Yang jelas, asisten Mommy-nya memang benar-benar pandai menyiksa. Marco tak peduli dengan keadaannya yang remuk redam. Yang Marco pikirkan, justru keadaan Istrinya.     

Marco mencemaskan keadaan Lizz dan berharap istrinya baik-baik saja. Marco yakin, Ai akan membela Lizz jika sesuatu terjadi padanya. Namun walau begitu perasaan was-was tetap ada dan menghantuinya. Ia takut, Lizz tak menyadari kehadirannya dan sedih karena tak bisa menemukannya.     

Tangan dan kaki Marco sudah dirantai dan seluruh tubuhnya serasa remuk tak berbentuk. Darah masih menetes di dahinya akibat pukulan balok yang diberikan Vicky sebelum kesadarannya tadi menghilang. Sebagai samsak hidup Daniel dia sudah terbiasa dengan tubuh babak belur, jadi siksaan Vicky masih bisa sia tahan.     

"Masih belum mau bicara?!" Vicky menengadahkan wajah Marco yang sudah babak belur. Marco bingung mau bicara apa. Dia masuk keruangannya sendiri. Dia pulang ke rumahnya sendiri. Kenapa ia malah dicurigai, pikirnya.     

Marco terkekeh pelan memikirkan semua itu, namun twanya malah memicu kemarahan Vicky. Hingga sejenak kemudian, Marco terbatuk-batuk akibat pukulan yang mendarat di perutnya.     

"Masih berani tertawa, heh?!" bentak Vicky.     

"Sebaiknya segera mengaku, siapa yang menyuruhmu menyelundup ke Cavendish. Dan apa tujuanmu memasuki laboratorium Pangeran Jhonatan dengan paksa?!" Vicky mencengkram wajah Marco.     

"Gosh! Are you deaf? Ask Prince Jhonatan, if you want to know!" detik berikutnya, Marco memuntahkan darah segar akibat pukulan bertubi-tubi.     

"Pangeran Jhonatan itu sudah meninggal. Jadi jawab saja dengan jujur!" Vicky semakin marah.     

Marco balas memandangnya meremehkan. "Sudah meninggal? Setahuku hanya Ratu, Mr Petter, Daniel dan keluarga inti kerajaan yang mengetahui kematian pangeran Jhonathan. Bahkan Rakyat hanya tahu pangeran Jhonatahan berada di luar negeri. Lalu ... bagaimana mungkin asisten rendah sepertimu tahu bahwa Pangeran jhonathan sudah meninggal?"     

Satu pukulan kembali bersarang di wajahnya, membuat telinga Marco berdenging karena pusing.     

"Aku orang kepercayaan Ratu, tentu saja aku tahu. Kamu siapa kamu sebenarnya? Bagaimana kamu tahu tentang pangeran Jhonathan?" Vicky mencekik Marco lalu melepaskannya begitu dirasa Marco hampir kehabisan napas.     

Marco terbatuk dengan keras. "Kenapa? Kalian takut kedok kalian akan terbongkar?" tanya Marco dengan napas terengah-engah.     

"Apa maksudmu, hah?!"     

"HAHAHAHA!!! Kalian pikir, Pangeran Jhonatan sebegitu mudahnya mati? Cih! Dia itu masih hidup dan akan mulai membuka kedok kalian satu persatu!" Sebuah tendangan mendarat di dada Marco dan membuatnya memuntahkian darah segar.     

"Jangan ngelantur!" bentak Vicky lagi. "Tak perlu basa-basi. Cepat beritahu, siapa yang menyuruhmu!"     

"Yang menyuruhku? Tentu saja pangeran Jhonathan sendiri. Kamu dan Boss-mu yang dulu merencanakan pembunuhan Pangeran Daniel, akan segera tamat. Karena sebentar lagi, Ratu akan tahu siapa kalian sebenarnya!"     

"Kamu pikir kamu siapa? Berani mengancamku? Lagi pula punya bukti apa kamu? Beraninya ingin menyeret kami ke hadapan Ratu?"     

"Bukti? Untuk apa bukti, jika aku memiliki Pangeran Jhonatan untuk menjadi saksi. Kalian pasti kecewa, karena bukan Pangeran Daniel yang kalian culik, tapi malah Pangeran Jhonatan. HAHAHAHAHAA...!"     

"Silakan saja kalau mau membuktikan. Tapi sayangnya, kamu akan mati di sini!" Vicky mengambil sebuah samurai dan mulai mengacungkannya kearah Marco.     

"Kamu yakin ingin membunuhku? Apa yang akan dikatakan Ratu jika kamu tidak mendapatkan informasi apa pun dariku?"     

"Aku tidak bodoh, aku adalah asisten Ratu. Apa pun yang aku katakan Ratu akan percaya, sebaiknya kamu bekerja sama jika memang ingin selamat." Samurai itu sudah berada di leher Marco.     

"Kamu akan menyesal." Marco menatap Vicky tanpa rasa takut.     

Vicky sudah hendak mengayunkan samurai itu.     

"Keluar!"     

Tiba-tiba terdengar suara dingin menginterupsi. Membuat Vicky berbalik dan melihat Pete yang sudah berdiri di belakangnya dengan wajah beringas. Semua orang pasti takut dengan tatapan iblis yang dilakukan Pete. Tak terkecuali dengan Vicky yang langsung merinding merasakan aura membunuh yang sangat kuat.     

"Berani sekali kau menyiksa mangsaku?!" Pete mendekati Vicky yang merasa gentar. Siapa yang tidak tahu reputasi Pete sang Psikopat.     

"Maaf Mr Pete, saya ..."     

Belum selesai Vicky berbicara dia merasakan kedua lengannya berdarah. Ternyata sudah ada dua goresan panjang menghiasi kedua lengan Vicky.     

Vicky bergetar ketakutan, kapan Pete bergerak. Dia bahkan tidak melihatnya mengeluarkan pisau sama sekali.     

"Hukumanmu, karena berani menyentuh mainanku!" Pete berujar dengan wajah kejam.     

"Keluar! Atau ku cincan jadi korban kedua!" ancaman Pete membuat Vicky melesat keluar dengan menahan sakit di kedua tangannya. Vicky ingin menghabisi wajah songong penyelundup itu, namun Vicky juga tidak akan berani berurusan dengan Pete karena dia tahu. Resikonya terlalu tinggi. Vicky lebih baik pergi dan membiarkan Pete bersenang-senang dengan penyelundup itu. Toh vicky yakin penghianat itu ujung-ujungnya akan tetap mati.     

Pete memandang tubuh Marco dari atas sampai bawah. Mengamati tubuh penuh darah dan babak belur itu. Kesenanganya sudah berkurang setengah karena tubuh di depannya sudah mengenaskan.     

"Jadi apa yang bisa aku lakukan padamu sekarang?" Pete menyeringai senang dan mengeluarkan pisaunya lagi.     

Marco berpikir, dia tidak takut dengan Vicky. Namun jika yang di depannya adalah Pete. Kesempatan dia bisa hidup bukan hanya nol tapi -10.     

"Are you ready?" Pete mulai menaruh pisaunya dipipi Marco.     

Sial ... kenapa dari semua yang menyiksanya, harus Pete yang diturunkan. Marco merasa tidak memilik harapan.     

****     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.